PEJUANG SUBUH, Bab 1: Malam yang Membelenggu

 


"Sesungguhnya shalat Subuh disaksikan (oleh malaikat)."

(QS. Al-Isra: 78)

Langit masih pekat, dan udara subuh menyusup masuk melalui celah jendela kamar Arkan. Hawa dingin merayap perlahan, membelai kulitnya yang masih terbalut selimut tebal. Di sudut ruangan, jam dinding berwarna biru muda berdetak pelan namun pasti, menunjuk angka 04.30 dini hari.

Alarm dari ponsel di samping tempat tidur berbunyi lirih, menggetarkan meja kecil itu. Namun Arkan hanya mengerang pelan, mengangkat tangan malas untuk mematikannya, lalu menarik kembali selimut hingga menutupi kepalanya.
"Lima menit lagi..." bisik batinnya, hampir tak terdengar.

Dalam gelap, ia kembali terjatuh dalam mimpi setengah sadar. Ia merasa seolah tengah berjalan di padang rumput luas, ditemani angin lembut dan cahaya hangat yang membuai rasa malas dalam dirinya. Tak ada tuntutan, tak ada suara adzan, hanya ketenangan palsu yang menjeratnya semakin dalam.

Tapi di balik semua itu, suara kecil dalam hatinya mulai terdengar, samar namun menghujam.
"Arkan, bangunlah. Ini waktu yang ditunggu-tunggu. Waktunya kamu memenuhi panggilan-Nya."

Arkan menggeliat gelisah. Sebagian dirinya ingin bangun, namun tubuhnya memberontak. Dingin luar biasa di luar selimut, dan rasa kantuk seolah menahan seluruh sendi-sendinya.
"Nanti saja... Allah kan Maha Pengampun..." godaan lain menyusup, membenarkan keputusannya untuk tetap berbaring.

Namun tiba-tiba, bayangan Ibunya melintas dalam pikirannya. Ibunya yang selalu berdoa dalam setiap sujudnya, memohon kepada Allah agar anak laki-lakinya menjadi pribadi yang shalih, yang menjunjung tinggi shalat tepat waktu. Bayangan itu menampar hatinya lebih keras daripada alarm manapun.

Hatinya berdebar. Ada rasa bersalah yang menyesakkan dada. Ia sadar, setiap detik yang berlalu adalah kesempatannya yang hilang untuk meraih keberkahan. Ini bukan sekadar soal bangun pagi. Ini soal ketaatan, soal kemenangan melawan hawa nafsu.

Dengan sisa tenaga yang ia punya, Arkan membisikkan satu kata, lirih tapi penuh tekad:
"Bismillah."

Tangannya perlahan menyingkap selimut, tubuhnya menggigil saat hawa dingin menyergap. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya perlahan, berusaha mengusir kantuk yang masih bergelayut. Lalu, dengan langkah tertatih, ia menuju kamar mandi.

Di sana, ia membuka keran. Air mengalir deras, dingin menggigit. Setiap tetesan yang membasuh wajahnya terasa seperti cambukan yang membangunkannya dari kelalaian.
Dengan hati penuh kesadaran, ia berwudhu. Membasuh wajah, tangan, kepala, kaki — semua dengan niat mempersembahkan dirinya kepada Allah.

Selesai berwudhu, Arkan menatap cermin kecil di kamar mandi. Wajahnya masih pucat, matanya masih berat. Tapi di balik tatapan itu, ada percik semangat yang perlahan menyala. Ia mengingat sabda Rasulullah :
"Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan Subuh. Andaikan mereka tahu pahala yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak." (HR. Bukhari dan Muslim)

Arkan menarik napas dalam-dalam. Ia tak mau menjadi golongan yang lemah hanya karena kasur dan kantuk. Ia ingin menjadi bagian dari pejuang sejati, yang disaksikan malaikat di waktu fajar.

Ia mengenakan jaket tebal, membungkus dirinya melawan dingin, lalu melangkah keluar rumah. Suasana di luar sunyi. Kabut tipis menyelimuti jalanan kampung. Lampu-lampu jalan redup, seolah ikut tertidur.

Tapi Arkan terus melangkah. Setiap derap langkahnya seakan mengalahkan suara malas dalam dirinya. Setiap tarikan napasnya ia isi dengan dzikir, memohon kekuatan agar bisa menuntaskan perjuangan ini.

Masjid kecil di ujung jalan sudah terlihat samar. Dari kejauhan, terdengar suara lembut azan berkumandang:
"Ash-shalaatu khairum minan naum..."
"Shalat itu lebih baik daripada tidur..."

Kalimat itu menampar hatinya lagi. Ia mempercepat langkah, seolah ingin segera mencapai cahaya yang memancar dari dalam masjid.

Sesampainya di gerbang masjid, ia melihat beberapa sosok tua duduk di saf pertama. Mereka, meski usia mereka rapuh, tetap setia memenuhi panggilan Ilahi. Sementara dirinya, seorang pemuda sehat, hampir saja kalah oleh godaan selimut.

Arkan melepas sepatunya, melangkah masuk ke masjid, dan sujud dalam rakaat sunnah. Air mata menetes tanpa bisa ditahan. Ia merasa begitu kecil, begitu banyak menunda kebaikan, sementara waktu terus berjalan tanpa pernah menunggu.

Di dalam doa panjangnya, ia memohon:
"Ya Allah, kuatkan kakiku untuk melangkah kepada-Mu. Jadikan hatiku tunduk hanya kepada-Mu. Jangan biarkan aku menjadi orang yang lalai dalam Subuhku."

Imam mengangkat tangan, mengumandangkan iqamah. Arkan berdiri di saf, menegakkan tubuhnya, mengangkat kedua tangan setinggi bahu.
"Allahu Akbar."

Tak ada lagi kantuk. Tak ada lagi malas. Yang ada hanyalah hubungan intim antara hamba dan Rabb-nya.
Saat itu, Arkan merasa, untuk pertama kalinya dalam hidup, ia benar-benar menjadi pejuang subuh


SINOPSIS                                                                                                                                                BAB 2

Tidak ada komentar untuk "PEJUANG SUBUH, Bab 1: Malam yang Membelenggu"