Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 3-4
Bab 3: Permata di Dasar Laut
Siang
itu, Jakarta terasa begitu panas. Langit mendung, tapi hawa terasa pengap,
seperti menyimpan beban yang tak kunjung dicurahkan menjadi hujan. Rafi duduk
di sebuah kafe kecil, menatap gelas kopi yang mulai dingin. Matanya menerawang
ke jendela, ke arah lalu lintas yang padat.
Sudah
seminggu sejak malam penuh bisikan itu. Sejak ia kembali mencoba menyentuh
sajadah dan merawat rindu yang masih kuncup. Tapi pagi ini, entah kenapa,
dadanya kembali sesak. Ada gejolak di dalam yang tidak bisa ia pahami. Seperti
ombak yang bergulung di dalam laut, menghempas dinding jiwanya.
Ia
mengeluarkan jurnalnya dari tas dan menulis:
Jurnal Siang, 13:15 WIB
"Aku
mencari-Mu dalam setiap langkahku. Tapi hari ini aku merasa tenggelam. Seperti
menyelam ke dasar lautan—gelap, sunyi, dan dalam. Katanya ada permata di dasar
sana. Tapi mengapa aku belum menemukannya? Ataukah aku yang terlalu takut
menyelam lebih jauh?"
Seorang
teman lama, Arman, tiba-tiba menelepon. Mereka belum bertemu sejak kuliah. Rafi
memutuskan untuk menerima ajakan makan malam. Mereka bertemu di restoran yang
dulu sering mereka datangi saat masih kuliah dulu—tempat yang penuh kenangan.
"Lo
sekarang kelihatan lebih kalem, Fi," kata Arman sambil tersenyum.
"Enggak
tahu, Man. Mungkin karena banyak mikir," jawab Rafi, menyesap tehnya.
Setelah
berbasa-basi, Arman mulai membuka obrolan yang lebih dalam.
"Lo
nyari apa sih sekarang? Gue denger lo banyak berubah."
Rafi
diam sejenak, lalu menjawab pelan, “Cinta.”
Arman
tertawa kecil. “Cinta siapa? Udah move on dari yang kemarin?”
Rafi
tersenyum tipis. “Bukan cinta manusia. Tapi… cinta Tuhan.”
Arman
terdiam. Wajahnya berubah serius.
“Gue
juga pernah ngerasain, Fi. Di titik paling hancur hidup gue. Waktu itu gue
nyari kedamaian ke mana-mana. Sampe akhirnya gue sadar, kita ini kadang kayak
penyelam yang cari permata di dasar laut, tapi lupa caranya menyelam.”
Perkataan
Arman menghentak Rafi. Sama seperti kalimat si lelaki tua di masjid malam itu.
Kata-kata yang datang seolah dirancang langsung oleh takdir.
Arman
melanjutkan, “Kadang kita pikir permata itu ada di permukaan. Di harta, popularitas,
pujian. Padahal, permata itu cuma bisa ditemukan kalau kita rela tenggelam ke
dalam—ke dalam diri sendiri, ke dalam hati, ke dalam sunyi.”
Malam
itu, Rafi pulang dengan hati yang berat tapi tercerahkan. Ia merasa seperti
seseorang yang baru saja diberi peta, tapi harus rela menempuh perjalanan jauh
untuk mencapai tujuan.
Sesampainya
di apartemen, ia membuka Al-Qur’an. Tangannya berhenti di Surah Al-Hadid ayat
16:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk
tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun?”
Ia
terpaku lama pada ayat itu. Seolah Allah sedang berbicara langsung padanya.
Matanya berkaca-kaca.
“Mungkinkah
waktuku memang sudah datang?” bisiknya lirih.
Malam
itu ia kembali bersujud. Tidak dengan banyak kata. Hanya dengan diam dan air
mata. Tapi dalam keheningan itu, ia merasa hatinya seperti menyentuh
sesuatu—sesuatu yang ia cari selama ini.
Jurnal Malam, 00:42 WIB
“Aku
menyelam lebih dalam malam ini. Ke dalam diriku sendiri. Ke dalam sunyi yang
menakutkan tapi menyucikan. Dan aku mulai melihat… bukan cahaya yang
menyilaukan, tapi setitik permata. Ia belum tergenggam. Tapi aku tahu, ia ada.”
Beberapa
hari setelahnya, Rafi memutuskan untuk cuti kerja. Ia ingin menjauh dari
hiruk-pikuk kota, dari polusi dan rutinitas yang membuatnya lupa cara diam. Ia
memilih pergi ke sebuah kota kecil di Jawa Barat, ke sebuah pesantren yang
pernah disarankan temannya.
Perjalanan
itu seperti perjalanan batin. Dalam bus yang melaju perlahan, Rafi kembali
menulis:
“Aku
tak tahu apa yang akan kutemui di sana. Tapi jika cinta tak bisa tumbuh di
tempat yang bising, mungkin aku harus pindah ke tanah yang lebih tenang.”
Sesampainya
di pesantren itu, ia disambut dengan kesederhanaan. Bangunan tua, udara dingin,
suara ayam dan jangkrik di malam hari. Tapi justru dalam kesunyian itu, Rafi
merasa hatinya kembali hidup.
Ia
bertemu dengan Kyai Umar, seorang ulama sepuh yang dikenal bijaksana. Kyai itu
menatap Rafi dengan senyum tenang, lalu berkata,
“Jika
engkau mencari permata, bersiaplah untuk menyelam dalam gelap. Tapi jangan
takut. Allah itu cahaya yang akan menuntunmu.”
Hari-hari
di pesantren itu diisi dengan belajar, ibadah, zikir, dan tafakur. Tidak ada
gemerlap, tidak ada sinyal ponsel, hanya ada langit yang luas dan hati yang
dibersihkan.
Di
malam keempat, saat semua santri sudah tidur, Rafi duduk sendiri di serambi
masjid. Ia memandang langit yang penuh bintang, dan hatinya terasa lapang.
“Ya
Allah... aku mulai melihat permata itu. Bukan dalam bentuk kemewahan. Tapi dalam
bentuk ketenangan yang tak bisa dibeli."
Jurnal Malam, 02:10 WIB
“Permata itu bukan di dasar dunia, tapi di dasar hati. Dan aku... aku mulai menemukan hatiku kembali.”
Bab 4: Hujan dari Tujuh Langit
Pagi
di pesantren itu datang dengan pelan. Kabut masih menggantung rendah, seakan
enggan beranjak dari bumi. Udara dingin menusuk sampai ke tulang, tapi Rafi
merasa hangat dalam diamnya. Hatinya yang dulu beku, kini perlahan mencair.
Sudah
sepekan ia tinggal di sana. Hidupnya diisi dengan rutinitas sederhana: bangun
sebelum Subuh, shalat berjamaah, belajar kitab kuning, menyapu halaman, dan
membaca Al-Qur’an di sore hari. Tidak ada notifikasi dari ponsel, tidak ada
jadwal rapat, tidak ada kemacetan. Hanya dirinya dan Allah.
Pagi
itu, saat sedang membersihkan halaman masjid, hujan turun. Bukan hujan deras,
tapi gerimis halus yang jatuh lembut seperti bisikan langit. Rafi menengadahkan
wajahnya, membiarkan tetes-tetes itu menyentuh kulitnya.
“Ini
bukan hujan biasa,” gumamnya. “Ini seperti… rahmat.”
Kyai
Umar yang berdiri tak jauh darinya berkata pelan, “Tahukah kamu, Rafi… hujan
adalah perumpamaan yang sering digunakan Allah dalam Al-Qur’an. Hati manusia
seperti tanah. Jika ia keras dan kering, ia butuh air. Dan air itu adalah
wahyu.”
Rafi
menatap wajah sang Kyai yang teduh.
“Tapi
kenapa aku masih merasa hatiku belum subur, Kyai? Aku sudah membaca Al-Qur’an,
shalat, zikir… tapi rasanya belum juga tumbuh rindu itu.”
Kyai
Umar tersenyum. “Karena kadang, wahyu tidak cukup jika kamu tidak siap
menerimanya. Seperti tanah yang butuh dibajak dulu, baru bisa menyerap air.”
Perumpamaan
itu menusuk hati Rafi.
Malam
harinya, ia duduk sendiri di musholla kecil di belakang pesantren. Cahaya lampu
redup, suara jangkrik mengisi malam, dan Al-Qur’an terbuka di depannya. Ia
membaca perlahan, ayat demi ayat, sambil merenungi maknanya.
“Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi, lalu Kami
tumbuhkan dengan air itu taman-taman dan biji-bijian yang dapat dipanen.”
(Q.S. Qaf: 9)
Air
dari langit. Air yang diberkahi. Itu adalah perumpamaan petunjuk, cinta,
rahmat. Rafi menutup mushafnya dan menatap langit-langit.
"Ya
Allah... aku haus. Siramilah aku dengan hujan dari tujuh langit-Mu..."
Air
mata jatuh tanpa ia sadari. Rafi menyadari bahwa selama ini ia hanya memohon
cinta, tapi belum sepenuhnya membuka hatinya. Ia berharap hujan cinta turun,
padahal ia sendiri belum membersihkan hatinya dari kerak-kerak dunia.
Esok
harinya, Kyai Umar memanggilnya ke ruang kecil penuh kitab.
“Kamu
pernah membaca kisah sahabat yang menangis dalam tahajud karena takut Allah
tidak menerima cintanya?”
Rafi
menggeleng.
“Kisah
itu sederhana. Tapi mengajarkan bahwa rindu sejati pada Allah datang bersama
kerendahan hati. Kamu belum merasakan rindu karena hatimu masih merasa cukup.
Merasa usahamu sudah cukup.”
Kata-kata
itu menghantam batin Rafi.
“Jadi,
aku belum sepenuhnya menyerah?”
“Belum.
Kamu masih menggenggam dunia di satu tangan, dan ingin menggenggam Tuhan di
tangan lain. Padahal untuk memeluk-Nya, kamu harus melepaskan segalanya.”
Hari-hari
setelah itu, Rafi mulai mengubah cara ia beribadah. Ia tak lagi memikirkan
jumlah rakaat, atau sudah berapa halaman ia baca. Ia mulai melibatkan hatinya
sepenuhnya. Ia belajar menitikkan air mata karena dosa-dosa masa lalunya. Ia
mulai mengingat wajah ibunya yang kecewa saat ia tinggalkan shalat. Ia ingat
saat ayahnya meninggal, dan ia tidak sempat mendoakan.
Dalam
satu malam, ia kembali terbangun menjelang Subuh. Kali ini, bukan karena alarm,
tapi karena bisikan dari dalam dirinya sendiri. Ia duduk di atas sajadah, dan
dalam sujudnya, ia tak henti-henti berkata:
“Ya
Allah… siramilah aku. Siramilah aku. Siramilah aku…”
Tangisnya
pecah. Ia tak tahu kenapa, tapi hatinya seolah benar-benar terbuka malam itu.
Setiap kata “Allah” yang ia ucapkan terasa seperti getaran. Setiap ayat yang ia
baca terasa masuk dan mengisi ruang kosong yang selama ini ia cari-cari
jalannya.
Jurnal Malam, 03:05 WIB
“Hujan
dari langit itu akhirnya turun. Bukan dalam bentuk air, tapi dalam bentuk
ketenangan yang belum pernah kurasakan. Ya Allah, aku mulai mengenal-Mu.
Sedikit demi sedikit. Dan itu sudah cukup untuk membuatku menangis.”
Setelah
Subuh, Rafi duduk di serambi musholla sambil memeluk Al-Qur’an. Udara pagi
masih dingin, tapi hatinya terasa hangat.
Kyai
Umar menghampirinya, dan berkata lembut:
“Rafi…
kamu telah disentuh. Tapi jangan berhenti di sini. Siraman dari langit hanya
akan tumbuh menjadi bunga jika kamu terus merawatnya.”
“Aku
takut kehilangan rasa ini, Kyai.”
“Semua
yang datang dari Allah akan tetap tinggal, jika kamu menjaganya dengan rendah
hati.”
Hari
itu, Rafi membantu para santri menanam pohon di halaman pesantren. Saat
menancapkan bibit kecil ke dalam tanah, ia teringat hatinya sendiri. Ia
tersenyum dalam hati.
“Aku
pun sedang menanam. Semoga hujan cinta dari langit itu cukup menyuburkan
jiwaku.”
Jurnal Sore, 17:48 WIB
“Mungkin
ini yang dimaksud cinta spiritual. Bukan yang menggetarkan tubuh, tapi yang
menenangkan jiwa. Bukan yang membuat berdebar, tapi yang membuat hati tunduk
dan penuh syukur.”
Malam
itu, ia kembali menulis, kali ini dengan kalimat yang lebih mantap:
“Aku mulai mencintai-Mu, ya Allah. Bukan karena aku sudah pantas mencintai-Mu. Tapi karena aku tahu… tidak ada yang lebih pantas dicintai selain Engkau.”
Tidak ada komentar untuk "Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 3-4"
Posting Komentar