Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 15-16
Bab 15: Cinta Yang Hadir
Cinta itu akhirnya datang. Tapi
bukan seperti yang Rafi bayangkan bertahun-tahun lalu — bukan dalam bentuk
ledakan rasa, bukan debar jantung yang tak menentu, atau senyum yang
memabukkan. Cinta yang datang kini berbeda. Ia hadir dalam diam, dalam tenang,
dalam langkah yang mantap dan hati yang tak lagi bergetar karena takut
kehilangan. Cinta ini tidak melayang di angan, tapi menghunjam ke dalam dada —
kokoh, seperti akar pohon yang mencengkeram bumi.
Dan Rafi tahu, ini bukan cinta
biasa. Ini adalah cinta yang hadir setelah penantian panjang. Bukan penantian
untuk seseorang, tapi untuk kedewasaan hati. Cinta ini datang setelah ia
membersihkan ruang hatinya, setelah ia belajar menerima takdir, melepaskan
ambisi, dan menyembuhkan luka.
Suatu pagi yang cerah, matahari
menyinari halaman rumah dengan lembut. Rafi duduk di bawah pohon mangga,
memandangi sehelai surat yang baru ia buka. Surat itu ditulis tangan, dengan
huruf-huruf rapi dan kata-kata sederhana.
Isi surat itu:
_"Rafi,
Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Tapi aku merasa, apa yang kau ajarkan
tentang mencintai Tuhan, secara perlahan juga menyembuhkan hatiku. Aku tak lagi
merasa kosong. Aku tak lagi mencari sesuatu yang tak tentu arah.
Dan di tengah perjalanan itu, entah
sejak kapan, aku merasa… bahwa mencintaimu adalah bagian dari mencintai-Nya.
Bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu mengingatkanku pada-Nya. Aku tak
ingin menjadi penghalang jalanmu menuju Tuhan. Kalau diizinkan, aku ingin
berjalan di sampingmu, dalam diam, dalam doa, dalam sujud.
— Nanda_”
Rafi menggenggam surat itu dengan
jemari yang gemetar. Tapi bukan karena gugup. Hatinya justru damai. Tak ada
ledakan emosi. Tak ada angan melayang. Hanya rasa syukur yang dalam. Selama
ini, ia mengira dirinya akan menyambut cinta dengan riuh. Ternyata tidak. Cinta
sejati datang seperti fajar — tenang, pasti, dan penuh cahaya.
Beberapa hari kemudian, mereka
bertemu di sebuah taman kecil tempat biasa mereka berbincang. Nanda mengenakan
gamis biru tua dengan kerudung abu-abu muda. Wajahnya bersih, matanya jernih.
Ia tersenyum saat melihat Rafi, lalu menunduk sopan.
“Terima kasih sudah membaca
suratku,” kata Nanda pelan.
Rafi mengangguk. “Terima kasih sudah
menulisnya.”
Sunyi sebentar. Tapi itu bukan sunyi
yang kikuk. Itu sunyi yang menenangkan — seperti jeda antara dua bait puisi.
“Aku tidak tahu ke mana kita akan
melangkah nanti,” ujar Nanda, “tapi aku ingin cinta ini menjadi doa. Bukan
hanya keinginan.”
Rafi menjawab, “Itu juga yang aku
rasakan. Cinta ini bukan sesuatu yang ingin aku miliki, tapi sesuatu yang ingin
aku jaga. Denganmu, aku ingin tetap menghadap-Nya.”
Mereka tersenyum. Tak perlu janji,
tak perlu gombal. Hati mereka sudah saling tahu. Cinta itu telah hadir — dalam
bentuk yang paling indah: menumbuhkan, bukan menuntut.
Hari-hari berjalan, dan hubungan
mereka tumbuh bukan sebagai pasangan kekasih biasa, tapi sebagai sahabat dalam
kebaikan. Mereka saling mengingatkan, saling mendoakan, dan saling menjaga
batas. Tidak ada saling menelepon berjam-jam, tidak ada rayuan. Yang ada
hanyalah pesan-pesan pendek berisi ayat-ayat Quran, kutipan ulama, dan
sesekali: “Sudah tahajud malam ini?”
Bagi Rafi, cinta kepada Nanda
bukanlah pengganti cinta kepada Tuhan. Justru sebaliknya — ia adalah jalan
cinta itu sendiri. Karena melalui Nanda, Rafi melihat refleksi dari ketenangan
yang selama ini ia cari. Ia melihat perempuan yang tidak sibuk memikat, tapi
sibuk memperbaiki dirinya. Yang tidak memaksa dirinya menjadi bagian dari hidup
Rafi, tapi mempercayakan segalanya kepada kehendak Allah.
Pada suatu malam, setelah selesai
memimpin kajian bersama komunitas muda di mushola, Rafi duduk sendirian di
sajadah. Langit malam tampak jernih, dan suara jangkrik bersahut-sahutan. Ia
menunduk dalam sujud yang lama, sangat lama.
Dalam sujud itu, ia tidak meminta
cinta manusia. Ia hanya berdoa:
"Ya Allah, jika cinta ini
datang darimu, maka mantapkan ia. Jadikan ia jembatan, bukan penghalang.
Jadikan ia pengingat, bukan pengganti. Jika suatu hari aku dan dia bersatu
dalam pernikahan, maka satukan pula kami dalam jalan menuju-Mu. Tapi jika
tidak, biarkan cinta ini tetap hidup dalam doa dan kebaikan. Karena aku tahu,
cinta yang sejati tidak selalu harus dimiliki — cukup jika ia membawa kami
semakin dekat pada-Mu."
Air mata Rafi jatuh pelan. Ia tidak
menangis karena takut kehilangan. Ia menangis karena bersyukur telah menemukan
cinta yang membuatnya lebih mencintai Tuhan, bukan lebih mencintai dunia.
Beberapa waktu kemudian, Rafi
mengundang keluarga Nanda ke rumahnya. Dengan sederhana namun hangat, ia
menyampaikan niat untuk meminang. Tak ada drama. Tak ada keraguan. Semua
berjalan seperti air yang mengalir — karena memang tidak ada yang dipaksakan.
Mereka berdua telah belajar mengikhlaskan sebelum memiliki, dan itu membuat
segalanya menjadi ringan.
Pernikahan itu direncanakan beberapa
bulan lagi. Tapi Rafi dan Nanda tetap menjaga jarak yang wajar. Mereka sepakat:
masa penantian ini bukan untuk bermesra-mesraan, tapi untuk memantapkan hati.
Mereka lebih sering bertukar doa daripada bertukar kata cinta.
Nanda pernah menulis kepada Rafi:
"Aku mencintaimu, tapi tidak
ingin mengganggu cintamu kepada Allah. Maka jika suatu hari aku menjadi bagian
dari hidupmu, izinkan aku membantumu untuk terus berada dalam jalan-Nya. Dan
jika tidak, aku sudah bahagia hanya karena pernah mencintaimu dengan cara yang
halal dalam hati."
Rafi membalas:
"Dan aku akan selalu mendoakanmu.
Karena cinta yang sejati bukan hanya tentang memiliki, tapi tentang menjaga.
Dan doa adalah penjagaan terbaik yang bisa kita lakukan untuk orang yang kita
cintai."
Dan begitulah, cinta itu hadir —
bukan dalam bentuk cerita romantis yang berlebihan, tapi sebagai ketenangan
yang dalam. Ia tidak mengguncang hati, tapi justru menguatkan. Ia tidak membuat
lalai, tapi justru semakin mendekatkan kepada Tuhan. Rafi kini tahu, bahwa
cinta yang sejati bukanlah yang membutakan, tapi yang menuntun. Bukan yang
membakar, tapi yang menyejukkan.
Cinta sejati adalah yang tak membuat
kita melupakan Allah, tapi justru membuat kita semakin ingin beribadah, semakin
ingin sujud, semakin ingin menjadi hamba yang baik. Cinta sejati adalah yang
membuat kita merasa cukup hanya dengan doa, walau belum memiliki.
Dan kini, Rafi merasa damai. Karena
akhirnya, ia merasakan cinta — cinta yang benar-benar hadir, bukan sekadar
rasa.
Bab 16: Dunia yang Baru
Pagi itu, kereta melaju perlahan
keluar dari stasiun kecil yang sudah menjadi saksi banyak babak kehidupan Rafi.
Kursi nomor 14A di gerbong dua menjadi tempatnya duduk kali ini — menghadap
jendela, menatap sawah-sawah yang membentang hijau, mengucapkan salam dalam
hati pada setiap pohon, rumah, dan awan yang ia lewati.
Setelah sekian lama berada di
kampung halaman, menata diri, menyembuhkan luka, dan memperkuat iman, hari ini
Rafi kembali ke kota. Tapi kota yang sama kini terasa berbeda, bukan karena jalan-jalannya
berubah, tapi karena hatinya telah menjadi lain.
Ia tidak lagi kembali sebagai orang
yang lari dari hiruk-pikuk dunia. Ia kembali sebagai seseorang yang sudah tahu
ke mana arah hidupnya. Dunia tidak lagi membebaninya — karena hatinya telah terikat
pada sesuatu yang lebih tinggi: langit. Dan bukan langit dalam arti fisik, tapi
langit yang penuh makna — langit tempat ruh bergantung, tempat hati bersandar,
tempat cinta sejati bersemayam.
Kota menyambutnya dengan kebisingan.
Gedung-gedung menjulang, motor-motor berseliweran, klakson bersahutan. Tapi
Rafi tidak terganggu. Ia berjalan santai ke halte bus, tas ransel di punggung,
dan Al-Qur’an kecil tergenggam erat di tangan. Setiap langkah yang ia ambil
kini seperti berdzikir — bukan karena ia terus mengucap lafaz, tapi karena
setiap niat telah ia benahi.
Kantor tempatnya dulu bekerja telah
menerimanya kembali. Atasannya bahkan sempat berkata, “Kami senang kau kembali,
Rafi. Jujur, energi kerjamu dulu luar biasa. Tapi sekarang… kamu lebih tenang.
Ada aura beda. Apa kamu ikut pelatihan spiritual atau apa?”
Rafi hanya tersenyum. “Saya pulang
sebentar. Dan menemukan sesuatu.”
Ia tidak menjelaskan panjang lebar.
Tidak perlu. Karena bukan tentang menjelaskan, tapi menjalani. Ia ingin
nilai-nilai barunya berbicara lewat tindakan, bukan ucapan.
Hari-hari di kota pun dimulai
kembali. Tapi tidak seperti sebelumnya. Dulu, Rafi sering merasa terjebak dalam
kesibukan: target pekerjaan, tekanan sosial, pencapaian-pencapaian duniawi.
Kini, ia tetap mengejar prestasi, tetap disiplin, tetap bekerja keras — tapi
tidak lagi resah. Ia bekerja bukan untuk membuktikan sesuatu kepada manusia,
tapi untuk menunaikan amanah yang dititipkan Tuhan.
Setiap pagi, ia bangun sebelum
fajar. Salat malam tetap menjadi rutinitas yang ia jaga. Meskipun kini berada
di apartemen mungil, jauh dari keheningan kampung, Rafi tetap bisa menemukan
sunyi di dalam dirinya. Ia belajar menciptakan ruang damai di mana pun ia berada.
Karena ketenangan bukan soal tempat, tapi soal hubungan — antara hati dan
Tuhan.
Satu hal yang membuat banyak orang
heran adalah bagaimana Rafi bisa tetap aktif di dunia profesional, aktif di
masyarakat, tapi tetap tampak tenang, jarang mengeluh, dan selalu punya waktu
untuk hal-hal spiritual.
Rafi punya prinsip baru: “Jangan
biarkan dunia masuk ke hatimu. Biarkan ia hanya menempel di tangan.”
Ia mulai mengatur waktunya dengan
bijak. Setelah subuh, ia membaca Qur’an. Sebelum berangkat kerja, ia duduk
sejenak, menulis jurnal harian tentang rasa syukur. Di kantor, ia tetap
semangat, tetap produktif. Tapi saat adzan dzuhur berkumandang, ia tidak
menunda. Ia tinggalkan pekerjaannya sejenak, mencari musala terdekat, dan menunaikan
salat.
Teman-temannya mulai memperhatikan.
“Fi, lo sekarang religius banget,
ya?”
“Enggak juga,” jawab Rafi sambil
tertawa. “Aku cuma mencoba terhubung.”
“Toh, kerjaan tetap kelar. Tapi aku
juga tetap ingat akhirat.”
Setelah bekerja, Rafi aktif di
komunitas dakwah yang dulu ia ikuti. Tapi kini, perannya lebih besar. Ia bukan
hanya peserta, tapi pembina. Banyak anak muda yang datang padanya, bukan untuk
minta nasihat, tapi untuk sekadar mendengar cerita.
“Saya capek dengan hidup,” kata
seorang mahasiswa.
“Kalau kamu capek, mungkin kamu
sedang berjalan sendiri,” jawab Rafi pelan. “Coba serahkan beban itu kepada
Tuhan. Tapi jangan hanya menyerah — jalani juga. Dengan niat yang benar.”
Rafi tidak memaksa orang berubah. Ia
hanya menyampaikan, dan membiarkan hati orang lain yang menerima. Dan
pelan-pelan, seperti dirinya dulu, orang-orang di sekitarnya mulai menemukan
kembali arah hidup mereka.
Hubungannya dengan Nanda juga
berjalan tenang. Mereka tak sering bertemu. Sekadar bertukar pesan pendek,
menanyakan kabar, mengingatkan salat, dan kadang mengirimkan foto langit dengan
satu kalimat sederhana: “Langit kita satu. Doa kita pun semoga.”
Pernikahan mereka masih
direncanakan. Tapi baik Rafi maupun Nanda sepakat: persiapan terbaik bukanlah
dekorasi atau pesta, tapi kesiapan hati untuk menjadikan pernikahan sebagai
ibadah.
Rafi pernah berkata pada Nanda:
“Dunia ini penuh ilusi. Tapi kalau
kita saling menguatkan, kita bisa berjalan melaluinya tanpa kehilangan arah.”
Nanda menjawab, “Selama langit jadi
tujuan kita, aku percaya kaki kita akan tetap menapak.”
Pada satu sore di akhir pekan, Rafi
duduk di sebuah taman kota, membaca buku. Di sekitarnya anak-anak bermain,
orang tua bercengkerama, dan beberapa anak muda berswafoto. Ia tersenyum kecil.
Dulu, tempat seperti ini membuatnya merasa kosong. Tapi kini, ia bisa duduk di
tengah hiruk-pikuk dan tetap merasa utuh.
Karena hatinya sudah punya jangkar:
Tuhan.
Ia menulis di jurnalnya:
Dunia ini tidak perlu dihindari.
Dunia hanya perlu dijalani dengan kesadaran bahwa ia bukan tujuan. Aku kini
melihat dunia seperti bayangan — akan selalu ada, tapi tidak bisa aku kejar.
Tapi selama aku berjalan ke arah cahaya, bayangan itu akan mengikuti.
Malam pun tiba. Dari jendela
apartemennya di lantai sembilan, Rafi memandang langit kota yang penuh lampu.
Dulu, pemandangan ini membuatnya iri, resah, dan gelisah. Tapi malam ini, ia
memandangnya dengan hati yang lapang. Ia tahu, dunia tak akan pernah
benar-benar tenang. Tapi hatinya bisa.
Ia mengambil wudhu, menghamparkan
sajadah, dan mulai salat malam. Dalam sujudnya, ia tidak berdoa untuk sukses,
untuk cinta, atau untuk kebahagiaan dunia. Ia hanya berkata:
"Ya Allah, cukupkan aku dengan
kehadiran-Mu. Aku ingin menjalani dunia ini sebaik mungkin, tapi tolong jangan
biarkan aku lupa bahwa akhiratlah tempat kembali. Jika aku jatuh, angkatlah.
Jika aku lemah, kuatkan. Tapi yang terpenting, jika aku mulai lupa, ingatkan —
dengan cinta-Mu."
Dunia yang baru bagi Rafi bukanlah
dunia tanpa masalah. Ia tetap menghadapi tekanan pekerjaan, tetap menemui
manusia yang menyebalkan, tetap berhadapan dengan godaan. Tapi bedanya, kini ia
punya fondasi. Ia punya langit dalam dirinya — tempat ia kembali, tempat ia
mengadu, dan tempat ia berharap.
Dunia bisa menjerat siapa pun yang
hatinya kosong. Tapi Rafi telah memenuhi hatinya dengan sesuatu yang tak
tergantikan: kedekatan dengan Tuhan. Dan selama itu ia jaga, dunia akan tetap
jadi tempat yang ia jalani, bukan tempat yang menguasainya.
Tidak ada komentar untuk "Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 15-16"
Posting Komentar