KUTUKAN CINTA, BAB 9-10
Bab 9: Tertawan Pedih
Aksara melangkah perlahan menuju
apartemennya, perasaan yang tak bisa dijelaskan mengalir dalam dirinya.
Langkahnya terasa berat, setiap detik terasa begitu lama, seperti beban yang
sulit untuk dilepaskan. Baru saja ia merasa bahwa dirinya mulai bangkit dari keterpurukan,
namun takdir seakan memberi kejutan yang kembali menghempaskannya ke dalam
kegelapan.
Pagi itu, ia baru saja membuka
aplikasi media sosialnya saat sebuah pemberitahuan muncul. Sebuah status baru
dari Kirana, yang mengabarkan bahwa dirinya baru saja bertunangan dengan pria
lain. Foto mereka berdua tersenyum lebar, memancarkan kebahagiaan yang tak bisa
dipungkiri. Kirana mengenakan cincin pertunangan yang berkilau, sementara pria
itu menggenggam tangannya dengan penuh kasih. Sungguh, itu adalah pemandangan
yang membuat hati Aksara seperti tercabik-cabik.
Aksara menatap layar ponselnya
dengan pandangan kosong, pikirannya kosong. Setiap detik yang berlalu seakan
menggetarkan hatinya. Kenapa Kirana harus melakukan ini? Kenapa harus memilih
orang lain setelah semua yang telah mereka lalui bersama? Padahal Aksara sudah
berusaha begitu keras untuk melepaskan rasa sakitnya, untuk menerima kenyataan
bahwa hubungan mereka tidak akan berlanjut. Namun, kabar ini—kabar pertunangan
itu—kembali membuka luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Dengan tangan yang gemetar, Aksara
menutup aplikasi tersebut dan melemparkan ponselnya ke meja. Ia tahu ini adalah
bagian dari proses, bagian dari kenyataan yang harus diterimanya, namun ia tak
bisa menahan rasa kecewa yang menyelimutinya. Cinta yang ia berikan selama ini
ternyata tak cukup untuk menjaga hubungan itu tetap utuh. Kini, ia harus
menerima kenyataan pahit bahwa Kirana sudah memilih jalan hidupnya sendiri,
tanpa dirinya.
Kekecewaan yang Terus Menghantui
Hari-hari setelah itu terasa begitu
sunyi. Aksara berusaha menjalani rutinitasnya seperti biasa, namun ia merasa
ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Pekerjaan, pertemuan dengan teman-teman,
bahkan waktu untuk diri sendiri, semuanya terasa begitu hampa. Setiap kali ia berusaha
untuk melupakan, kenangan-kenangan bersama Kirana kembali datang dengan
sendirinya, seperti bayangan yang tak bisa dihindari. Tertawaan Kirana yang
dulu sering terdengar ceria di telinganya kini menjadi suara yang menghantui
pikirannya.
Aksara tahu bahwa ia harus
melanjutkan hidupnya, namun rasa sakit itu tak bisa langsung lenyap begitu
saja. Ia merasa seakan dunia ini tertutup rapat, tidak ada ruang untuknya untuk
bernapas. Apalagi dengan kabar pertunangan Kirana yang semakin menegaskan bahwa
ia tidak ada lagi dalam rencana hidupnya. Sering kali, Aksara merasa seperti
tidak punya tujuan lagi. Ia merasa terperangkap dalam sebuah dunia yang penuh
dengan kekecewaan dan kebingungan.
Namun, meskipun hatinya hancur,
Aksara mencoba untuk bertahan. Ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan,
meskipun tak mudah. Kadang, ada momen-momen dalam hidup yang begitu berat untuk
dilalui, tetapi ia tidak bisa membiarkan rasa sakit itu menguasai dirinya.
Nisa, Teman yang Setia
Di saat seperti ini, Aksara tidak
pernah merasa sendirian. Nisa, sahabatnya yang setia, selalu ada untuk
memberikan dukungan. Sejak pertemuan mereka di universitas, Nisa sudah menjadi
teman yang tak tergantikan dalam hidup Aksara. Tidak hanya sebagai teman, Nisa
juga seperti saudara bagi Aksara, yang selalu bisa diandalkan dalam masa-masa
sulit.
Hari itu, Nisa datang menemui Aksara
di apartemennya. Melihat wajah sahabatnya yang pucat dan tampak lelah, Nisa
langsung tahu bahwa ada yang tidak beres. Tanpa banyak bicara, Nisa duduk di
samping Aksara dan menggenggam tangannya dengan lembut.
“Aksara, aku tahu kamu merasa sangat
terluka. Aku bisa merasakannya. Tapi kamu harus ingat satu hal, kamu tidak
sendirian,” kata Nisa dengan suara lembut namun tegas. “Aku di sini untukmu,
selalu.”
Aksara menundukkan kepala, tidak
mampu menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya. Ia merasa begitu lemah,
seperti semua kekuatannya terkuras habis oleh kekecewaan ini. Nisa melihatnya
dengan penuh perhatian, lalu mengelus punggung Aksara dengan lembut.
“Kamu tahu, Aksara, aku mengerti
betapa beratnya perasaanmu sekarang. Tidak mudah untuk menerima kenyataan bahwa
seseorang yang kita cintai lebih memilih orang lain. Tapi kamu juga harus tahu,
ini bukan akhir dari segalanya. Tidak ada yang bisa mengendalikan siapa yang
akan memilih kita atau tidak. Yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana kita
meresponsnya,” kata Nisa.
Aksara mengangkat wajahnya dan
menatap Nisa dengan mata merah, tanda bahwa air mata sudah cukup lama mengalir.
“Tapi, Nisa, aku merasa aku telah memberi segalanya. Aku sudah berusaha untuk
menjadi yang terbaik untuk Kirana. Dan lihat apa yang aku dapatkan? Hanya
kekecewaan.”
Nisa menatap Aksara dengan penuh
pengertian. “Aku tahu kamu sudah memberi banyak, Aksara. Tapi terkadang,
meskipun kita memberi segalanya, itu bukan berarti semuanya akan berjalan
sesuai dengan harapan kita. Cinta itu memang luar biasa, tapi kita harus ingat
bahwa kita tidak bisa memaksa orang lain untuk mencintai kita dengan cara yang
kita inginkan. Itu adalah hal yang harus diterima, meskipun rasanya sangat
sulit.”
Aksara terdiam. Kata-kata Nisa
seolah membuka matanya tentang kenyataan yang harus diterimanya. Cinta itu
memang tak selalu berbalas, dan tidak selamanya seseorang yang kita cintai akan
memilih kita. Namun, itu bukan berarti hidup berhenti di situ.
Membangun Kembali Harapan
Malam itu, Aksara dan Nisa duduk
bersama, berbicara tentang segala hal yang mengganggu pikiran Aksara. Nisa
mengingatkannya bahwa meskipun hidup kadang tidak adil, ia masih memiliki
banyak hal yang bisa disyukuri. Ia masih memiliki teman-teman yang mendukung,
keluarga yang mencintainya, dan kesempatan untuk membangun kehidupan yang lebih
baik.
“Coba lihat dirimu, Aksara. Kamu
kuat. Kamu bisa bangkit dari ini,” kata Nisa dengan penuh keyakinan. “Kita
tidak akan membiarkan kekecewaan ini menghancurkan harapan kita. Kita akan
tetap melangkah maju.”
Aksara menatap sahabatnya dengan
rasa terharu. Ia tahu, meskipun rasa sakit itu belum sepenuhnya hilang, ia
memiliki orang-orang yang peduli padanya, yang siap mendukungnya untuk bangkit.
Nisa tidak hanya memberi semangat, tetapi juga menjadi pengingat bahwa hidup
ini penuh dengan kemungkinan baru. Kekecewaan, meskipun menyakitkan, hanyalah
bagian dari perjalanan panjang menuju kebahagiaan yang sejati.
Hari demi hari, Aksara mulai melihat
segala sesuatunya dengan perspektif yang berbeda. Ia tidak bisa terus meratapi
masa lalu, meskipun itu adalah kenangan yang sulit untuk dilepaskan. Ia harus
melanjutkan hidup, karena hidup ini tidak menunggu siapapun. Tertawaan pedih yang
sempat menguasai pikirannya perlahan-lahan mulai memudar, digantikan dengan
tawa dan kebahagiaan yang datang dari dalam dirinya sendiri.
“Aku akan bangkit, Nisa,” kata
Aksara, suaranya penuh tekad. “Aku akan belajar untuk mencintai diriku sendiri
dulu sebelum aku bisa mencintai orang lain lagi. Aku tidak akan biarkan
kekecewaan ini mengendalikan hidupku.”
Nisa tersenyum puas, merasa senang
melihat sahabatnya kembali menemukan kekuatan dalam dirinya. “Itulah Aksara
yang aku kenal. Kamu lebih dari cukup. Jangan pernah meragukan dirimu.”
Malam itu, Aksara merasa lebih
ringan. Meskipun hatinya masih terasa perih, ia tahu bahwa ia tidak sendirian.
Ada harapan di balik setiap kekecewaan, dan dengan bantuan orang-orang yang
mencintainya, ia pasti bisa melewati semua rintangan ini. Cinta mungkin datang
dan pergi, tetapi kebahagiaan sejati datang dari dalam diri kita sendiri
Bab 10: Menari di Atas Tangisan
Hari-hari berlalu dengan cepat,
namun bagi Aksara, waktu seakan berjalan sangat lambat. Rasa sakit yang ia rasakan
seolah tak kunjung usai, meskipun ia berusaha untuk menghadapinya dengan lebih
tegar. Meskipun Nisa terus memberikan dukungan dan mengingatkan Aksara bahwa
ada banyak hal yang lebih penting dalam hidup, tetap saja kenangan tentang
Kirana menghantui setiap sudut pikirannya. Bagaimana bisa seseorang yang pernah
begitu dekat dengan hatinya kini memilih jalan yang berbeda?
Pagi itu, saat Aksara sedang
menikmati secangkir teh di teras apartemennya, ia menerima pesan singkat yang
datang dari Kirana. Setelah beberapa minggu penuh kebisuan, pesan itu akhirnya
datang. Aksara menatap layar ponselnya dengan ragu. Hatinya berdebar, namun ia
tahu bahwa inilah kesempatan untuk mendapatkan penjelasan, meskipun ia tidak
tahu apa yang akan ia dengar.
Pesan dari Kirana: “Aksara, aku ingin bicara. Bisa kah kita bertemu? Ada
sesuatu yang perlu aku jelaskan.”
Dengan hati yang berdebar, Aksara
menulis balasan. “Kirana, aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Apa yang
bisa kamu jelaskan setelah semuanya yang terjadi?”
Namun, setelah beberapa detik
berpikir, Aksara menambahkan, “Tapi aku akan mendengarkan. Kita bisa
bertemu.”
Tidak lama setelah itu, Kirana
membalas, mengusulkan untuk bertemu di sebuah kafe yang pernah mereka kunjungi
bersama di awal hubungan mereka. Kafe itu memiliki kenangan indah bagi
Aksara—tempat pertama mereka berbicara lebih dalam tentang hidup dan mimpi
mereka. Mengingat tempat itu membawa begitu banyak kenangan manis, Aksara
merasa seakan-akan pertemuan ini akan menjadi babak baru dalam kisah mereka,
meskipun hati kecilnya merasakan keraguan.
Setibanya di kafe, Aksara melihat
Kirana sudah duduk di meja dekat jendela, mengenakan gaun sederhana yang
membuatnya tampak anggun. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Kirana terlihat
lebih tenang, lebih dewasa, seolah-olah ada sebuah beban besar yang kini
tergantung di pundaknya.
Aksara duduk di hadapannya, mencoba
untuk tidak menampilkan rasa kecewa yang mengganjal di hatinya. Kirana
memandangnya dengan mata yang penuh penyesalan, dan tanpa banyak basa-basi, ia
mulai berbicara.
“Aksara, aku tahu kamu merasa sangat
terluka, dan aku minta maaf jika aku membuatmu merasa seperti ini,” Kirana
memulai, suara lembut namun tegas. “Tapi aku perlu kamu tahu bahwa apa yang
terjadi bukanlah pilihanku semata. Aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu.”
Aksara menatapnya dengan tatapan
kosong, mencoba mengendalikan perasaannya. “Aku sudah mendengar cukup banyak,
Kirana. Apa lagi yang bisa kamu jelaskan? Kamu sudah bertunangan, sudah memilih
jalanmu.”
Kirana menarik napas panjang, seolah
mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Aku tahu ini tidak mudah untukmu,
Aksara. Aku juga tidak ingin ini terjadi, tetapi keluarga aku sudah mengatur
semuanya. Mereka meminta aku untuk bertunangan dengan pria itu, dan aku merasa
tertekan untuk mengikutinya. Aku merasa bahwa aku tidak punya pilihan lain.
Meskipun hatiku berat, aku harus melakukannya demi keluarga, demi kehormatan
mereka.”
Aksara terdiam, mencoba mencerna apa
yang baru saja dikatakan Kirana. Ada kekosongan dalam dirinya yang semakin dalam.
Kenapa Kirana tidak memberitahunya sebelumnya? Kenapa dia harus menyembunyikan
kenyataan ini sampai pada titik yang begitu jauh? Perasaan kecewa kembali
datang, seperti gelombang yang menghantam pantai. Namun, ada sesuatu dalam
suara Kirana yang menunjukkan penyesalan, sesuatu yang membuat Aksara merasa
sedikit ragu.
“Kirana, jadi ini semua hanya karena
permintaan keluargamu?” tanya Aksara dengan suara yang agak serak. “Kenapa kamu
tidak memberitahuku sejak awal? Kenapa kamu harus mengulur waktu seperti ini?”
Kirana menundukkan kepala, tampak
menyesal. “Aku takut, Aksara. Aku takut kehilangan kamu. Aku tahu aku salah,
dan aku sudah menyakiti perasaanmu. Tapi aku juga tidak ingin membuat keputusan
yang salah hanya karena mengikuti perasaan sendiri. Aku bingung, Aksara, antara
bertahan dengan kamu atau mengikuti keinginan keluarga.”
Perasaan Aksara campur aduk. Ia
merasa terhujam, namun di sisi lain, ada rasa simpati yang muncul karena
melihat betapa beratnya keputusan yang dihadapi Kirana. Aksara sudah lama tahu
bahwa keluarga Kirana sangat berpengaruh dalam hidupnya, namun tidak pernah ia
membayangkan bahwa itu akan berakhir seperti ini.
“Jadi, kamu memilih untuk mengikuti
keinginan mereka, bukan mengikuti perasaan kita?” Aksara bertanya dengan suara
bergetar, berusaha untuk tetap tegar.
Kirana mengangguk perlahan. “Aku
minta maaf, Aksara. Aku tahu ini sangat menyakitkan, dan aku tidak tahu apa
yang harus aku katakan untuk membuatmu memaafkan aku. Tapi percayalah, hatiku
tidak mudah untuk melepaskanmu. Aku ingin kamu tahu bahwa kamu selalu menjadi
bagian dari hidupku, meskipun sekarang aku harus mengambil langkah ini.”
Aksara terdiam. Perasaannya semakin
kacau. Ia ingin marah, ingin menjerit karena merasa tertipu, namun ada sesuatu
yang menghalanginya. Kirana terlihat begitu rapuh, dan Aksara bisa merasakan
betapa besar beban yang harus ditanggungnya. Namun, itu tidak mengubah
kenyataan bahwa dirinya merasa dihianati, ditinggalkan dalam proses yang begitu
kejam dan tiba-tiba.
Saat hening itu berlangsung, Aksara
mulai berpikir. Ia merasakan ketegangan di dalam dirinya, sebuah kebimbangan
yang sulit untuk diungkapkan. Apakah ia bisa memaafkan Kirana? Apakah ia bisa
melanjutkan hidupnya setelah semua yang terjadi? Atau apakah ia harus
benar-benar melepaskan Kirana dan melangkah ke depan, tanpa menoleh lagi ke
masa lalu?
Memilih untuk Berdoa
Saat malam tiba, Aksara kembali
merenung. Semua yang dikatakan Kirana berputar dalam pikirannya, membuatnya
semakin bingung. Bagaimana bisa ia memutuskan untuk melanjutkan hidup setelah
semua yang terjadi? Ia tahu bahwa cinta bukanlah hal yang bisa dipaksakan,
namun ada perasaan dalam hatinya yang masih mengikatnya pada Kirana.
Saat itulah Aksara teringat akan
sesuatu yang selalu ia abaikan selama ini. Istikharah. Sebuah doa yang
diberikan kepada mereka yang sedang dilanda kebingungan dalam mengambil
keputusan besar dalam hidup. Aksara merasa bahwa ini adalah saat yang tepat
untuk memohon petunjuk dari Tuhan, untuk meminta bantuan agar ia bisa melihat
jalan yang benar. Ia ingin melepaskan segala keraguan dan kebingungannya, dan
mencari kedamaian dalam hatinya.
Aksara menutup matanya, memanjatkan
doa dengan penuh harapan. Ia memohon agar Tuhan memberikan petunjuk yang jelas,
agar ia bisa memilih jalan yang terbaik, baik untuk dirinya maupun untuk
orang-orang yang ia cintai. Ia tahu bahwa keputusan ini bukanlah sesuatu yang
bisa diambil dengan mudah, dan ia membutuhkan kekuatan untuk membuat pilihan
yang tepat.
Menerima Takdir dengan Lapang Dada
Setelah malam yang penuh doa dan renungan,
Aksara merasa sedikit lebih tenang. Meskipun hatinya masih terluka, ia merasa
bahwa ia sudah melakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Ia tidak ingin
terjebak dalam kebingungan yang tak berujung, dan ia percaya bahwa apapun
keputusan yang ia ambil, itu adalah bagian dari takdir yang telah ditentukan.
Hari berikutnya, Aksara kembali
bertemu dengan Kirana. Kali ini, ia tidak datang dengan perasaan marah atau
kecewa, melainkan dengan hati yang lebih lapang. Ia tahu bahwa apapun yang
terjadi, ia harus menerima kenyataan dan melanjutkan hidupnya.
“Aksara, aku...” Kirana mulai
berbicara, namun Aksara menghentikannya dengan lembut.
“Kirana, aku sudah memikirkan
semuanya,” kata Aksara dengan suara penuh kebijaksanaan. “Aku tidak bisa lagi
terus terjebak dalam perasaan yang hanya membuatku terluka. Aku menghargai apa
yang pernah kita miliki, tapi aku tahu sekarang bahwa kita sudah berada di
jalan yang berbeda.”
Kirana menatapnya dengan mata yang
penuh penyesalan. “Aksara, aku sangat menyesal...”
“Aku juga menyesal, Kirana,” jawab
Aksara. “Namun, kita harus belajar untuk melepaskan, agar kita bisa menemukan
kebahagiaan yang lebih baik di masa depan. Terima kasih untuk semua kenangan
indah yang kita miliki.”
Tidak ada komentar untuk "KUTUKAN CINTA, BAB 9-10"
Posting Komentar