Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 1-2
BAB 1: HATI YANG GERSANG
Mentari
pagi menyusup perlahan ke celah tirai jendela kamar Rafi. Ia masih terbaring,
matanya terbuka namun tak bergerak. Suara kendaraan dari luar dan nyanyian
burung tak menggugah hatinya. Ia seperti tubuh tanpa jiwa—hidup, namun tak
benar-benar hidup.
Rafi,
27 tahun, berpendidikan tinggi, kariernya stabil, dan ia tinggal di apartemen
modern di tengah kota. Hidupnya tampak sempurna di mata orang lain. Tapi yang
orang-orang tak tahu, hatinya kering, seperti tanah tandus yang menanti hujan,
namun tak kunjung turun.
Setiap
hari ia bangun dengan rasa yang sama—kosong. Ia pergi kerja, menyelesaikan
tugas-tugas kantor, berbicara sopan kepada kolega, bahkan masih tersenyum pada
saat-saat tertentu. Tapi begitu malam tiba dan dirinya sendiri, Rafi kembali
diselimuti kehampaan.
"Apa
sebenarnya yang aku cari?" bisiknya lirih, menatap langit-langit kamarnya
yang putih. Ia sudah memiliki banyak hal—uang cukup, teman, gadget mahal,
bahkan bisa liburan ke mana saja. Tapi ia merasa tidak bahagia. Ada ruang di
dalam dirinya yang tak bisa diisi oleh apa pun.
Sore
itu, ia duduk di balkon, memandang keramaian kota Jakarta dari lantai 15
apartemennya. Ia mencoba menulis sesuatu di jurnal kecil yang sudah lama ia
abaikan. Ia menulis:
“Sebenarnya
hati ini cinta kepada-Mu. Sebenarnya diri ini rindu kepada-Mu. Tapi… mengapa
aku tidak mengerti? Mengapa cinta masih tak hadir? Mengapa rindu belum
berbunga?”
Ia
berhenti menulis, menatap kosong ke langit yang perlahan berubah jingga.
Kata-kata itu muncul begitu saja, entah dari mana. Tapi ia tahu, itu bukan
sekadar tulisan—itu jeritan hatinya yang terdalam.
Beberapa
minggu terakhir, Rafi mulai merasakan panggilan aneh dalam hatinya. Seolah ada
suara yang memanggil, lembut namun terus-menerus: "Kembali..."
Ia
mencoba mengabaikannya. Ia berpesta dengan teman-teman, pergi ke tempat ramai,
mencari kesibukan. Tapi suara itu tetap ada. Bahkan saat ia tertawa bersama
teman, ia merasa seperti aktor di panggung sandiwara.
Suatu
malam, ia mencoba shalat. Sudah lama sekali ia tak benar-benar shalat dengan
khusyuk. Ia ragu-ragu, malu pada dirinya sendiri. Tapi akhirnya, ia berdiri
juga di atas sajadah yang hampir berdebu. Tangannya terangkat gemetar, dan
bibirnya mengucapkan takbir.
"Allahu
Akbar..."
Tiba-tiba
air mata jatuh. Bukan karena sedih, tapi karena hatinya terasa rapuh. Kata-kata
doa yang selama ini terasa asing, malam itu terasa menyentuh. Tapi ia tak bisa
menangis lebih lama. Hatinya masih terlalu keras, pikirannya masih gelisah.
Setelah
shalat, ia kembali menulis di jurnal:
"Aku
mencoba mendekat. Tapi mengapa aku merasa tetap jauh? Aku menyeru nama-Mu, ya
Allah... tapi mengapa hatiku belum juga merasa tenang?"
Hari-hari
berikutnya, ia mulai mencoba memperbaiki rutinitas. Ia mulai membaca Al-Qur’an
walau hanya satu dua ayat. Ia menonton kajian agama di YouTube. Ia bertanya
pada seorang teman lamanya yang kini menjadi ustadz.
Namun
semua itu terasa seperti tempelan. Ia melakukannya, tapi hatinya belum ikut
serta. Ia merasa seperti orang yang sedang memberi hadiah pada Tuhan, tapi tak
tahu apakah hadiah itu diterima.
Pagi
itu, ia membuka cermin dan menatap dirinya. Ia bertanya kepada bayangan di
sana, "Apakah kamu benar-benar mencari Tuhan? Atau hanya mencari pelarian
dari sepi?"
Pertanyaan
itu membekas dalam pikirannya sepanjang hari.
Di
kantor, Rafi duduk sambil menatap monitor, namun pikirannya melayang. Ia ingat masa
kecilnya di kampung, saat suara azan selalu menenangkan, saat ia melihat
ayahnya menangis dalam sujud. Waktu itu, ia belum mengerti. Tapi sekarang ia
merindukan perasaan itu—perasaan dekat dan aman bersama Tuhan.
Pada
suatu malam yang sepi, Rafi kembali ke sajadah. Ia berdoa lebih lama dari
biasanya. Ia tak banyak berkata-kata, hanya diam, dan membiarkan air matanya
jatuh. Hatinya berkata:
“Ya
Allah, aku tidak tahu bagaimana cara mencintai-Mu. Aku tidak tahu bagaimana
merindukan-Mu. Tapi aku ingin… sungguh ingin.”
Doa
itu sederhana, tapi jujur.
Malam
itu, untuk pertama kalinya, ia tidur dengan perasaan sedikit berbeda. Ada
ketenangan kecil menyusup ke dalam hatinya. Belum penuh, tapi cukup untuk
menghapus sedikit kegersangan.
Ia tahu, perjalanannya baru dimulai. Tapi satu hal ia sadari: hatinya yang dulu kering kini mulai retak-retak, memberi ruang bagi hujan untuk turun.
Bab 2: Bisikan Malam
Malam
menurunkan sunyinya perlahan. Di luar jendela kamar Rafi, kota masih menyala,
seolah tak pernah lelah. Tapi di dalam kamar itu, hanya ada cahaya temaram dari
lampu meja dan suara detik jam dinding yang terdengar seperti dentuman di hati
yang sepi.
Rafi
duduk bersandar di ranjangnya, memeluk lutut sambil memandangi Al-Qur’an kecil
yang tergeletak di meja. Tangannya belum tergerak membukanya. Sudah hampir
sejam ia hanya duduk, seperti menunggu sesuatu yang tak ia pahami.
Ada
bisikan halus dalam hatinya. Bukan suara nyata, tapi semacam getaran yang tak
bisa dijelaskan dengan kata-kata. Getaran itu membuat dadanya sesak, seperti
ada yang ingin keluar tapi tertahan.
Ia
memejamkan mata. Dalam keheningan itu, muncul bayangan-bayangan masa lalunya.
Wajah ibunya yang selalu menangis saat berdoa, suara ayahnya yang membacakan
doa sebelum tidur, bahkan suara muazin dari masjid dekat rumah yang dulu selalu
ia abaikan.
"Kenapa semua itu terasa lebih hidup sekarang?"
gumamnya pelan.
Rafi
mengambil wudhu. Air yang menyentuh kulitnya terasa lebih dingin dari biasanya,
seolah menyapa dan mengingatkan. Setelah selesai, ia kembali ke sajadah dan
berdiri perlahan, seperti seseorang yang malu datang ke pertemuan yang telah
lama ia tinggalkan.
“Allahu
Akbar,” ucapnya lirih.
Shalat
itu tidak sempurna. Masih banyak pikiran yang mengganggu. Tapi ada kejujuran
dalam setiap gerakannya. Saat sujud, hatinya kembali menangis. Ia tak tahu doa
apa yang harus ia ucapkan, maka ia hanya berkata dalam hati:
“Ya
Allah, aku kembali. Aku tidak tahu caranya, tapi aku ingin Engkau tahu bahwa
aku mencoba.”
Setelah
selesai, ia duduk dalam diam. Lama. Hingga malam benar-benar sunyi. Lalu, ia
menyalakan Al-Qur’an digital di ponselnya, dan memilih surah pendek. Saat suara
ayat pertama terdengar, dadanya bergetar:
“Alam nashrah laka shadrak...”
(Bukankah Kami telah melapangkan dadamu?)
Rafi
memejamkan mata. Ia merasa seolah ayat itu ditujukan langsung padanya. Seakan
Tuhan berkata, "Aku tahu dadamu sempit. Tapi Aku bisa
melapangkannya."
Ia
tak bisa menahan air mata. Tangis itu bukan karena sedih, tapi karena disentuh
oleh sesuatu yang sangat dalam—sesuatu yang tak pernah ia rasakan dari film,
musik, atau bahkan cinta manusia.
Malam
itu, Rafi memulai kebiasaan baru: berbicara dengan Tuhan. Ia menulis dialog
dalam jurnalnya, seolah sedang berdiskusi.
Jurnal Malam, 22:47 WIB
Rafi: “Ya Allah, mengapa aku merasa begitu kosong?”
Suara hati: “Karena kamu telah
lama jauh dari-Nya.”
Rafi: “Apakah aku bisa
kembali?”
Suara hati: “Pintu-Nya tidak
pernah tertutup.”
Rafi: “Lalu mengapa aku belum
bisa mencintai-Nya?”
Suara hati: “Karena cinta harus
ditumbuhkan—dengan doa, dengan sabar, dan dengan rindu.”
Setiap
malam, ia mengulang ritual itu: shalat, membaca Al-Qur’an, dan menulis di
jurnal. Ia belum merasakan kebahagiaan besar, tapi ia mulai merasa lebih damai.
Namun
perjalanan itu tak mulus. Ada malam-malam ketika ia merasa usahanya sia-sia.
Ada hari-hari ketika ia kembali tergoda dengan kenyamanan dunia: pesta, media
sosial, rayuan untuk kembali menjadi "Rafi yang dulu".
Suatu
malam, ia terjebak dalam konflik batin yang kuat. Ia merasa lelah. Ia bertanya
pada dirinya sendiri: "Apakah semua ini hanya karena aku
sedang sepi? Atau memang aku benar-benar mencari sesuatu yang lebih
tinggi?"
Pertanyaan
itu membuatnya termenung. Lalu ia bangkit, mengambil jaket, dan keluar dari
apartemennya. Ia berjalan kaki menuju masjid yang buka 24 jam. Masjid kecil,
tidak ramai, tapi cukup untuk tempat menenangkan hati.
Saat
ia masuk, hanya ada satu orang tua yang duduk di pojok. Rafi berjalan pelan, mengambil
tempat di dekat mihrab. Ia tidak langsung shalat. Ia hanya duduk, menunduk, dan
menahan air mata.
Bisikan
malam itu datang lagi. Tapi kali ini bukan dari hati, melainkan dari lisan
orang tua itu. Laki-laki itu mendekat dan berkata perlahan:
“Nak,
kalau kau sedang mencari Tuhan, jangan gunakan logika. Gunakan rindu. Rindu itu
yang akan menunjukkan jalan.”
Rafi
terkejut. Ia tak tahu siapa orang itu. Tapi kata-katanya seperti jawaban atas
semua kebingungannya.
“Bagaimana
caranya merindu pada Tuhan, Pak?” tanya Rafi lirih.
Orang
tua itu tersenyum. “Mulailah dengan menyebut nama-Nya setiap malam. Jangan
paksa hatimu, tapi ajak dia berbicara. Lama-lama, kau akan merindukan saat-saat
itu.”
Malam
itu, Rafi pulang dengan hati yang sedikit lebih ringan. Ia mulai mengerti,
bahwa perjalanan spiritual bukan tentang hasil instan. Tapi tentang keikhlasan
dalam setiap langkah.
Jurnal Malam, 01:12 WIB
“Aku
mulai memahami... Rindu itu bukan tiba-tiba datang seperti hujan. Ia tumbuh
seperti bunga. Harus disiram. Harus dijaga. Harus dinanti. Ya Allah, jika rindu
ini belum berbunga, ajarkan aku untuk menanti dengan sabar.”
Pagi
harinya, alarmnya berbunyi sebelum subuh. Untuk pertama kalinya, Rafi bangun
dengan ringan. Ia mengambil wudhu, dan berdiri untuk shalat Subuh. Hatinya
masih belum penuh. Tapi ia merasa... ada sesuatu yang mulai tumbuh.
Perjalanan itu masih panjang. Tapi bisikan malam itu telah membangkitkan satu keyakinan: bahwa Tuhan memang tidak jauh. Hanya hati manusialah yang sering tertutup. Dan saat hati mulai retak, cahaya-Nya pun mulai menyelinap masuk
Tidak ada komentar untuk "Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 1-2"
Posting Komentar