Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 17-18

 Bab 17: Ujian Terakhir

Suatu pagi yang tenang, langit tampak lebih pucat dari biasanya. Hembusan angin membawa aroma embun dan suara burung yang bersahutan. Rafi baru saja selesai salat subuh di apartemennya ketika ponsel di meja bergetar. Ia melirik layar: “Ibu”. Tak biasanya ibu menelepon sepagi ini.

Dengan hati yang tiba-tiba dipenuhi firasat, Rafi mengangkat. Suara di seberang sana terdengar gemetar.

“Rafi…” suara ibunya pelan, “Ayah… sudah tidak ada…”

Rafi terdiam. Matanya terbuka lebar, namun mulutnya kelu. Waktu seperti berhenti sejenak.

“Jam tiga tadi… ayah menghembuskan napas terakhirnya. Tenang… tanpa sakit berlebihan… kami semua ada di sampingnya…”

Rafi menggenggam ponsel itu lebih erat. Tubuhnya masih duduk tegak, tapi jiwanya serasa runtuh perlahan. Ia tidak menangis. Belum. Hanya diam, mencoba memahami kalimat yang baru saja ia dengar.

“Ayah sudah… kembali…?”

“Iya, Nak.”

Setelah menutup telepon, Rafi mematung. Sajadah masih terhampar di depannya. Ia menatapnya lama, lalu pelan-pelan bersujud. Tapi kali ini bukan dalam salat. Ia hanya menunduk dalam diam, air matanya mulai mengalir ke sajadah yang lembab.

“Ya Allah… aku ridha… aku terima…”

Kalimat itu berulang-ulang di dalam hati. Bukan untuk meyakinkan Tuhan, tapi untuk meneguhkan dirinya sendiri. Karena cinta kepada orang tua bukan sekadar tentang memiliki mereka selama mungkin, tapi juga tentang mengikhlaskan mereka ketika Allah memanggil.


Rafi pulang ke kampung dengan kereta yang sama seperti saat ia pertama kali kembali dari kota — tapi perasaannya kini sangat berbeda. Dulu ia pulang untuk menyembuhkan dirinya. Kini ia pulang untuk melepas orang yang sangat ia cintai.

Rumahnya tampak penuh oleh kerabat, tetangga, dan santri-santri dari pesantren tempat ayahnya mengajar. Wajah-wajah itu menunduk dalam duka, namun tetap memancarkan penghormatan. Ayah Rafi bukan orang besar, tapi dihormati karena ketulusannya. Ia guru, ayah, dan sahabat bagi banyak orang.

Ketika Rafi tiba, jenazah ayahnya telah dikafani. Ia duduk di samping tubuh yang terbujur, menyentuh tangan ayahnya yang dingin, dan mencium kening yang dulu sering menempel di dahinya saat kecil.

“Terima kasih, Yah…” bisiknya. “Untuk semuanya…”

Rafi tidak menangis berlebihan. Ia tidak meronta, tidak menjerit. Tapi air matanya jatuh dalam diam, menandai kesedihan yang tak perlu kata-kata. Ia tahu, kehilangan ini adalah bagian dari perjalanan. Dan ia bersyukur, Allah memanggil ayahnya dalam kondisi baik, dengan husnul khatimah.


Malam harinya, setelah pemakaman, rumah dipenuhi bacaan tahlil. Santri-santri membaca dengan khidmat, suara mereka bergetar dalam setiap doa. Rafi duduk di barisan depan, memimpin dzikir. Tapi sesekali, pikirannya melayang ke masa kecil.

Ia ingat saat ayahnya mengajarinya salat. Saat mereka berjalan bersama ke masjid. Saat ayah menepuk pundaknya pelan sambil berkata, “Nak, dunia ini tempat singgah. Jangan terlalu nyaman.”

Kata-kata itu kini menjadi kenyataan. Ayahnya telah menyelesaikan persinggahan. Dan sekarang, giliran Rafi meneruskan perjalanan, dengan bekal nilai-nilai yang ayahnya wariskan.


Tiga hari setelah wafatnya sang ayah, Rafi duduk sendirian di serambi rumah, menatap langit senja yang keemasan. Ibunya sudah beristirahat, tamu-tamu mulai berkurang. Rafi membuka mushaf kecil milik ayahnya — mushaf yang selalu dibawa ke mana pun pergi.

Di dalamnya terselip catatan kecil, tulisan tangan ayahnya:

“Jika suatu hari aku tak lagi bersamamu, ingatlah bahwa aku ingin melihatmu menjadi laki-laki yang kuat, bukan karena tak menangis, tapi karena bisa bangkit dalam tangis. Jangan takut kehilangan dunia, selama Allah bersamamu.”

Air mata Rafi menetes kembali. Tapi kali ini bukan karena duka semata. Ia menangis karena rindu, karena cinta, dan karena bersyukur memiliki ayah seperti itu. Seorang lelaki sederhana yang meninggalkan warisan abadi: keteladanan.


Kembali ke kota seminggu kemudian bukan hal mudah. Tapi Rafi tahu, hidup harus terus berjalan. Ayahnya telah selesai, tapi dirinya belum. Ada misi yang belum usai.

Setiap pagi, saat berangkat kerja, Rafi melafalkan doa untuk ayahnya. Ia menyalakan audio murottal Qur’an di mobil, dan kadang mengulang ayat yang dulu sering dibacakan sang ayah. Kini, setiap langkahnya terasa berbeda — karena ada jiwa yang ikut dalam langkah itu: jiwa ayahnya.

Rafi menyadari, kematian bukan akhir. Ia hanya pergantian fase. Hubungan mereka tetap ada, hanya bentuknya yang berubah — dari fisik menjadi doa, dari pertemuan menjadi kenangan, dari pelukan menjadi sujud.


Beberapa minggu kemudian, saat memberi kajian di komunitas pemuda, Rafi membahas tentang kehilangan.

“Sahabat semua,” katanya, “sering kita mengira kehilangan adalah hukuman. Padahal, ia bisa jadi panggilan. Panggilan untuk kembali fokus pada yang hakiki.”

Ia bercerita tentang ayahnya. Tentang bagaimana kepergian itu mengguncang, tapi tidak menggoyahkan. Tentang bagaimana sabar bukan berarti tidak sedih, tapi tahu kepada siapa harus berpulang saat sedih datang.

“Jika cinta kita kepada manusia lebih besar dari cinta kita kepada Tuhan, maka setiap kehilangan akan menghancurkan kita. Tapi jika cinta kita kepada Tuhan lebih dalam, maka bahkan kehilangan akan menjadi jalan untuk lebih dekat kepada-Nya.”

Para pendengar terdiam. Beberapa terisak. Rafi melanjutkan dengan suara tenang.

“Ketika ayah saya meninggal, saya tidak kuat. Tapi Allah kuatkan. Dan saya belajar satu hal: selama kita yakin bahwa pertemuan di akhirat adalah janji-Nya, maka kita tidak benar-benar berpisah.”


Beberapa bulan setelah itu, pernikahan Rafi dan Nanda akhirnya terlaksana. Dalam kesederhanaan, tapi penuh makna. Saat ijab kabul diucapkan, Rafi sempat menoleh ke atas — seakan hendak menyampaikan kepada ayahnya, “Yah, anakmu kini melangkah… dengan semua ajaran yang kau titipkan.”

Di rumah tangganya, Rafi membawa nilai-nilai ayahnya. Ia menjadi suami yang lembut, pemimpin yang adil, dan pembimbing yang sabar. Ia tak sempurna, tapi terus belajar. Dan setiap kali menghadapi tantangan, ia teringat wajah ayahnya yang damai dalam tidur terakhirnya.


Ujian terakhir yang datang itu menyakitkan. Tapi juga menyempurnakan. Seperti matahari terbenam yang indah justru karena ia menghilang. Rafi kini tahu: kesedihan tidak selalu melemahkan. Ia bisa menjadi jembatan menuju kedewasaan. Dan kematian bukan akhir cerita. Ia hanya babak baru menuju keabadian.

Ayahnya telah pergi. Tapi warisannya tertanam dalam. Rafi meneruskan langkah, bukan dengan beban, tapi dengan bekal. Karena kini ia tak hanya berjalan untuk dirinya — ia berjalan membawa nama, membawa doa, dan membawa amanah.

Dan langit, tempat hatinya bergantung, menjadi semakin dekat. Karena seseorang yang ia cintai telah kembali ke sana — dan kelak, di sanalah mereka akan bertemu lagi.

Bab 18: Syukur Sejati

Pagi itu matahari muncul perlahan di balik jendela rumah kecil Rafi dan Nanda. Suaranya yang mengalun rendah sedang membaca Al-Qur’an dari ruang tamu, menyambut fajar bersama embun yang mulai menguap. Udara sejuk meresap ke dalam dinding rumah dan ke dalam hati yang telah lama belajar tenang.

Rafi menutup mushafnya perlahan. Ia menarik napas dalam, lalu melepaskannya seperti melepaskan seluruh beban hidup ke langit. Di sekelilingnya, tak ada kemewahan. Hanya rak buku sederhana, sejadah yang mulai usang, dan wangi kayu dari meja kecil buatan ayahnya yang dulu. Tapi justru dari kesederhanaan inilah, Rafi merasakan kekayaan yang tak bisa dibeli: ketenangan dan rasa syukur.

Beberapa tahun terakhir adalah perjalanan yang panjang. Ia telah jatuh, bangkit, kehilangan, dan mencinta. Ia telah mengenal dunia dengan segala likunya, lalu mengenal dirinya sendiri dalam pencarian yang sunyi. Tapi dari semua hal yang ia lewati, satu hal kini ia pahami: bahwa seluruh hidupnya adalah milik Allah semata, dan syukur adalah bentuk cinta yang paling sejati.


Syukur bukan hanya tentang mengatakan “alhamdulillah” saat mendapat rezeki, atau ketika doa terkabul. Bagi Rafi, syukur telah menjelma menjadi napas. Ia hadir dalam langkah, dalam kelelahan, dalam diam, bahkan dalam luka. Syukur adalah cara ia menerima — bukan hanya yang baik, tapi juga yang pahit.

“Sakit itu pun nikmat,” ujar Rafi suatu kali kepada Nanda saat ia sedang demam ringan.

Nanda tertawa kecil. “Nikmat dari bagian mana?”

“Karena sakit memaksaku diam. Dan dalam diam, aku mendengar suaraku sendiri. Lalu aku tahu, bahwa Allah masih memberiku waktu untuk sadar.”

Syukur bukan sekadar reaksi, melainkan sikap. Ia bukan hanya ucapan, melainkan kesadaran. Dan Rafi telah tiba pada kesadaran itu, setelah melewati jalan panjang pencarian.


Dalam setiap pekerjaan yang ia jalani, Rafi kini tidak lagi mencari pengakuan. Ia bekerja dengan niat untuk memberi, bukan mengambil. Ia memahami bahwa pekerjaan hanyalah sarana untuk menunaikan amanah — bukan tempat menggantungkan harga diri.

Ia tetap ke kantor seperti biasa, tetap menyelesaikan tanggung jawabnya dengan tekun. Tapi jika ditanya apa yang membuatnya bahagia, ia akan menjawab: “Karena aku bisa bekerja tanpa takut kehilangan. Karena hatiku sudah aku serahkan pada-Nya.”

Salah satu rekan kerjanya, Amir, pernah berkata, “Raf, lo nggak pernah marah ya? Kok bisa sabar terus sih?”

Rafi menjawab sambil tersenyum, “Karena aku sudah belajar, bahwa dunia ini bukan tempat untuk menuntut segalanya berjalan sesuai mauku. Dunia ini tempat kita belajar menerima.”


Setiap malam sebelum tidur, Rafi dan Nanda membiasakan untuk menuliskan tiga hal yang mereka syukuri hari itu. Kadang hal-hal besar seperti keberhasilan proyek, kadang hal kecil seperti aroma teh hangat atau canda tawa bersama tetangga.

Di malam ulang tahun pernikahan pertama mereka, Nanda bertanya pelan, “Kalau cuma boleh menyebut satu hal yang paling kamu syukuri selama ini, apa yang akan kamu pilih?”

Rafi diam sejenak, lalu menjawab, “Kesempatan untuk mengenal Allah. Karena tanpanya, semua yang lain akan kosong.”

Jawaban itu membuat Nanda terdiam. Karena ia tahu, itu bukan sekadar kalimat romantis. Itu datang dari hati yang telah diproses oleh luka, kehilangan, dan kesendirian — lalu dijernihkan oleh doa dan dzikir.


Rafi kini juga sering diundang untuk berbagi dalam forum-forum komunitas. Tapi ia tidak pernah ingin disebut ustaz atau motivator. Ia hanya berkata, “Saya bukan siapa-siapa. Saya cuma seseorang yang pernah tersesat, dan sedang terus belajar berjalan ke arah cahaya.”

Di salah satu forum remaja, ia berkata:

“Kita sering menunggu bahagia untuk bersyukur. Padahal, rasa syukur itulah yang justru mengundang bahagia. Saat kita bersyukur, kita menyadari bahwa hidup bukan tentang sempurna, tapi tentang cukup. Dan cukup itu bukan soal jumlah, tapi soal rasa.”

Seorang anak muda bertanya, “Bang, kalau hidup lagi hancur-hancurnya, masih bisa bersyukur?”

Rafi menjawab dengan lembut, “Saat hidupmu terasa hancur, itu berarti Allah sedang menata ulang. Dan syukurmu saat hancur justru paling berharga, karena saat itulah kamu sedang mencintai tanpa syarat.”


Rafi juga merasakan betapa rasa syukur memperbaiki hubungannya dengan orang lain. Ia lebih mudah memaafkan, lebih mudah menerima perbedaan, dan lebih mudah bahagia dengan kebahagiaan orang lain. Ia tak lagi merasa perlu membandingkan hidupnya dengan siapa pun.

Ia belajar bahwa iri hati datang dari lupa bersyukur, dan syukur datang dari sadar bahwa segala sesuatu datang dari Allah, sesuai takaran-Nya. Tidak lebih, tidak kurang.

Ketika suatu hari seorang sahabatnya membeli rumah mewah, Rafi datang memberi selamat dengan tulus. Tanpa cemburu, tanpa pura-pura. Karena ia tahu, yang menentukan keberkahan bukanlah ukuran rumah, tapi suasana hati penghuninya.


Pada satu malam, Rafi terbangun dan merasa ingin bersujud. Tidak karena sedang mendapat ujian. Tidak karena sedang resah. Tapi karena rindu.

Ia mengambil wudhu, menyalakan lampu temaram, lalu berdiri menghadap kiblat. Dalam salat malam itu, ia menangis — bukan karena sedih, tapi karena haru. Karena betapa banyak hal yang ia terima, padahal ia merasa tidak pantas.

“Ya Allah,” bisiknya dalam sujud, “aku tidak tahu harus membalas dengan apa… selain syukur yang tak pernah putus…”

Saat itulah Rafi benar-benar merasa bebas. Bukan karena ia memiliki semuanya, tapi karena ia tak lagi bergantung pada apa pun. Ia mencintai hidup ini, bukan karena hidup selalu mudah, tapi karena ia tahu kepada siapa hidup ini harus diserahkan.


Suatu pagi, Rafi dan Nanda berjalan di taman kecil dekat rumah. Anak-anak kecil berlarian, langit cerah, dan aroma tanah basah masih tersisa dari hujan semalam. Rafi menggenggam tangan Nanda, lalu berkata:

“Aku dulu berpikir syukur itu adalah hadiah bagi yang beriman. Tapi sekarang aku tahu, syukur itu adalah iman itu sendiri.”

Nanda menoleh, tersenyum, lalu mengangguk. “Dan mungkin, syukur juga adalah bentuk cinta paling dalam. Karena ia tidak menuntut apa pun, hanya menerima dan mencintai, apa adanya.”

Mereka berjalan perlahan, melewati hari, melewati kehidupan, dengan bekal yang paling kuat: hati yang bersyukur.


Kini, Rafi tak lagi mencari makna hidup. Ia tahu, makna itu bukan untuk ditemukan di luar sana — tapi ditumbuhkan dari dalam. Dan saat hati sudah penuh syukur, maka makna akan hadir sendiri, mengalir dalam setiap napas.

Syukur bukan hanya bentuk cinta, tapi cara kita mencintai — Allah, manusia, dan hidup itu sendiri.

Dan bagi Rafi, itulah akhir dari pencarian panjangnya.

Akhir yang bukan penutup, tapi permulaan baru.

Permulaan dari hidup yang dipenuhi cahaya, karena hati telah menyatu dengan kehendak-Nya.

Tidak ada komentar untuk "Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 17-18"