Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 13-14
Bab 13: Mewarnai Hati
Langit sore menggantungkan awan
tipis yang memantulkan cahaya keemasan. Angin berembus pelan, seolah mengusap
peluh hari yang mulai menua. Rafi duduk di beranda rumahnya, memandangi langit
dengan tatapan damai. Cangkir teh hangat di tangannya mengepul, harum melati
menguar bersama napas syukur yang mengalir lembut dari dalam dadanya.
Hari-harinya kini begitu berbeda.
Bukan karena ia tidak lagi diuji, tapi karena cara ia melihat hidup telah
berubah. Dulu, ia menjalani ibadah seperti rutinitas — hitungan yang mekanis,
daftar kewajiban yang harus ditunaikan demi pahala yang entah kapan datang
balasannya. Kini, ia shalat dengan cinta. Ia membaca Al-Qur’an bukan sekadar
untuk menamatkan juz, tapi untuk menyelami maknanya, mencari percikan cahaya
dalam tiap ayat.
Ia tak lagi menghitung pahala. Ia
rindu. Rindu untuk duduk bersimpuh dalam sunyi, rindu sujud panjang saat semua
orang terlelap, rindu mengadu dalam doa yang tak perlu dipoles kata-kata.
Hubungannya dengan Tuhan bukan lagi semata hubungan antara hamba dan tuan, tapi
juga antara kekasih yang merindu — antara jiwa yang gersang dan sumber air
kehidupan.
“Aku merasa seperti anak kecil yang
terus-menerus ingin kembali ke pelukan ibunya,” begitu ia pernah menulis di
jurnal pribadinya. “Hanya dalam pelukan itu aku merasa utuh.”
Rafi kini terbiasa memulai hari
dengan tilawah sebelum subuh. Suara tilawahnya pelan, namun mengalun tenang,
seolah berbicara kepada nurani yang selama ini tertidur. Seusai subuh, ia duduk
diam dalam dzikir, membiarkan hati larut dalam irama asma Allah. Kadang ia
menangis, bukan karena sedih, tapi karena terharu. Bagaimana mungkin setelah
semua dosa dan kelalaiannya, Allah masih memberinya waktu, rezeki, dan cinta?
Tak jarang tetangganya memperhatikan
perubahan Rafi. Pak Rahman, yang sering melihat Rafi datang ke mushola lebih
awal, pernah berkomentar, “Kau bukan sekadar datang, Raf. Kau seolah membawa
suasana. Mushola jadi lebih hidup sejak kau mulai memimpin dzikir di sini.”
Rafi hanya tersenyum. Ia tahu semua
bukan karena dirinya. Hatinya telah diwarnai — diwarnai oleh cinta yang tak
bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.
Suatu sore, setelah mengajar mengaji
untuk anak-anak kampung, Rafi duduk bersama Nanda di taman kecil di depan
rumah. Pepohonan rindang menaungi mereka, dan suara burung-burung sore menyelip
di antara obrolan.
“Raf,” kata Nanda, menatap langit,
“kau tahu tidak? Dulu aku pikir ibadah itu seperti upaya membeli surga. Kita
bayar dengan amal, kita dapat tiket masuk. Tapi sekarang aku merasa… itu
terlalu sempit.”
Rafi mengangguk pelan. “Kita
dibesarkan dengan konsep pahala dan dosa, dan itu penting. Tapi setelah kita
belajar mencintai Tuhan, kita sadar: ibadah itu bukan jual-beli. Itu
perjumpaan. Rindu.”
Nanda tersenyum. “Persis. Aku
sekarang paham kenapa Rasulullah berdiri shalat sampai kakinya bengkak. Bukan
karena kewajiban. Tapi karena cinta. Ia ingin terus berada di hadirat-Nya.”
Diam sejenak. Angin menggerakkan
dedaunan di atas kepala mereka.
“Menurutmu, Raf,” lanjut Nanda,
“kenapa sebagian orang bisa shalat seumur hidup tapi tak berubah hatinya?”
Rafi menoleh pelan. “Karena mereka
hanya menggerakkan tubuh, tapi tak mengajak hati ikut serta. Ibadah mereka
belum mewarnai hati. Belum menyentuh ruh.”
Ia kemudian melanjutkan, “Dulu aku
juga begitu. Kusangka semakin banyak amal, semakin kuat iman. Tapi ternyata,
tanpa rasa rindu, semua jadi kosong. Ibadahku dulu seperti kotak ceklis yang
harus ditandai. Sekarang, aku justru takut hari berlalu tanpa menyebut
nama-Nya. Takut kehilangan momen untuk dekat.”
Obrolan itu mengendap dalam hati
Nanda. Malam harinya, ia menulis di catatan harian digital komunitas mereka: "Kita
perlu belajar mencintai ibadah, bukan hanya melakukannya. Karena hanya ibadah
yang lahir dari cinta yang mampu mengubah hidup, mengubah hati, dan membuat
kita rindu untuk selalu dekat dengan Tuhan."
Suatu malam, di mushola yang kecil
itu, Rafi mengimami shalat tahajud berjamaah. Ini adalah program rutin
komunitas remaja yang ia bina. Diikuti oleh belasan anak muda, beberapa ibu
rumah tangga, dan dua-tiga lansia. Tidak banyak, tapi cukup untuk membuat
mushola itu hidup.
Rafi membaca Surah Al-Insyirah.
Suaranya bening, lembut, dan penuh perasaan:
“Fa inna ma’al ‘usri yusra… Inna
ma’al ‘usri yusra…”
Ia berhenti sejenak, dan di
keheningan itu, beberapa jamaah mulai menangis. Ayat itu seolah datang langsung
kepada hati mereka. Bahwa bersama kesulitan, ada kemudahan. Bahwa penderitaan
bukan akhir, tapi jembatan menuju cahaya.
Di sujud terakhir, Rafi menangis.
Bukan karena ayat yang menyentuh, tapi karena suasana itu begitu indah. Ia
merasa seperti berada di tengah taman rahmat, dan Tuhan hadir begitu dekat. Ia
ingin sujud itu tak berakhir, ingin terus berada dalam pelukan Ilahi.
Usai tahajud, mereka duduk
melingkar. Rafi berbicara pelan, tidak menggurui, hanya berbagi.
“Kita semua sedang belajar mencintai
Tuhan. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Yang penting bukan seberapa
banyak kita melakukan, tapi seberapa dalam kita melibatkan hati.”
Salah satu remaja bertanya, “Tapi
Kak, bagaimana kalau kami belum merasakan cinta itu?”
Rafi tersenyum, “Cinta itu tumbuh.
Mulailah dengan hadir sepenuhnya. Jangan terburu-buru. Lakukan dengan tulus,
walau sedikit. Nanti Tuhan sendiri yang akan mewarnai hati kalian.”
Hari demi hari berlalu. Dan
perlahan, kampung kecil itu pun mulai berubah. Lebih banyak anak muda yang
datang ke mushola. Lebih banyak senyum yang terlihat setelah dzikir. Suasana
lebih hangat. Semua dimulai dari satu hal: cinta. Cinta yang mewarnai ibadah,
dan ibadah yang menenangkan hati.
Rafi sendiri tetap menulis, tapi
kini tulisannya lebih banyak tentang keheningan, tentang rindu kepada Tuhan,
tentang makna hidup yang sederhana namun dalam. Salah satu tulisannya yang
paling banyak dibagikan di media sosial berjudul “Sujud yang Tidak Ingin
Selesai”. Dalam tulisan itu, ia menggambarkan betapa ia jatuh cinta kepada
momen sujud — saat tubuh paling rendah, tapi jiwa terasa paling tinggi.
Ia menutup tulisan itu dengan
kalimat:
"Jika kau ingin tahu seperti
apa damai itu, cobalah sujud sepenuh hati. Kau akan tahu, itulah tempat pulang
paling indah yang pernah ada."
Dan begitulah, Rafi terus menjalani
hari-harinya. Dengan shalat yang bukan sekadar kewajiban, dzikir yang bukan
sekadar rutinitas, dan ibadah yang menjadi warna utama dalam hidupnya. Bukan
warna yang mencolok, tapi warna yang menenangkan — seperti langit subuh,
seperti embun di ujung daun.
Ia tahu hidupnya belum sempurna, ia
masih manusia yang sering khilaf. Tapi hatinya telah diwarnai, dan ia ingin
terus menjaga warna itu. Karena sekali hati disentuh oleh cinta Ilahi, tak ada
yang bisa menandinginya.
Bab 14: Mekarnya Rindu
Malam kembali turun, membawa sunyi
yang mengalir perlahan ke setiap sudut kampung. Langit gelap dibingkai
bintang-bintang yang berkelip tenang, seperti titik-titik cahaya yang
menyaksikan kisah-kisah manusia dari kejauhan. Di dalam rumahnya yang
sederhana, Rafi terbangun sebelum fajar. Jam di dinding baru menunjukkan pukul
03.17.
Tak ada alarm, tak ada yang
membangunkan. Ia hanya terbangun… karena rindu.
Bukan rindu pada seseorang, bukan
pada masa lalu atau tempat jauh. Ini rindu yang lain — rindu yang baru ia kenal
dalam wujudnya yang paling sunyi namun paling hidup. Rindu kepada Tuhan. Kepada
pertemuan di sepertiga malam. Kepada momen yang hanya milik mereka berdua,
ketika dunia masih tertidur dan langit terbuka untuk siapa pun yang ingin
dekat.
Rafi mengambil air wudhu. Air dingin
membasuh wajah dan tubuhnya seperti menyapu segala penat, segala gelisah yang
mungkin tersisa dari siang tadi. Ia berjalan pelan ke mushola kecil di samping
rumah. Sajadah biru tua telah terhampar di sana, dan lampu temaram menerangi
ruang itu dengan lembut.
Dengan takbir yang perlahan, ia
memulai. Gerakannya tenang, tidak terburu. Setiap ayat yang dibaca mengalir
pelan, seolah ia tengah berbicara dari hati ke hati. Tidak ada target jumlah
rakaat malam ini. Tidak ada hitungan. Yang ada hanya kehadiran. Keinginan tulus
untuk bersama.
Sujudnya lebih lama dari biasanya.
Di sana, di titik paling rendah itulah, ia merasa paling dekat. Ia tidak
menangis seperti sebelumnya. Tidak juga banyak meminta. Ia hanya ingin berada
di sana, diam, bersimpuh, dan menikmati kedekatan itu. Dan dalam diam itu,
hatinya berbunga — seperti taman yang semula gersang, kini mulai dipenuhi
bunga-bunga rindu.
Beberapa pekan terakhir, Rafi memang
lebih sering bangun malam. Bukan karena kewajiban, tapi karena rasa yang tak
bisa ia abaikan. Ada sesuatu yang tumbuh di dalam dadanya, seperti benih yang
tumbuh perlahan, dirawat oleh dzikir, disiram oleh keikhlasan.
Ia mulai mencintai kesendirian
malam. Waktu-waktu ketika tak ada suara selain suara hatinya sendiri. Di
sanalah ia belajar mengenali dirinya, mengakui kesalahannya, dan merajut
kembali keintiman dengan Pencipta yang dulu sempat ia lupakan. Ia merasa
seperti seseorang yang telah lama pergi dan akhirnya menemukan jalan pulang.
“Rindu itu aneh, ya,” ucap Rafi pada
Nanda suatu sore saat mereka berbincang di beranda. “Semakin kau dekat dengan
Tuhan, semakin kau rindu untuk lebih dekat lagi. Padahal, Dia tak pernah jauh.”
Nanda tersenyum lembut. “Iya, karena
bukan Tuhan yang menjauh. Tapi kita yang sering menengok ke arah lain. Dan
ketika kita mulai menatap-Nya lagi, kita sadar betapa selama ini kita haus.”
Rafi mengangguk. “Dan rasa haus itu…
tidak bisa dipuaskan oleh apa pun selain Dia.”
Nanda menatap langit. “Rindu yang
paling tulus adalah rindu yang membuatmu ingin sujud lebih lama, bukan rindu
yang membuatmu gelisah karena tak dibalas.”
Percakapan itu membekas dalam hati
Rafi. Ia mulai menyadari bahwa inilah cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tidak
menuntut. Tidak meminta balasan. Cinta yang cukup hanya dengan berada dekat.
Suatu malam, di sepertiga malam yang
dingin, Rafi kembali berdiri sendiri di mushola. Tapi malam itu berbeda. Setelah
menyelesaikan tahajud, ia duduk bersandar di dinding mushola. Hatinya begitu
penuh. Ia membuka Al-Qur’an, membacanya perlahan. Kemudian ia menulis di
jurnalnya, sebuah kebiasaan yang masih ia jaga.
"Aku tidak tahu bagaimana
menjelaskan rindu ini, Ya Allah. Tapi aku tahu Kau tahu. Aku datang malam ini
bukan untuk meminta apa-apa. Aku hanya ingin hadir. Aku ingin Kau tahu, aku
rindu. Aku ingin Kau tahu, aku mencintai-Mu — meski cinta ini masih penuh noda,
masih sering teralihkan. Tapi aku sedang belajar. Aku sedang tumbuh. Tolong
jaga aku dalam rindu ini."
Keesokan harinya, Rafi membagikan
sepenggal tulisannya itu ke komunitas. Tak disangka, tulisan itu menyebar
cepat, dikutip oleh banyak orang, bahkan ada yang menyimpannya sebagai
wallpaper. Salah satu komentar dari seorang pembaca berbunyi, “Tulisan ini
membuatku bangun malam untuk pertama kali. Terima kasih karena telah membagi
rindumu.”
Rafi membaca komentar itu dengan
mata berkaca. Ia sadar, cinta yang tumbuh dalam diam bisa berbuah pada kebaikan
yang luas. Rindu yang mekar dalam hatinya ternyata menginspirasi banyak jiwa
lain untuk ikut merindukan Tuhan.
Beberapa waktu kemudian, Rafi
diundang untuk mengisi sebuah kajian subuh di masjid besar kota. Judul yang ia
pilih adalah: “Rindu yang Membuatmu Bangun.”
Di hadapan ratusan jamaah, ia
berbicara dengan nada tenang namun dalam.
“Saudaraku,” katanya, “apa yang
membuatmu bangun tengah malam? Apakah kegelisahan? Ataukah rindu?”
Ia berhenti sejenak, menatap jamaah
satu per satu.
“Ada yang bangun malam karena tidak
bisa tidur. Ada yang bangun karena sakit. Tapi yang paling indah adalah mereka
yang bangun karena rindu. Rindu ingin berbicara dengan Tuhan. Rindu ingin
bersimpuh dan menangis dalam sujud, bukan karena sedih, tapi karena tahu bahwa
hanya dalam sujud itu ada damai.”
Ia mengangkat mushaf kecil dari saku
bajunya.
“Allah berfirman, ‘Bangunlah pada
sebagian malam dan bertahajudlah sebagai ibadah tambahan, niscaya Tuhanmu akan
membangkitkanmu ke tempat yang terpuji.’ Lihatlah, Allah menjanjikan
kemuliaan bukan kepada yang kuat atau kaya. Tapi kepada mereka yang bangun
malam karena cinta.”
Setelah kajian, banyak yang
menghampirinya. Seorang bapak paruh baya berkata, “Saya belum pernah merasa
ingin bangun malam. Tapi setelah mendengar ini, saya ingin mencoba. Karena saya
juga ingin merasakan rindu itu.”
Rafi menepuk bahunya, “Mulailah
dengan satu rakaat. Tuhan tidak melihat banyaknya, tapi hatinya.”
Hari-hari berlalu. Tapi rindu dalam
diri Rafi tak pernah surut. Ia terus tumbuh. Dan setiap kali ia merasa lelah
dengan dunia, ia tahu ke mana harus pulang. Bukan ke tempat, bukan ke orang.
Tapi ke sujud.
Ia tahu, tak semua orang bisa
memahami perasaannya ini. Tak semua orang bisa tinggal dalam keheningan dan
menemukan kedamaian di sana. Tapi bagi Rafi, malam telah menjadi taman yang
mekar dalam jiwanya. Dan di taman itulah, ia merasa dicintai, diterima, dan
dikuatkan.
Rafi pernah menulis, “Malam-malamku
kini tidak lagi kosong. Mereka dipenuhi rindu, dipenuhi harap, dipenuhi
pertemuan. Aku tak ingin kehilangan malam. Karena di dalamnya, aku menemukan
diriku yang sebenarnya — seorang hamba, seorang pecinta, seorang yang sedang
pulang.”
Tidak ada komentar untuk "Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 13-14"
Posting Komentar