KUTUKAN CINTA, BAB 2-4

 Bab 2: Pertanda Awal

Kebahagiaan Aksara mulai terganggu ketika ia merasakan perubahan sikap Kirana. Hubungan mereka menjadi renggang. Aksara mencoba bertahan, menguatkan hatinya dengan keyakinan bahwa semua akan kembali seperti semula. Ia curhat kepada sahabatnya, Farhan, seorang hafiz muda yang bijak.

Aksara mulai menyadari perubahan pada Kirana saat pesan-pesan yang ia kirimkan kerap dibalas dengan singkat, atau bahkan tak mendapat jawaban sama sekali. Padahal, dulu Kirana selalu antusias merespons, bahkan kadang mengirimkan kutipan-kutipan inspiratif yang membuat Aksara merasa dihargai. Sikap Kirana ini membuat Aksara gelisah. Apakah ia telah melakukan kesalahan? Atau ada sesuatu yang Kirana sembunyikan darinya?

Pikiran-pikiran ini terus menghantui Aksara, hingga akhirnya ia memutuskan untuk bertanya langsung. Namun, keberaniannya selalu pupus saat melihat wajah Kirana yang tampak kelelahan. Setiap kali ia mencoba membuka percakapan serius, Kirana akan mengalihkan topik atau menyatakan bahwa ia sedang banyak tugas. "Aku sibuk akhir-akhir ini, Aksara," jawab Kirana dengan senyum tipis yang terasa begitu jauh.

Dalam kebingungannya, Aksara memilih untuk berbicara dengan Farhan, sahabat yang telah dikenalnya sejak sekolah menengah. Farhan adalah seorang hafiz muda yang memiliki wawasan luas tentang agama dan kehidupan. Ia sering menjadi tempat Aksara berbagi cerita, terutama saat hatinya diliputi keraguan. "Farhan, aku merasa kehilangan arah," ujar Aksara ketika mereka bertemu di sebuah warung kopi sederhana dekat kampus.

Farhan, dengan sikap tenangnya, mendengarkan cerita Aksara dengan saksama. Setelah Aksara selesai, ia menatap sahabatnya dengan pandangan penuh pengertian. "Aksara, cinta memang ujian. Kadang, apa yang kita rasakan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Tapi sebagai seorang muslim, kita harus percaya bahwa semua ini adalah bagian dari rencana-Nya. Jika Kirana menjauh, mungkin ada alasan yang kita belum tahu. Bersabarlah, dan jangan berhenti berdoa."

Kata-kata Farhan membuat Aksara merenung. Apakah ia terlalu egois berharap Kirana selalu ada untuknya? Ataukah ia terlalu cepat berasumsi tentang perasaan Kirana tanpa mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi? Pertanyaan-pertanyaan ini terus bergema di pikirannya, membuat malam-malamnya terasa lebih panjang dari biasanya.

Di tengah kebimbangannya, Aksara memutuskan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Ia mulai lebih rajin salat tahajud, memohon petunjuk dan kekuatan. Di setiap sujudnya, ia berdoa agar hatinya diberikan ketenangan dan keikhlasan untuk menerima apa pun yang akan terjadi. Baginya, hanya Allah yang mampu memberikan jawaban atas kegelisahan hatinya.

Namun, bayangan Kirana tetap memenuhi pikirannya. Ia teringat saat-saat mereka bersama, saat Kirana berbicara dengan penuh semangat tentang mimpinya. Aksara ingin sekali kembali ke masa itu, tetapi ia sadar bahwa tidak semua kenangan bisa diulang. Semua yang terjadi adalah pelajaran, dan mungkin inilah saatnya ia belajar untuk melepaskan.

Hari-hari berlalu, dan Aksara merasa hubungannya dengan Kirana semakin renggang. Meskipun begitu, ia tetap mencoba menghubungi Kirana, berharap bahwa suatu hari gadis itu akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Hingga suatu ketika, tanpa diduga, Kirana mengirim pesan singkat, "Aksara, aku ingin bertemu. Ada yang ingin aku sampaikan."

Pesan itu membuat hati Aksara berdebar. Ia tidak tahu apakah yang akan disampaikan Kirana adalah kabar baik atau buruk. Namun, ia merasa ini adalah kesempatan untuk mendapatkan kejelasan atas semua kebingungannya. Dengan hati yang penuh harap sekaligus cemas, ia menanti pertemuan itu. Baginya, apa pun yang akan terjadi, ia siap menerimanya sebagai bagian dari takdir yang harus ia jalani.


Bab 3: Karang yang Dihantam Ombak

Ketika Kirana mengungkapkan keinginannya untuk berpisah, dunia Aksara runtuh seketika. Mereka bertemu di sebuah taman yang dulu sering menjadi saksi kebersamaan mereka. Namun, suasana pertemuan kali ini terasa jauh berbeda. Kirana tampak gelisah, pandangannya sering menghindar dari tatapan Aksara. "Aku pikir, kita harus berhenti di sini," ucapnya dengan suara yang nyaris berbisik.

Aksara merasa seperti dihantam ombak besar. Kata-kata Kirana bergema di telinganya, membuatnya tak mampu berkata-kata. Ia mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. "Kenapa, Kirana? Apa aku salah? Apa yang membuatmu ingin mengakhiri semua ini?" tanyanya dengan nada penuh kebingungan.

Kirana hanya menunduk, menghindari tatapan Aksara. "Bukan kamu, Aksara. Ini aku. Aku merasa... kita terlalu jauh. Aku tidak ingin hubungan ini membuat kita lupa pada tujuan utama hidup kita. Aku butuh waktu untuk sendiri, untuk memperbaiki diriku," jawabnya singkat. Meskipun alasannya terdengar logis, Aksara tetap sulit menerimanya. Ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar alasan itu.

Setelah pertemuan itu, Aksara merasa seperti karang yang terus-menerus dihantam ombak. Ia mencoba tetap tegar, tetapi hatinya hancur berkeping-keping. Malam-malamnya dihabiskan dengan merenung, mengingat kembali setiap momen yang pernah mereka lalui bersama. Namun, semakin ia mengingat, semakin sakit rasanya.

Dalam keadaan seperti itu, Farhan kembali menjadi tempatnya berbagi. Di sebuah malam yang tenang, Aksara mendatangi rumah Farhan. Ia mengetuk pintu dengan wajah yang penuh kesedihan. Farhan membuka pintu dan langsung mengerti bahwa sahabatnya sedang menghadapi masalah besar. "Masuklah, Aksara," katanya sambil memberi ruang di ruang tamu kecilnya.

Setelah duduk, Aksara menceritakan semuanya. Ia tidak bisa menahan air matanya ketika berbicara tentang keputusan Kirana. Farhan mendengarkan dengan sabar, memberikan waktu bagi Aksara untuk meluapkan emosinya. "Aksara," kata Farhan akhirnya, "aku tahu ini sulit untukmu. Tapi ingatlah, segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini adalah ujian dari Allah. Mungkin ini adalah cara-Nya untuk mengajarkanmu sesuatu yang lebih besar. Jangan biarkan kesedihan ini menjauhkanmu dari-Nya."

Aksara mengangguk perlahan. Kata-kata Farhan selalu memiliki kekuatan untuk menenangkan hatinya, meskipun rasa sakit itu belum sepenuhnya hilang. Farhan kemudian memberikan sebuah saran, "Aku ingin mengenalkanmu kepada seseorang. Namanya Nisa. Dia seorang aktivis dakwah yang mungkin bisa membantumu menemukan arah baru dalam hidupmu."

Keesokan harinya, Farhan mempertemukan Aksara dengan Nisa di sebuah acara kajian. Nisa adalah seorang perempuan yang penuh semangat dan memiliki pemahaman agama yang mendalam. Ia menyapa Aksara dengan senyuman hangat, membuatnya merasa sedikit lebih nyaman di tengah keterpurukannya. "Farhan sudah menceritakan sedikit tentangmu," kata Nisa. "Aku hanya ingin mengatakan, tidak ada luka yang tidak bisa disembuhkan oleh Allah. Kadang, kita hanya perlu waktu dan usaha untuk mendekat kepada-Nya."

Percakapan itu menjadi awal dari hubungan baru antara Aksara dan Nisa. Meskipun mereka tidak terlalu dekat, Nisa menjadi sosok yang memberikan pandangan baru tentang kehidupan. Ia sering mengirimkan pesan-pesan motivasi kepada Aksara, mengingatkannya untuk selalu berdoa dan bersyukur. "Aksara, ingatlah bahwa cinta sejati adalah cinta yang membawa kita lebih dekat kepada Allah. Jika sesuatu menjauhkanmu dari-Nya, mungkin itu bukan cinta yang sebenarnya," tulis Nisa dalam salah satu pesannya.

Perlahan, Aksara mulai menemukan kekuatan dalam dirinya. Ia menyadari bahwa hidup tidak berhenti hanya karena seseorang pergi. Ia mulai lebih sering menghadiri kajian, membaca Al-Qur'an, dan memperdalam pemahaman agamanya. Nisa dan Farhan menjadi pendukung utamanya dalam proses ini, membantu Aksara untuk bangkit dari keterpurukan.

Namun, meskipun ia sudah mulai menemukan kedamaian, bayangan Kirana masih sering menghantui pikirannya. Ia bertanya-tanya, apakah keputusan Kirana untuk berpisah benar-benar karena alasan yang ia katakan, atau ada sesuatu yang lebih dalam? Pertanyaan ini terus bergema di hatinya, membuatnya sulit untuk benar-benar melupakan Kirana.

Dalam salah satu pertemuan mereka, Nisa berkata, "Aksara, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita manusia, dan kita memiliki perasaan. Tidak apa-apa untuk merindukan seseorang, tetapi jangan biarkan rasa itu membuatmu lupa pada apa yang lebih penting."

Kata-kata itu menjadi pengingat bagi Aksara untuk terus melangkah ke depan. Meskipun perjalanannya tidak mudah, ia tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil adalah bagian dari proses penyembuhan. Dan di setiap langkah itu, ia berusaha untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, mencari kekuatan dalam doa, dan percaya bahwa semua ini adalah bagian dari rencana-Nya yang indah.


Bab 4: Buai Belaka

Aksara menatap kosong ke arah jendela kamar, di mana gerimis mulai membasahi dunia di luar sana. Di dalam hatinya, ia merasa ada badai yang jauh lebih dahsyat. Sejak perpisahan itu, hari-harinya dipenuhi oleh pertanyaan yang terus berulang: apakah yang ia rasakan selama ini adalah cinta sejati atau hanya bayangan semu yang ia ciptakan sendiri? Bayangan akan sosok Kirana terus menghantui, tetapi kini dengan perspektif yang berbeda. Ia mulai mempertanyakan kejujuran perasaannya sendiri.

Dalam diskusi malam bersama Farhan di beranda masjid kampus, Aksara mengutarakan kebimbangannya. "Farhan, aku merasa... selama ini aku membangun harapan yang terlalu tinggi. Cintaku pada Kirana, mungkin hanya ilusi. Aku membayangkan bahwa dia adalah jawaban dari semua doa dan harapanku, tetapi kenyataannya? Aku tak yakin lagi."

Farhan menatap sahabatnya dengan bijak. "Aksara, cinta itu fitrah. Tapi, kadang kita memaknai cinta bukan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah, melainkan sebagai pencarian kebahagiaan dunia semata. Mungkin ini saatnya kau bertanya pada dirimu sendiri, apakah cintamu pada Kirana mendekatkanmu pada Allah, atau justru menjauhkanmu?"

Kata-kata itu menggetarkan hati Aksara. Ia terdiam cukup lama, merenungkan pertanyaan yang baru saja dilemparkan Farhan. Dalam keheningan itu, ia mendengar suara adzan Isya berkumandang, mengingatkannya bahwa hanya Allah-lah tempat bergantung yang sejati.

Beberapa hari kemudian, Aksara bertemu Nisa di sebuah kajian keislaman yang diadakan di aula kampus. Nisa, dengan senyumnya yang lembut, menyapa Aksara dengan penuh kehangatan. Mereka mulai berbicara tentang banyak hal, dari isi kajian hingga pengalaman hidup. Dalam percakapan itu, Nisa berbagi pandangannya tentang ikhlas.

"Ikhlas itu bukan melupakan, Aksara," ujar Nisa sambil menyeruput secangkir teh hangat. "Ikhlas adalah menerima bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita adalah kehendak Allah. Kita tidak harus berhenti mencintai, tapi kita harus mencintai dengan cara yang benar. Dan cara itu adalah menyerahkan segalanya kepada-Nya."

Kata-kata Nisa memberikan pencerahan bagi Aksara. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu bergantung pada cinta duniawi, dan kurang menyerahkan cintanya kepada Allah. Ia mulai belajar untuk melepaskan, bukan karena ingin melupakan Kirana, tetapi karena ia ingin mencintainya dengan cara yang lebih baik—dengan doa, dengan harapan bahwa apa pun yang terbaik akan terjadi sesuai kehendak-Nya.

Namun, hidup tidak semudah itu. Ketika Aksara mulai merasa sedikit tenang dan menemukan arah baru dalam hidupnya, Kirana tiba-tiba muncul kembali. Dalam sebuah pesan singkat, Kirana mengungkapkan keinginannya untuk bertemu. "Aksara, aku tahu aku sudah banyak menyakitimu. Tapi, bisakah kita berbicara? Aku ingin meminta maaf."

Aksara terdiam cukup lama membaca pesan itu. Hatinya yang mulai tenang kembali bergejolak. Ia tahu bahwa pertemuan ini akan membuka luka lama, tetapi ia juga tahu bahwa mungkin ini adalah kesempatan untuk mendapatkan penjelasan yang selama ini ia cari. Setelah mempertimbangkan dengan hati-hati, Aksara akhirnya setuju untuk bertemu.

Mereka bertemu di taman kampus, tempat yang dahulu menjadi saksi kebersamaan mereka. Kirana tampak berbeda, lebih tenang, tetapi juga lebih rapuh. Ia membuka percakapan dengan permintaan maaf yang tulus. "Aksara, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi, aku ingin kau tahu bahwa aku menyesal. Aku menyesal telah menjauh darimu tanpa penjelasan yang jelas. Aku menyesal telah membuatmu merasa tidak dihargai."

Aksara mendengarkan dengan hati yang campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega mendengar permintaan maaf itu. Tetapi di sisi lain, ia bingung dengan perasaannya sendiri. Apakah ia masih mencintai Kirana? Ataukah ia hanya terjebak dalam kenangan masa lalu?

"Kirana," ujar Aksara dengan suara yang bergetar. "Aku tidak membencimu. Aku juga pernah salah, terlalu banyak berharap tanpa melihat kenyataan. Tapi, aku perlu waktu untuk memahami apa yang aku rasakan."

Kirana mengangguk pelan. "Aku mengerti, Aksara. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku benar-benar menyesal. Dan jika kau mau, aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita kembali seperti dulu."

Permintaan itu membuat Aksara terdiam. Ia merasa berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, hatinya masih menyimpan rasa untuk Kirana. Tetapi di sisi lain, ia telah belajar banyak tentang ikhlas dan menyerahkan segalanya kepada Allah. Ia tidak ingin kembali hanya untuk mengulang kesalahan yang sama.

Dalam kebimbangan itu, Aksara kembali mencari nasihat dari Farhan. "Farhan, aku bingung. Kirana kembali dan meminta maaf. Ia ingin kita memperbaiki semuanya. Tapi, aku tidak tahu apakah ini keputusan yang benar."

Farhan tersenyum tipis. "Aksara, tidak ada yang salah dengan memberi kesempatan kedua. Tapi pastikan bahwa kesempatan itu berdasarkan niat yang benar. Jika kau merasa bahwa hubungan ini bisa mendekatkanmu kepada Allah, maka perjuangkanlah. Tapi jika tidak, belajarlah untuk melepaskan. Kadang, cinta sejati bukanlah tentang memiliki, tetapi tentang mendoakan yang terbaik untuknya."

Kata-kata itu membuat Aksara merenung. Ia memutuskan untuk berbicara dengan Nisa untuk mendapatkan sudut pandang yang berbeda. Nisa, dengan kebijaksanaannya, menyarankan agar Aksara memohon petunjuk kepada Allah melalui istikharah. "Allah selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya, Aksara. Jika Kirana memang untukmu, maka Allah akan memudahkan jalanmu. Jika tidak, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik."

Malam itu, Aksara menjalankan salat istikharah dengan hati yang penuh harap. Dalam doanya, ia memohon petunjuk dan kekuatan untuk mengambil keputusan yang terbaik. Hari-hari berlalu, dan Aksara merasa hatinya semakin tenang. Ia mulai memahami bahwa apa pun keputusan yang diambilnya, itu adalah bagian dari takdir yang telah ditetapkan oleh Allah.

Ketika akhirnya Aksara bertemu kembali dengan Kirana, ia telah menemukan jawaban atas kegelisahannya. "Kirana, aku menghargai permintaan maafmu. Dan aku memaafkanmu. Tapi, aku juga sadar bahwa cinta kita dulu terlalu banyak dipenuhi oleh harapan manusiawi. Jika kita ingin memperbaiki semuanya, maka kita harus memulainya dengan niat yang benar, yaitu mendekatkan diri kepada Allah."

Kirana tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku setuju, Aksara. Aku juga ingin memperbaiki diri. Jika Allah mengizinkan, aku ingin kita berjalan bersama di jalan-Nya."

Percakapan itu menjadi awal baru bagi mereka. Bukan sebagai sepasang kekasih yang hanya mengejar kebahagiaan dunia, tetapi sebagai dua insan yang berusaha mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Aksara menyadari bahwa cinta sejati bukanlah tentang memiliki, tetapi tentang saling mendukung untuk menjadi hamba yang lebih baik di mata Allah.

Dalam perjalanan itu, Aksara terus belajar bahwa cinta duniawi hanyalah bagian kecil dari kehidupan. Yang terpenting adalah cinta kepada Allah, yang akan membawa ketenangan dan kebahagiaan sejati. Bersama Kirana, Farhan, dan Nisa, ia melanjutkan perjalanan hidupnya dengan keyakinan bahwa setiap langkahnya adalah bagian dari rencana indah-Nya.


Tidak ada komentar untuk "KUTUKAN CINTA, BAB 2-4"