PEJUANG SUBUH, Bab 2: Panggilan dari Langit

 


Bab 2: Panggilan dari Langit

Udara pagi masih menggigit ketika Arkan menapakkan kaki di halaman Masjid Al-Hikmah. Masjid kecil itu berdiri sederhana, dikelilingi tanaman rambat yang menggantung di pagar kayu tuanya. Lampu gantung di depan pintu memancarkan cahaya kuning temaram, seolah menjadi mercusuar kecil di tengah gelapnya dunia.

Langkah Arkan ragu-ragu. Hatinya berdegup kencang, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena rasa canggung yang menghantam dirinya. Seumur hidup, jarang sekali ia mendatangi masjid untuk shalat berjamaah Subuh. Biasanya, Subuhnya hanya sekadar gerakan cepat di kamar, itupun sering bolong karena kantuk.

Hari ini berbeda. Ada dorongan kuat dalam hatinya — mungkin itu adalah doa-doa ibunya yang menembus langit, atau mungkin itu suara kecil hatinya yang selama ini dia abaikan. Entah. Yang jelas, kakinya membawa tubuhnya melangkah masuk.

Dari dalam masjid, terdengar lantunan ayat suci yang dibacakan dengan tartil. Suara itu mengalir lembut, membelai jiwa, menghapus kantuk, mengobarkan semangat.
"Beginikah rasanya?" pikir Arkan, merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya — kedamaian yang nyata.

Di saf pertama, ia melihat beberapa jamaah. Ada kakek tua dengan jenggot putih tipis, ada seorang ayah muda membawa putranya yang masih kecil, dan di tengah saf itu, berdiri seorang pria berusia empat puluhan, berjubah putih bersih, wajahnya teduh, sorot matanya penuh kasih.

Setelah shalat sunnah, pria itu menghampiri Arkan yang masih gugup di dekat pintu.
"Assalamu'alaikum, Nak," sapanya hangat.
"Wa'alaikumsalam," jawab Arkan terbata.

"Namamu siapa?"
"A-Arkan, Pak," jawabnya malu-malu.

Pria itu tersenyum ramah. "Saya Rahmat. Panggil saja Ustadz Rahmat. Alhamdulillah, jarang ada pemuda seperti kamu yang mau bangun dan ke masjid di waktu Subuh."

Arkan menunduk. Ia merasa malu. Ini baru sekali, dan itu pun setelah pergulatan panjang dengan dirinya sendiri.

Ustadz Rahmat menepuk pundaknya pelan. "Tak apa, Nak. Yang penting, hari ini kamu menang. Allah lebih melihat niatmu daripada seberapa banyak amalmu. Teruskan langkahmu."

Ucapan itu terasa menyejukkan. Seolah membasuh semua rasa rendah diri Arkan. Ia merasa diterima, dihargai, bukan dihakimi.

Iqamah pun dikumandangkan. Arkan bergabung dalam saf kedua, di belakang para jamaah yang lebih tua. Dalam rakaat demi rakaat, Arkan menahan air matanya. Ia merasa kecil di hadapan Allah. Ia sadar, selama ini ia sombong dengan menunda panggilan-Nya, padahal Allah tetap memberinya udara, kesehatan, dan umur panjang.

Selesai shalat, jamaah tak langsung bubar. Mereka duduk melingkar, membaca dzikir dengan suara lembut. Setelah itu, Ustadz Rahmat menyampaikan beberapa pesan sederhana.

"Hari ini, kita diberi kesempatan untuk hidup. Tidak semua orang diberikan nikmat itu. Ada yang semalam tidur, pagi ini tidak bangun lagi. Maka Subuh kita hari ini adalah nikmat, bukan beban."

Arkan menyimak dalam-dalam. Kata-kata itu menusuk hatinya. Ia menatap wajah para jamaah lain — wajah-wajah lelah yang tetap tersenyum. Mereka, para orang tua yang tubuhnya mungkin sudah ringkih, tetap berjuang memenuhi panggilan Allah.
Sedangkan dirinya, yang muda, seringkali kalah oleh selimut tebal dan kasur empuk.

Setelah kajian singkat, Ustadz Rahmat mendekat lagi ke Arkan.
"Nak, kalau kamu mau, besok kita ada halaqah kecil setelah Subuh. Belajar Qur'an bersama. Kamu boleh bergabung," ajaknya.

Arkan mengangguk cepat, tanpa ragu. Sesuatu dalam dirinya berkata bahwa inilah jalan yang selama ini ia cari. Jalan untuk memperbaiki diri, untuk membalas semua cinta dan doa yang telah ditaburkan oleh ibunya, keluarganya, dan tentu, Rabb-nya.

Dalam perjalanan pulang, udara pagi mulai menghangat perlahan. Burung-burung kecil berkicau, seolah ikut bersyukur atas fajar baru yang diberikan. Arkan melangkah pulang dengan hati lebih ringan daripada saat ia berangkat.

Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Perjalanan panjang, berat, dan penuh ujian. Tapi ia tidak sendiri. Ada Allah yang selalu bersama orang-orang yang berusaha. Ada masjid yang menjadi rumah keduanya. Ada Ustadz Rahmat yang siap membimbing.

Dan yang paling penting, ada suara kecil dalam hatinya yang kini mulai tumbuh menjadi cahaya.

Di rumah, ibunya sedang menyiapkan sarapan sederhana. Ketika melihat Arkan pulang dari masjid, wajahnya berseri-seri, mata berkaca-kaca.

"Alhamdulillah, Nak," bisik sang ibu, mengusap kepala Arkan dengan lembut.

Arkan tersenyum, menahan haru.
Dalam hatinya ia berjanji:
"Aku akan terus melangkah, meski dingin menggigit. Aku akan terus bangun, meski godaan menghantam. Aku ingin menjadi pejuang Subuh, untuk Allah, untuk diriku, dan untukmu, Ibu."

Tidak ada komentar untuk "PEJUANG SUBUH, Bab 2: Panggilan dari Langit"