KUTUKAN CINTA, BAB 5-6
Bab 5: Cinta Tulus dalam Takdir
Malam itu, Aksara duduk di beranda
rumah Farhan. Udara sejuk membelai kulitnya, tetapi pikirannya terus
berkecamuk. Perjalanan panjang mencari makna cinta sejati membawanya ke banyak
persimpangan, namun ia merasa masih jauh dari jawaban yang menenangkan hati.
Dalam perbincangan ringan dengan Farhan, nama seorang ustazah muda, Yasmin,
disebut. "Dia seorang yang bijak, Aksara. Jika kau ingin belajar lebih
dalam tentang cinta dalam perspektif Islam, berbicaralah dengannya," saran
Farhan sambil menatap sahabatnya penuh harap.
Hari berikutnya, Aksara menghadiri
kajian yang dipimpin Yasmin di sebuah masjid kecil di pinggiran kota. Yasmin
berbicara dengan tenang namun penuh keyakinan, menjelaskan bahwa cinta dalam
Islam adalah anugerah yang harus dipahami dengan benar. "Cinta
sejati," ucapnya, "adalah ketika kita mencintai seseorang karena
Allah, bukan semata karena keinginan kita sendiri."
Usai kajian, Aksara memberanikan
diri untuk bertemu Yasmin. Dengan suara agak ragu, ia mengungkapkan kegelisahan
hatinya. "Ustazah, saya merasa terjebak dalam bayangan cinta masa lalu.
Saya mencintai seseorang, tetapi perasaan itu sering membuat saya jauh dari
ketenangan. Bagaimana saya bisa memahami apakah ini cinta yang benar atau hanya
ego saya semata?"
Yasmin tersenyum lembut.
"Aksara, setiap perasaan yang Allah tanamkan dalam hati kita adalah ujian
sekaligus pelajaran. Cinta yang benar akan membawa kita lebih dekat kepada
Allah, bukan sebaliknya. Jika cintamu hanya membuatmu gelisah, mungkin itu
adalah tanda bahwa kau perlu melepaskan sebagian harapanmu kepada manusia dan
mengalihkan seluruh harapanmu kepada-Nya."
Percakapan itu membuka mata Aksara.
Selama ini, ia terlalu fokus pada Kirana sebagai pusat kebahagiaannya. Ia lupa
bahwa cinta sejati adalah tentang memberi tanpa pamrih dan menyerahkan
segalanya kepada Allah. Yasmin mengajarkan sebuah prinsip penting: manusia hanya
bisa berusaha, tetapi hasil akhirnya adalah takdir yang telah ditetapkan oleh
Allah.
Beberapa minggu kemudian, Aksara
mulai menjalani hidup dengan perspektif baru. Ia memperbanyak doa, ibadah, dan
merenungi arti cinta sejati dalam Islam. Dalam perjalanan ini, Yasmin menjadi
pembimbing yang sabar. Ia sering mengutip ayat-ayat Al-Quran dan hadits tentang
cinta dan ikhlas. Salah satu yang paling membekas di hati Aksara adalah sabda
Nabi Muhammad SAW, "Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya
seperti ia mencintai dirinya sendiri."
Aksara merenungkan makna cinta yang
tidak egois, cinta yang tulus tanpa syarat. Ia menyadari bahwa perasaannya
kepada Kirana terlalu dipenuhi oleh keinginan untuk memiliki, bukan untuk
memberikan yang terbaik bagi Kirana, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam
doanya, Aksara mulai memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan untuk
mencintai dengan cara yang benar.
Di tengah proses ini, Aksara kembali
bertemu dengan Kirana. Gadis itu tampak lebih tenang dan dewasa. Mereka
berbincang panjang tentang apa yang telah terjadi. Kirana mengungkapkan bahwa
ia juga sedang belajar untuk mencintai dengan cara yang lebih baik.
"Aksara, aku menyadari bahwa kita terlalu banyak berharap pada satu sama
lain, sehingga lupa bahwa Allah adalah pusat dari segala harapan. Aku ingin
memperbaiki diri, dan aku berdoa agar kau juga menemukan kebahagiaan yang
sejati," katanya dengan tulus.
Percakapan itu menjadi titik terang
bagi Aksara. Ia menyadari bahwa cinta sejati bukanlah tentang memiliki, tetapi
tentang saling mendoakan dan mendukung untuk menjadi pribadi yang lebih baik di
mata Allah. Dengan hati yang lapang, ia melepaskan segala egonya dan memilih
untuk menyerahkan semuanya kepada takdir.
Dalam salah satu diskusinya dengan
Yasmin, Aksara bertanya, "Ustazah, bagaimana saya tahu bahwa saya sudah
benar-benar ikhlas? Bagaimana saya tahu bahwa saya telah mencintai dengan cara
yang benar?"
Yasmin menjawab dengan lembut,
"Ikhlas itu bukan sesuatu yang bisa diukur dengan pasti, Aksara. Tetapi tanda-tandanya
adalah ketika hatimu merasa tenang, bahkan ketika apa yang kau inginkan tidak
tercapai. Kau tahu bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari rencana
Allah, dan kau menerimanya dengan lapang dada. Cinta yang benar adalah cinta
yang membuatmu lebih dekat kepada-Nya, bukan hanya cinta kepada manusia."
Kata-kata itu menjadi pedoman bagi
Aksara. Ia mulai mempraktikkan ikhlas dalam setiap aspek kehidupannya. Dalam
doa-doanya, ia tidak lagi memohon agar Kirana kembali kepadanya, tetapi ia memohon
agar diberikan kebahagiaan yang sejati, baik untuk dirinya maupun untuk Kirana.
Ia merasa lebih tenang, lebih damai, dan lebih siap menghadapi apa pun yang
akan terjadi.
Pada akhirnya, Aksara menyadari
bahwa cinta sejati dalam Islam bukanlah tentang mengejar seseorang yang kita
cintai, tetapi tentang menyerahkan cinta itu kepada Allah dan membiarkan-Nya
menentukan jalan terbaik. Ia belajar bahwa cinta adalah anugerah yang harus
dijaga dengan baik, dan bahwa manusia hanya bisa berusaha tanpa harus terikat
pada hasil.
Hari-hari Aksara kini dipenuhi
dengan rasa syukur. Ia tidak lagi terjebak dalam bayangan masa lalu, tetapi
melangkah maju dengan keyakinan bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik
untuk hamba-Nya. Dengan bimbingan Yasmin, Farhan, dan Nisa, Aksara memulai
babak baru dalam hidupnya, dengan hati yang lebih lapang dan cinta yang lebih
tulus.
Di akhir perjalanan ini, Aksara
menulis sebuah catatan di jurnal pribadinya: "Cinta sejati bukan tentang
memiliki atau dimiliki. Cinta sejati adalah ketika kita mampu mendoakan
kebahagiaan seseorang, bahkan ketika kita tidak menjadi bagian dari hidupnya.
Dan yang terpenting, cinta sejati adalah ketika kita menyerahkan segalanya
kepada Sang Pemilik Cinta, Allah SWT."
Catatan itu menjadi penutup dari
perjalanan panjang Aksara mencari makna cinta sejati. Ia tahu bahwa
perjalanannya masih panjang, tetapi ia kini melangkah dengan keyakinan bahwa
setiap langkahnya adalah bagian dari takdir yang telah ditetapkan oleh Allah.
Ia percaya bahwa cinta yang tulus akan selalu menemukan jalannya, baik di dunia
maupun di akhirat.
Bab 6: Permainan Takdir
Kirana kembali hadir dalam hidup
Aksara seperti sinar matahari setelah badai panjang. Dengan senyum yang selalu
ia rindukan dan kata-kata yang menjanjikan masa depan yang lebih baik, Kirana
tampak membawa harapan baru. Aksara, yang selama ini tenggelam dalam kesepian
dan penyesalan, merasa hatinya kembali hangat. Hari-hari yang mereka habiskan
bersama dipenuhi tawa dan cerita, seolah luka lama mulai sembuh.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada
kekhawatiran yang mengintip. Farhan, sahabat Aksara yang selalu setia
mendampinginya dalam masa-masa sulit, tidak bisa menyembunyikan rasa curiganya.
“Aku senang melihatmu bahagia, Sar,” kata Farhan suatu malam saat mereka duduk
di teras rumah Aksara. “Tapi aku juga khawatir. Kamu tahu apa yang terjadi
terakhir kali.”
Nisa, sepupu Aksara, juga berbagi
pandangan yang sama. Dalam sebuah pertemuan keluarga, Nisa berkata dengan nada
lembut namun tegas, “Aku hanya ingin kamu berhati-hati, Kak. Kadang, orang yang
pernah menyakiti kita bisa melakukannya lagi.”
Aksara mendengar semua peringatan
itu, tetapi hatinya terlalu terbuai oleh kebahagiaan yang dibawa Kirana. Ia
meyakinkan dirinya bahwa semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Lagipula,
bukankah cinta adalah tentang memaafkan dan memberikan ruang untuk tumbuh?
Suatu hari, Yasmin, teman masa kecil
Aksara, mengajaknya menghadiri sebuah kajian di masjid dekat rumahnya. Tema
kajian itu adalah “Hakikat Cinta dalam Islam”. Awalnya, Aksara ragu untuk
datang. Baginya, cinta adalah sesuatu yang personal, bukan sesuatu yang bisa
dipelajari dari kajian. Namun, Yasmin meyakinkannya, “Kamu akan menemukan
banyak perspektif baru, Sar. Lagipula, apa salahnya mencoba?”
Aksara akhirnya setuju. Di masjid
itu, ia merasa suasana yang berbeda. Bukan hanya karena pembicara yang
menyampaikan materi dengan penuh hikmah, tetapi juga karena orang-orang di
sekitarnya yang tampak begitu tulus. Salah satu dari mereka adalah Bima,
seorang pria paruh baya yang duduk di barisan depan. Bima memperkenalkan
dirinya kepada Aksara saat sesi tanya jawab selesai. Mereka berbincang singkat,
dan dari percakapan itu, Aksara mengetahui bahwa Bima adalah seorang pebisnis
yang pernah mengalami kegagalan dalam pernikahannya.
“Saya pernah berada di titik
terendah dalam hidup saya,” kata Bima dengan suara yang tenang. “Tapi dari situ
saya belajar bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, melainkan tentang
memberi. Memberi ruang, memberi kepercayaan, dan yang paling penting, memberi maaf.”
Kata-kata Bima menggema di benak
Aksara. Sepanjang perjalanan pulang, ia merenungkan apa yang baru saja ia
dengar. Apakah cintanya pada Kirana selama ini terlalu egois? Apakah ia hanya
ingin memiliki Kirana tanpa benar-benar memahami apa yang dibutuhkan untuk
membangun hubungan yang sehat?
Di sisi lain, Kirana mulai
menunjukkan perilaku yang sedikit mencurigakan. Ada pesan-pesan di ponselnya
yang ia sembunyikan, dan beberapa kali ia membatalkan janji dengan alasan yang
terdengar tidak masuk akal. Aksara mencoba untuk tidak berpikir buruk, tetapi
bayangan masa lalu mulai menghantui pikirannya.
Farhan, yang selalu peka terhadap
perubahan suasana hati Aksara, mengajaknya bertemu di sebuah kafe. “Sar, aku
nggak mau ngurusin urusan pribadimu,” kata Farhan sambil menatap lurus ke mata
Aksara. “Tapi kalau ada sesuatu yang mengganjal, kamu harus jujur pada dirimu
sendiri.”
Aksara mengangguk pelan. Ia tahu
Farhan benar. Malam itu, ia memutuskan untuk berbicara dari hati ke hati dengan
Kirana. Ia ingin memastikan bahwa mereka berada di jalur yang sama dan bahwa
tidak ada lagi kebohongan di antara mereka.
Saat pertemuan itu, Kirana awalnya
tampak terkejut. Namun, setelah mendengar penjelasan Aksara, ia mulai terbuka.
“Aku tahu aku pernah salah, Sar,” katanya dengan suara yang bergetar. “Tapi aku
benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku butuh waktu untuk membuktikan itu.”
Meskipun kata-kata Kirana terdengar
tulus, Aksara menyadari bahwa kepercayaan tidak bisa dibangun dalam semalam. Ia
memutuskan untuk memberikan Kirana kesempatan, tetapi kali ini dengan
hati-hati. Ia juga memutuskan untuk lebih banyak mendekatkan diri pada
nilai-nilai agama dan memperdalam pemahaman tentang cinta yang sejati.
Dalam beberapa minggu berikutnya,
Aksara rutin menghadiri kajian yang dipandu oleh Ustaz yang sama. Ia juga
semakin sering berbincang dengan Bima, yang menjadi semacam mentor baginya.
Dari Bima, Aksara belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga
tentang tanggung jawab dan komitmen.
Sementara itu, hubungan Aksara dan
Kirana perlahan mulai berubah. Ada lebih banyak kejujuran di antara mereka,
tetapi juga lebih banyak tantangan. Kirana harus menghadapi bayang-bayang masa
lalunya, sementara Aksara harus belajar untuk tidak membiarkan rasa takut
menguasai dirinya.
Tidak ada komentar untuk "KUTUKAN CINTA, BAB 5-6"
Posting Komentar