KUTUKAN CINTA, BAB 7-8

 

Bab 7: Putus Asa

Aksara duduk terdiam di pojok ruangan, menatap kosong layar ponselnya yang bergetar dengan pesan-pesan yang masuk. Semuanya terasa sangat asing dan berat. Di luar jendela, hujan turun dengan derasnya, seakan alam turut merasakan kesedihannya. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya, namun hatinya semakin terasa hancur.

Baru seminggu yang lalu, Aksara merasa segalanya baik-baik saja. Ia dan Kirana, kekasih yang sudah cukup lama dikenal, menjalani hari-hari mereka dengan penuh kebahagiaan. Mereka berbagi tawa, cerita, dan rencana untuk masa depan. Namun, sepertinya itu semua hanyalah kebohongan yang terbungkus dalam lapisan manis.

Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, Aksara menerima pesan dari Kirana yang mengabarkan bahwa dia akan pulang terlambat karena ada urusan pekerjaan. Aksara tidak curiga. Mereka sudah terbiasa dengan dinamika hidup yang sibuk ini. Namun, sesuatu dalam dirinya merasakan kegelisahan yang tak bisa dijelaskan. Sebuah perasaan aneh yang membuat hatinya was-was. Ketika Aksara memutuskan untuk mengunjungi Kirana di tempat kerjanya, ia tak menyangka akan menemukan kenyataan yang menghancurkan hati dan kepercayaannya.

Di depan mata Aksara, Kirana sedang tertawa bersama seorang pria lain. Aksara mengenali pria itu sebagai teman lama Kirana, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Mata Kirana tampak berbinar, lebih hangat dan penuh makna daripada saat dia bersama Aksara. Tentu saja, Aksara merasa cemas, namun ia mencoba menahan perasaan itu, berharap bahwa semuanya hanyalah kebetulan.

Namun, saat mereka berpisah dan Kirana mengirimkan pesan singkat yang menyatakan dirinya akan beristirahat untuk malam itu, Aksara merasa ada yang tidak beres. Ia memutuskan untuk mengecek beberapa hal. Tak lama kemudian, ia menemukan sesuatu yang tak dapat dipungkiri: Kirana ternyata masih menjalin hubungan dengan pria itu, yang lebih dari sekadar teman lama. Foto-foto mereka berdua di media sosial, status-status mesra yang sudah lama terpendam, semuanya menjadi bukti yang tak terbantahkan.

Aksara merasa seakan dunia terbalik. Ia merasa dipermainkan, dikhianati untuk kesekian kalinya. Air mata yang sudah lama terpendam akhirnya tumpah begitu saja. Ia tidak tahu harus berbuat apa, merasa sangat kecil dan tidak berarti. Berhari-hari Aksara merenung, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasa seakan dirinya bukanlah siapa-siapa bagi Kirana. Selama ini, ia mencintai dengan sepenuh hati, tapi ternyata cintanya tidak cukup untuk membuat Kirana setia.

Pertanyaan tentang Keimanan

Aksara mulai merasa kehilangan arah. Dulu, setiap kali menghadapi kesulitan dalam hidup, ia selalu mengandalkan keimanannya. Agama dan doa adalah tempatnya untuk berpegang teguh, tempatnya untuk mencari ketenangan. Namun, kini semuanya terasa hampa. Ia merasa seperti sebuah kapal yang terombang-ambing tanpa tujuan, kehilangan arah dan harapan.

“Apa aku salah? Apa aku tidak cukup berusaha?” pikir Aksara dalam kebingungannya. “Kenapa semua yang kupercayai selama ini berantakan begitu saja?”

Ia teringat akan kata-kata ayahnya dulu, yang selalu mengatakan bahwa dalam hidup, tak ada yang lebih penting selain menjaga keimanan dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Namun, bagaimana jika apa yang ia hadapi sekarang adalah ujian yang terlalu berat untuk ditanggung? Ia merasa seperti dikecewakan oleh takdir, oleh Tuhan yang selama ini ia percayai.

Dengan langkah yang terseok-seok, Aksara menuju tempat ibadah yang biasanya ia kunjungi. Ruang yang tenang dan sejuk itu biasanya mampu menenangkan jiwanya. Namun, kali ini, sepertinya tak ada lagi kedamaian yang bisa ditemukan di sana. Ia duduk dengan kepala tertunduk, berusaha menyusun kata-kata untuk berdoa, namun mulutnya terasa kelu. Dalam keheningan, hanya air mata yang menetes, meresap ke dalam lantai.

"Ya Tuhan, mengapa ini harus terjadi padaku?" Aksara berbisik lirih. "Apa aku tidak cukup baik? Apa aku tidak cukup berusaha? Mengapa aku dibiarkan merasakan sakit ini?"

Ia merasa seakan tak ada jawaban yang datang, hanya keheningan yang menyesakkan. Setiap langkah yang ia ambil, seolah semakin jauh dari Tuhan yang dulu selalu ada di dekatnya. Rasa putus asa semakin menguasai dirinya. Ia merasa sepi, merasa bahwa dunia ini tak punya tempat untuk orang sepertinya.

Namun, di saat seperti itu, Aksara merasa ada sesuatu yang menenangkan di dalam dirinya. Sebuah bisikan lembut yang hampir tidak ia dengar, namun cukup untuk memberi petunjuk. “Cobalah untuk percaya lagi. Meskipun hati ini terluka, masih ada jalan untuk sembuh.”

Aksara menarik napas panjang. Ia tahu, meskipun saat ini segala sesuatunya terasa gelap dan penuh kebingungan, ada harapan yang belum sepenuhnya hilang. Mungkin memang tidak mudah untuk kembali bangkit, tetapi ia tidak bisa menyerah begitu saja.

Menghadapi Kenyataan

Keesokan harinya, Aksara bertemu dengan Kirana di sebuah kafe yang biasa mereka kunjungi. Kirana tampak gugup, seperti sudah mengetahui bahwa Aksara tahu segalanya. Tanpa basa-basi, Aksara menatapnya dengan tajam.

“Kirana, aku tahu semuanya,” ujar Aksara, suara sedikit bergetar. “Aku tahu tentang pria itu. Aku tahu kalian masih bersama.”

Kirana terdiam sejenak, menundukkan kepala. Aksara bisa merasakan betapa beratnya perasaan Kirana, namun ia sudah tidak lagi bisa menahan sakitnya. Selama ini, ia merasa Kirana adalah segalanya baginya, tetapi kenyataan ini membuatnya merasa seperti tak berarti.

“Aksara... aku... aku minta maaf. Aku tak bermaksud untuk menyakitimu. Aku bingung, aku...”

“Aku sudah tidak ingin mendengarkan alasanmu,” potong Aksara. “Kenapa kamu harus melakukan ini? Kenapa kamu harus berbohong padaku?”

Kirana menatap Aksara dengan mata penuh penyesalan. “Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Aku mencintaimu, Aksara. Tapi aku juga merasa ada yang hilang, dan aku mencari jawabannya. Aku tidak bermaksud menyakitimu.”

Aksara merasakan hatinya semakin berat. Cinta yang selama ini ia percayai ternyata tak cukup untuk membuat hubungan ini bertahan. Ia merasa begitu lelah, merasa bahwa ia tidak bisa lagi menahan semuanya.

“Aku ingin pergi, Kirana,” ujar Aksara dengan suara lembut. “Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku butuh waktu untuk diri sendiri.”

Kirana hanya bisa mengangguk, meski hatinya teriris. Ia tahu bahwa hubungan mereka sudah berakhir. Aksara meninggalkan kafe itu dengan langkah berat, namun ada sedikit harapan dalam dirinya. Meski perasaannya terluka, ia tahu bahwa perjalanan hidupnya belum berakhir. Ia masih memiliki waktu untuk menemukan kembali dirinya.

Langkah Menuju Penyembuhan

Setelah pertemuan itu, Aksara merasa seolah ada sedikit cahaya yang muncul di ujung lorong gelap yang ia hadapi. Proses penyembuhan tidaklah mudah, tetapi Aksara mulai berusaha untuk menerima kenyataan. Ia menghabiskan waktu dengan keluarganya, berbicara lebih banyak dengan teman-temannya, dan kembali menjalani rutinitas yang dulu ia nikmati.

Aksara juga mulai memperbaiki hubungannya dengan Tuhan. Ia tidak lagi merasa bahwa Tuhan meninggalkannya, melainkan merasa bahwa Tuhan sedang mengajarkan sesuatu yang penting dalam hidupnya: tentang bagaimana menerima kekalahan, bagaimana memaafkan diri sendiri, dan bagaimana bangkit kembali setelah jatuh.

Satu langkah kecil demi langkah kecil, Aksara mulai merasa lebih kuat. Ia tahu, meskipun cinta bisa datang dan pergi, kebahagiaan sejati berasal dari dalam dirinya sendiri.

 

Bab 8: Akal Sehat yang Tergadaikan

Aksara duduk di sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan, tempat yang biasa ia kunjungi saat membutuhkan waktu untuk merenung. Ia sudah beberapa kali melihat jam tangannya, menunggu seseorang yang belum datang. Hari itu, ia berjanji untuk bertemu dengan Bima, seorang teman lama yang kini menjadi mentornya. Bima adalah sosok yang selalu bisa memberikan pandangan yang lebih jelas, memberikan perspektif yang berbeda dalam menghadapi masalah hidup.

Sejak pertemuannya dengan Kirana yang berakhir tragis, Aksara merasa bingung dan kehilangan arah. Ia tahu dirinya membutuhkan seseorang untuk berbicara, seseorang yang bisa membantunya menemukan jalan keluar dari kegelapan yang membayangi hidupnya. Bima adalah orang yang selalu bisa diandalkan dalam situasi-situasi sulit, dan kali ini pun, Aksara berharap Bima bisa membantunya melihat masalah ini dengan lebih bijak.

Ketika pintu kafe terbuka, Bima masuk dengan senyum ramah. Ia mengenakan jaket kulit hitam dan celana jeans, penampilannya yang sederhana namun tetap memancarkan ketenangan. Aksara berdiri dan menyambutnya dengan pelukan singkat, merasa sedikit lega karena akhirnya ia akan bisa berbicara dengan seseorang yang bisa memahami dirinya.

“Maaf, aku terlambat,” ujar Bima dengan suara rendah namun hangat. “Ada beberapa hal yang harus diselesaikan.”

“Aku baru saja sampai,” jawab Aksara, mencoba tersenyum. “Tapi terima kasih sudah datang, Bima.”

Mereka duduk di meja dekat jendela, dengan secangkir kopi panas di tangan mereka. Aksara mengamati Bima, menunggu kata-kata pertama yang akan keluar darinya. Ia tahu Bima tidak hanya akan memberikan nasihat biasa, tapi lebih kepada pemahaman yang mendalam, sesuatu yang bisa membantunya melihat segala sesuatunya dengan lebih jernih.

“Jadi, bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Bima setelah beberapa saat hening.

Aksara menarik napas panjang. Ia merasa berat untuk membuka percakapan, namun ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk keluar dari kebingungannya.

“Semuanya terasa kacau, Bima,” jawab Aksara. “Aku merasa sangat kehilangan arah. Kirana... dia... aku baru tahu bahwa dia masih menjalin hubungan dengan orang lain. Aku merasa sangat dihianati. Aku bahkan mulai mempertanyakan keimananku.”

Bima mendengarkan dengan seksama, tidak tergesa-gesa untuk memberikan tanggapan. Ia mengamati Aksara yang tampak begitu lelah dan tertekan. Dalam beberapa tahun terakhir, Aksara telah menunjukkan banyak kemajuan, tetapi kali ini, jelas ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang mengganggu dirinya.

“Pernahkah kamu mendengar pepatah yang mengatakan bahwa cinta itu buta?” tanya Bima.

Aksara mengangguk pelan. “Tentu saja. Itu yang aku rasakan sekarang. Aku merasa begitu jatuh cinta pada Kirana, namun aku tidak melihat kenyataan yang ada. Aku seperti terjebak dalam ilusi.”

Bima tersenyum tipis, seakan ia sudah tahu bahwa ini adalah inti dari masalah yang sedang dihadapi Aksara. “Cinta itu memang kuat, Aksara, tapi cinta tanpa akal sehat adalah racun. Cinta yang buta, tanpa disertai pertimbangan yang matang, bisa membuat kita terjerumus pada hal-hal yang justru menyakitkan.”

Aksara terdiam. Kata-kata Bima seolah menusuk hatinya, namun juga memberikan pencerahan. Ia merasa seakan Bima sedang menggambarkan apa yang terjadi dalam dirinya.

“Kamu tahu, Aksara,” lanjut Bima dengan lebih tenang, “kesabaran bukan berarti menyerah. Kesabaran itu adalah sebuah proses yang melibatkan akal sehat, bukan hanya perasaan. Ketika kita terjebak dalam emosi yang kuat, seperti rasa cinta atau kemarahan, sering kali kita kehilangan perspektif yang jelas. Akal sehat harus berpadu dengan iman agar kita tidak tergelincir oleh perasaan yang sementara.”

Aksara memandang Bima dengan pandangan yang penuh tanda tanya. “Tapi, bagaimana aku bisa tahu mana yang benar dan mana yang salah? Semua ini terasa begitu membingungkan.”

Bima menatapnya dengan penuh pengertian. “Itulah sebabnya iman itu penting. Iman bukan hanya tentang percaya pada Tuhan, tapi juga pada diri sendiri, pada kebijaksanaan yang ada dalam diri kita. Ketika kita menghadapi situasi sulit, akal sehat dan iman saling mendukung untuk memberikan keputusan yang tepat. Tanpa keduanya, kita hanya akan mengikuti perasaan dan emosi semata, yang sering kali membawa kita pada keputusan yang menyesatkan.”

Aksara mulai merenung. Kata-kata Bima terdengar begitu sederhana, namun sangat mendalam. Ia merasa seakan pintu-pintu pemahaman terbuka satu per satu. Selama ini, ia terlalu fokus pada perasaannya, pada rasa cintanya yang begitu mendalam, tanpa memperhitungkan aspek rasional dan keyakinan yang lebih kuat.

“Aku merasa seperti kehilangan segalanya, Bima. Aku merasa seperti tidak bisa lagi mempercayai siapa pun, bahkan diriku sendiri,” kata Aksara, suaranya serak.

Bima mengangguk pelan. “Itulah yang terjadi ketika kita terlalu bergantung pada satu hal, pada satu orang, atau pada satu perasaan. Kita jadi lupa bahwa hidup ini lebih besar dari itu. Ada banyak hal yang bisa kita syukuri dan pelajari, dan kadang kita harus melepaskan sesuatu yang kita anggap penting untuk menemukan kembali kekuatan dalam diri kita.”

Aksara menunduk, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan Bima. Ada sesuatu yang menenangkan dalam cara Bima berbicara, seakan-akan dia mengerti persis apa yang sedang dia rasakan.

“Tapi, bagaimana jika aku merasa sangat tersakiti? Bagaimana jika aku merasa bahwa apa yang aku percayai selama ini ternyata tidak sesuai dengan kenyataan?” Aksara bertanya dengan lirih.

“Patah hati adalah hal yang manusiawi, Aksara,” jawab Bima dengan suara lembut. “Namun, itu tidak berarti hidupmu berhenti di sana. Rasa sakit itu akan datang dan pergi, tapi apa yang kamu pelajari darinya adalah yang akan membentuk siapa dirimu di masa depan. Jangan biarkan rasa sakit itu mengendalikanmu. Gunakan itu sebagai batu loncatan untuk menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih bijaksana.”

Bima berhenti sejenak, memberi kesempatan bagi Aksara untuk mencerna kata-katanya. “Kamu harus bisa melepaskan apa yang sudah tidak lagi menjadi bagian dari hidupmu. Kirana, hubungan kalian, itu semua adalah bagian dari perjalananmu. Kamu tidak akan pernah tahu apa yang akan datang jika kamu terus terjebak di masa lalu. Ingat, akal sehat itu adalah kemampuan kita untuk melihat lebih jauh dari apa yang tampak di depan mata.”

Aksara mengangguk pelan, perasaannya mulai sedikit tenang. Ia tahu bahwa perjalanan menuju pemulihan masih panjang, namun kini ia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih kuat yang bisa diandalkan selain perasaan semata.

“Terima kasih, Bima,” ujar Aksara dengan penuh rasa syukur. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku merasa sedikit lebih baik setelah berbicara denganmu.”

Bima tersenyum dan mengangkat cangkir kopinya. “Sama-sama, Aksara. Ingat, tidak ada yang lebih berharga daripada akal sehat dan iman dalam hidup ini. Keduanya akan selalu membantumu menemukan jalan keluar, bahkan dalam kegelapan yang paling pekat sekalipun.”

Aksara menatap Bima dengan penuh penghargaan. Ia tahu bahwa meskipun jalan di depannya masih penuh tantangan, ia kini memiliki alat yang lebih kuat untuk menghadapinya. Akal sehat dan iman, dua hal yang selama ini ia remehkan, kini menjadi kunci untuk menjalani hidup yang lebih baik.

Dengan langkah yang lebih mantap, Aksara tahu bahwa ia akan menemukan kekuatannya kembali. Karena pada akhirnya, hidup ini bukan hanya tentang cinta, tetapi tentang bagaimana kita menggunakan akal sehat dan iman untuk menghadapinya dengan bijaksana.

Tidak ada komentar untuk "KUTUKAN CINTA, BAB 7-8"