HANYA SATU PERSINGGAHAN, BAB 25-27
Bab 25: Mendekatkan Diri kepada Allah
Setelah melalui berbagai ujian dalam kehidupan rumah tangga mereka, Zahra dan Fikri menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak datang begitu saja tanpa usaha dan ketulusan. Mereka sudah melewati banyak rintangan dan cobaan yang menguji kekuatan mereka sebagai pasangan suami istri, tetapi semakin mereka menghadapinya, semakin mereka merasa bahwa ada satu kunci yang selalu menjadi penopang utama dalam hidup mereka—yakni, hubungan mereka dengan Allah.
Mereka mulai menyadari bahwa tanpa memperkuat ikatan spiritual mereka, apapun yang terjadi dalam kehidupan duniawi mereka akan terasa hampa dan mudah rapuh. Pada saat itu, Zahra dan Fikri sepakat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjadikan ibadah dan keimanan sebagai inti dari segala yang mereka lakukan.
Hari-hari mereka kini dipenuhi dengan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas ibadah mereka. Meskipun kehidupan rumah tangga mereka sibuk dengan berbagai aktivitas, mereka berusaha untuk tidak membiarkan kewajiban agama mereka terbengkalai. Setiap pagi, sebelum memulai hari, mereka bersama-sama melaksanakan shalat subuh dengan khusyuk. Ini menjadi momen yang sangat berharga bagi keduanya, ketika mereka dapat berdoa dan memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk dalam setiap langkah kehidupan mereka.
Zahra sering mengingatkan Fikri, dan begitu juga Fikri mengingatkan Zahra, untuk tidak melupakan doa-doa mereka setelah shalat. Mereka berdua merasa bahwa doa adalah cara yang paling ampuh untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar diberikan kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi segala ujian hidup.
“Fikri, kita tidak boleh lupa untuk berdoa setiap hari. Kita harus selalu bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan, dan memohon agar diberikan petunjuk-Nya,” kata Zahra dengan lembut suatu pagi, setelah mereka selesai melaksanakan shalat.
“Benar, Zahra. Aku juga merasa kita harus lebih mendalami doa-doa yang kita baca. Kita harus memahami maknanya, agar setiap kata yang kita ucapkan benar-benar masuk ke dalam hati,” jawab Fikri sambil tersenyum, menatap Zahra dengan penuh kasih sayang.
Selain meningkatkan kualitas doa mereka, Zahra dan Fikri juga mulai memperbaiki ibadah sunnah mereka. Mereka berdua mulai rutin melaksanakan shalat dhuha, shalat tahajud di tengah malam, serta mengaji bersama. Meskipun terkadang rasa lelah dan kantuk datang, mereka saling menyemangati untuk tetap bangun dan beribadah di malam hari. Tidak hanya itu, mereka juga berusaha untuk lebih banyak membaca Al-Qur’an setiap hari, berusaha memahami makna dari setiap ayat yang mereka baca, serta menghafal beberapa surah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Salah satu momen yang paling berkesan bagi mereka berdua adalah ketika mereka memutuskan untuk pergi ke masjid bersama-sama untuk melaksanakan shalat berjamaah. Setiap minggu, mereka menyempatkan diri untuk pergi ke masjid terdekat dari rumah mereka. Menjadi pasangan yang shalih dan saling mendukung dalam ibadah adalah salah satu impian mereka berdua.
Pada suatu malam, setelah selesai melaksanakan shalat tahajud, Zahra duduk di samping Fikri di ruang tamu mereka. Ada keheningan yang terasa nyaman di antara mereka. Mereka hanya mendengarkan suara angin yang masuk melalui jendela dan suara detak jam yang menandakan berlalunya waktu. Zahra memandang Fikri, kemudian berbicara dengan penuh ketulusan.
“Fikri, aku merasa semakin dekat dengan Allah setiap kali kita melaksanakan ibadah bersama. Rasanya ada kedamaian dalam hati yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku tahu bahwa kita tidak akan pernah sempurna, tetapi aku merasa kita semakin baik dalam menjalani hidup ini karena kita selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya.”
Fikri menatap Zahra dengan penuh cinta. “Aku juga merasa begitu, Zahra. Setiap kali kita berdoa bersama, aku merasa ada ketenangan yang datang dari dalam diri kita. Aku merasa bahwa Allah memberikan petunjuk dan kekuatan lebih kepada kita. Aku yakin, dengan terus menjaga ibadah kita, Allah akan memberikan kita kebahagiaan yang hakiki.”
Mereka berdua saling berpegangan tangan, merasakan kedekatan yang tidak hanya terjalin dalam kehidupan duniawi, tetapi juga dalam perjalanan spiritual mereka. Mereka menyadari bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya datang dari kedekatan dengan Allah, bukan hanya dari materi atau hal-hal duniawi lainnya. Semakin mereka meningkatkan ibadah mereka, semakin mereka merasakan kedamaian yang melingkupi kehidupan rumah tangga mereka.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, Zahra dan Fikri juga berusaha untuk selalu menjaga akhlak mereka. Mereka berdua berkomitmen untuk menjadi pribadi yang lebih baik, bukan hanya sebagai pasangan suami istri, tetapi juga sebagai hamba Allah yang selalu berusaha mengikuti petunjuk-Nya. Mereka berusaha untuk berbicara dengan lembut, saling menghargai, dan menghindari pertengkaran yang tidak perlu. Setiap kali mereka merasa ada perbedaan pendapat, mereka berusaha menyelesaikannya dengan penuh kasih sayang dan saling mendengarkan.
Zahra dan Fikri juga aktif dalam kegiatan dakwah dan sosial di lingkungan mereka. Mereka sering mengadakan majelis ilmu di rumah mereka, mengundang teman-teman dan keluarga untuk hadir, berbagi ilmu, dan memperdalam pemahaman tentang agama Islam. Mereka juga terlibat dalam berbagai kegiatan amal, membantu mereka yang membutuhkan, dan berusaha menjadi pribadi yang lebih bermanfaat bagi orang lain.
Suatu hari, setelah salah satu acara majelis ilmu yang mereka adakan di rumah, Zahra merasa sangat terharu. Ia melihat bagaimana setiap orang yang hadir bersemangat mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh Ustadz yang diundang, dan bagaimana mereka saling berbagi pengetahuan dan pengalaman. Zahra merasa bahwa ini adalah bagian dari usaha mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan hanya dengan ibadah pribadi, tetapi juga dengan berbagi kebaikan dengan orang lain.
“Aku merasa sangat diberkahi, Fikri,” kata Zahra, berbicara dengan tulus. “Setiap kali kita mengadakan majelis ilmu ini, aku merasa semakin dekat dengan Allah. Melihat orang-orang yang hadir dan saling berbagi kebaikan, rasanya hidup ini penuh dengan berkah.”
Fikri tersenyum, merasakan kebahagiaan yang sama. “Aku juga merasakannya, Zahra. Aku yakin, Allah melihat usaha kita untuk terus memperbaiki diri dan berbagi kebaikan. Ini adalah jalan kita untuk mendekatkan diri kepada-Nya.”
Kehidupan rumah tangga Zahra dan Fikri semakin terasa penuh dengan kebahagiaan, kedamaian, dan keberkahan. Mereka menyadari bahwa ujian dan cobaan yang mereka hadapi selama ini tidak hanya membuat mereka semakin kuat sebagai pasangan, tetapi juga semakin mendekatkan mereka kepada Allah. Mereka berusaha untuk selalu menjaga ibadah mereka dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan, karena mereka tahu bahwa itu adalah kunci utama kebahagiaan yang hakiki.
Dengan setiap doa yang mereka panjatkan, dengan setiap ibadah yang mereka laksanakan, Zahra dan Fikri semakin merasa bahwa Allah selalu bersama mereka. Mereka tidak lagi merasa takut menghadapi tantangan hidup, karena mereka yakin bahwa dengan mendekatkan diri kepada Allah, mereka akan selalu diberikan petunjuk dan kekuatan untuk menghadapinya. Mereka tahu bahwa perjalanan hidup ini bukanlah tentang mencari kebahagiaan semata, tetapi tentang bagaimana mereka bisa selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Akhirnya, Zahra dan Fikri merasa bahwa hidup mereka semakin seimbang—antara dunia dan akhirat, antara kewajiban sebagai hamba Allah dan sebagai pasangan suami istri. Mereka tahu bahwa kebahagiaan yang hakiki datang dari hubungan yang kuat dengan Allah, dan itu adalah tujuan utama yang akan mereka perjuangkan sepanjang hidup mereka.
Bab 26: Kelahiran Buah Hati
Kehidupan Zahra dan Fikri semakin lengkap dengan kehadiran buah hati yang sangat mereka nantikan. Perjalanan rumah tangga mereka yang telah dipenuhi dengan berbagai ujian dan kebahagiaan kini memasuki babak baru yang lebih menggembirakan. Kehadiran seorang anak adalah anugerah yang luar biasa bagi mereka. Setelah bertahun-tahun berdoa dan berharap, akhirnya Allah mengabulkan doa mereka dengan memberkahi pernikahan mereka dengan seorang anak yang sehat dan penuh semangat.
Zahra pertama kali mengetahui bahwa ia sedang mengandung ketika terlambat haid beberapa minggu yang lalu. Setelah melakukan tes kehamilan, hasilnya positif. Perasaan bahagia dan cemas menyelubungi hatinya. Betapa besar rasa syukurnya ketika ia menyadari bahwa ia akan menjadi seorang ibu. Tidak hanya itu, ia merasa semakin terhubung dengan Allah, karena merasa bahwa ini adalah hadiah dari-Nya yang tidak ternilai.
Fikri, yang mendengar kabar gembira itu, langsung memeluk Zahra dengan penuh kebahagiaan. "Alhamdulillah, Zahra. Ini adalah anugerah yang sangat besar dari Allah. Kita akan menjadi orangtua, insya Allah."
Zahra tersenyum bahagia sambil meneteskan air mata. "Aku merasa sangat bersyukur, Fikri. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa bahagianya aku. Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita dan anak kita."
Selama masa kehamilan, Zahra merasakan berbagai perubahan dalam tubuhnya. Kadang-kadang ia merasa lelah dan mual, tetapi di sisi lain, setiap kali merasakan gerakan kecil dalam perutnya, ia merasa sangat bahagia dan tak sabar untuk bertemu dengan buah hatinya. Fikri selalu berada di samping Zahra, memberikan dukungan dan perhatian yang penuh kasih sayang. Ia selalu mengingatkan Zahra untuk menjaga kesehatan dan tetap tenang, karena kehamilan adalah masa yang penuh dengan perubahan, baik fisik maupun emosional.
Setiap malam, mereka berdua berdoa bersama agar proses kehamilan dan persalinan berjalan lancar. Fikri berjanji kepada Zahra bahwa ia akan selalu ada untuknya, mendampingi dan mendukungnya, seperti yang telah mereka lakukan dalam perjalanan hidup mereka sebelumnya.
"Wahai Allah, kami mohon agar Engkau memberikan kemudahan dalam kelahiran ini. Berikanlah kami anak yang shalih dan shalihah, yang menjadi cahaya bagi dunia ini dan bermanfaat bagi agama-Mu," doa Zahra dengan penuh harapan.
Setiap kali mereka berdoa bersama, rasa syukur mereka semakin mendalam. Mereka sadar bahwa memiliki anak adalah tanggung jawab besar, tetapi mereka juga yakin bahwa dengan bimbingan Allah, mereka akan mampu menjadi orangtua yang baik untuk anak mereka.
Waktu berlalu, dan hari yang dinanti-nanti pun tiba. Saat itu, Zahra merasakan kontraksi pertama yang menandakan bahwa persalinan sudah dekat. Fikri yang sedang berada di kantor segera dipanggil oleh Zahra untuk pulang. Dalam hati, ia merasa campuran antara cemas dan bahagia. Ini adalah momen besar dalam hidup mereka. Mereka segera pergi ke rumah sakit, dengan Fikri yang terus memberikan semangat kepada Zahra.
"Zahra, jangan khawatir, insya Allah semuanya akan lancar. Aku akan selalu berada di sampingmu," kata Fikri dengan penuh keyakinan.
Zahra hanya mengangguk, walaupun ia merasa cemas, tetapi kata-kata Fikri memberikan ketenangan dalam hatinya. Begitu tiba di rumah sakit, mereka segera masuk ke ruang bersalin. Zahra merasa semakin intens kontraksi yang ia rasakan. Setiap detik terasa begitu panjang, namun Zahra tahu bahwa ini adalah perjuangan besar yang harus ia lalui untuk melihat wajah anaknya.
Fikri tetap setia menemani Zahra, menggenggam tangannya dan terus memberikan kata-kata penguatan. “Kita sudah berdoa, Zahra. Allah akan memudahkan semuanya. Ini adalah perjalanan yang indah, dan aku yakin kamu bisa melaluinya.”
Zahra tersenyum, meskipun rasa sakit yang ia rasakan sangat kuat. Namun, semangat dan doa dari Fikri membuatnya merasa lebih kuat. Setelah beberapa jam yang penuh perjuangan, akhirnya, Zahra mendengar suara tangisan kecil dari bayi mereka. Suara itu terdengar begitu indah di telinganya, menghapus semua rasa sakit yang ia rasakan sebelumnya.
Fikri, yang melihat anak mereka lahir ke dunia, tidak dapat menahan air matanya. Ia merasa begitu bahagia dan bersyukur kepada Allah atas hadiah yang begitu besar ini. Zahra pun merasa sangat lega dan penuh kebahagiaan. Bayi mereka, seorang bayi laki-laki yang sehat dan sempurna, kini berada di tangan mereka.
Setelah bayi mereka dibersihkan, perawat membawanya kepada Zahra dan Fikri. Mereka berdua menatap bayi mereka dengan penuh rasa syukur. Zahra memeluk bayi itu dengan penuh kasih sayang, sementara Fikri berdiri di samping mereka, menatap dengan mata yang penuh kebahagiaan.
“Alhamdulillah, Zahra. Kita telah diberi amanah yang luar biasa. Semoga anak kita menjadi anak yang shalih, yang selalu dekat dengan Allah, dan menjadi penerang bagi dunia ini,” kata Fikri dengan suara penuh haru.
Zahra mengangguk dengan penuh perasaan, “Semoga anak kita menjadi berkah bagi kita, dan semoga Allah senantiasa menjaga dan membimbingnya.”
Hari-hari pertama bersama bayi mereka dipenuhi dengan kebahagiaan dan tanggung jawab baru. Zahra dan Fikri merasakan cinta yang tak terbatas pada anak mereka, yang telah membawa kebahagiaan baru dalam hidup mereka. Setiap kali mereka melihat bayi mereka tidur dengan tenang, hati mereka terasa begitu damai. Meskipun mereka masih belajar bagaimana menjadi orangtua yang baik, mereka berdua berkomitmen untuk memberikan yang terbaik bagi anak mereka.
Zahra mulai menyusui bayinya, dan meskipun awalnya ia merasa sedikit cemas, ia segera merasa nyaman dengan proses tersebut. Fikri juga tidak kalah antusias dalam merawat bayi mereka. Ia membantu Zahra menyiapkan perlengkapan bayi, mengganti popok, dan menjaga bayi saat Zahra istirahat.
Selama malam-malam yang penuh kebahagiaan itu, Zahra dan Fikri sering berbicara tentang masa depan anak mereka. Mereka berharap anak mereka tumbuh menjadi pribadi yang baik, yang selalu dekat dengan agama, dan menjadi kebanggaan bagi mereka serta keluarga besar mereka.
“Fikri, aku ingin mengajarkan anak kita untuk selalu bersyukur kepada Allah. Aku ingin dia tahu bahwa segala nikmat yang kita rasakan adalah pemberian dari-Nya. Aku juga ingin mengajarkan dia untuk selalu berbuat baik kepada sesama, membantu orang lain, dan menjaga akhlaknya,” kata Zahra, berbicara dengan penuh kasih sayang kepada bayinya.
Fikri menatap Zahra dengan penuh cinta. “Aku setuju, Zahra. Kita akan ajarkan dia untuk selalu cinta kepada Allah, dan menjadi pribadi yang bermanfaat bagi agama dan umat. Insya Allah, anak kita akan menjadi anak yang shalih, yang senantiasa membawa kebaikan bagi dunia.”
Mereka berdua kemudian memandang anak mereka dengan penuh kasih, berharap agar kelak anak mereka tumbuh menjadi generasi yang membawa perubahan positif bagi masyarakat dan agama. Kehadiran buah hati ini adalah sumber kebahagiaan yang tak ternilai, yang mengingatkan mereka tentang arti sejati dari kehidupan dan tanggung jawab besar sebagai orangtua.
Pada akhirnya, Zahra dan Fikri menyadari bahwa kelahiran anak mereka bukan hanya anugerah yang luar biasa, tetapi juga ujian dan amanah yang harus mereka jaga dengan sepenuh hati. Dengan bimbingan Allah, mereka bertekad untuk memberikan yang terbaik bagi anak mereka, agar kelak anak itu menjadi seseorang yang tidak hanya membanggakan mereka, tetapi juga menjadi hamba Allah yang baik, yang selalu bersyukur, dan membawa kebaikan bagi sesama.
Bab 27: Aidil yang Menyesal
Hari-hari berlalu dengan penuh kebahagiaan bagi Zahra dan Fikri, namun kehidupan sering kali memberikan kejutan yang tak terduga. Suatu hari, di tengah kesibukan mereka, Zahra menerima telepon dari nomor yang tidak dikenal. Ketika ia mengangkatnya, suara seorang pria terdengar di ujung sana. Suara itu familiar, dan seketika itu juga hati Zahra berdebar. Ia mengenali suara itu meskipun sudah bertahun-tahun tidak mendengarnya. Itu adalah suara Aidil, mantan kekasihnya.
Zahra terdiam beberapa detik, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja ia dengar. Aidil, yang telah lama menghilang setelah hubungan mereka berakhir dengan cara yang sangat menyakitkan, kini kembali muncul. Perasaan Zahra pun campur aduk; antara kebingungan, ketidakpastian, dan sedikit kecemasan.
“Aidil?” tanya Zahra pelan, suaranya sedikit bergetar.
“Zahra… ini aku, Aidil,” jawabnya, dengan suara yang penuh penyesalan.
Zahra menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. Kenangan tentang Aidil, yang dulu pernah begitu berarti dalam hidupnya, muncul kembali dalam pikirannya. Hubungan mereka, yang dimulai dengan cinta yang tulus, berakhir dengan pengkhianatan dan sakit hati. Zahra sudah lama berusaha untuk melupakan semua itu, dan kini, Aidil datang lagi, memecah ketenangan yang telah ia bangun.
“Apa yang kamu inginkan, Aidil?” tanya Zahra, suara yang lebih tegas, meskipun hatinya masih diliputi kebingungan.
“Aku tahu, aku tidak berhak meminta maaf, Zahra. Tapi aku harus mengatakan ini. Aku sangat menyesal atas segala yang telah terjadi antara kita. Aku salah, dan aku sangat meminta maaf,” Aidil mengungkapkan dengan suara yang penuh penyesalan. “Aku tidak ingin mengganggu hidupmu, aku hanya ingin meminta maaf. Aku sudah terlalu lama mengabaikan rasa salahku terhadapmu.”
Zahra terdiam sejenak, mengingat kembali bagaimana perasaan dan harapannya terhadap Aidil dulu. Saat itu, ia sangat mencintainya, dan hampir tidak bisa membayangkan hidup tanpanya. Namun, setelah kebenaran terbongkar tentang pengkhianatan Aidil, Zahra merasa dunia seakan runtuh. Kini, mendengar permintaan maafnya, ada rasa yang sulit dijelaskan dalam hatinya. Apakah ia sudah siap untuk menerima permintaan maaf itu? Ataukah rasa sakit yang ia rasakan masih terlalu dalam untuk disembuhkan?
“Kenapa sekarang, Aidil? Kenapa setelah semua yang terjadi?” tanya Zahra dengan suara yang sedikit gemetar. Ia merasa bingung dan terluka sekaligus.
“Aku… aku sadar setelah sekian lama, Zahra. Waktu yang aku habiskan untuk berpikir membuatku menyadari betapa salahnya aku. Aku mengkhianatimu, dan itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku tidak bisa menahan rasa bersalah ini lagi. Aku tahu, aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyesal.”
Zahra menarik napas dalam-dalam. Ia bisa merasakan penyesalan yang tulus dalam suara Aidil, tetapi apakah itu cukup untuk menyembuhkan luka yang dalam di hatinya? Ia telah berjuang keras untuk melepaskan masa lalu dan melangkah ke depan, dengan Fikri yang kini menjadi suaminya, orang yang membuat hidupnya lebih bermakna. Ia telah menemukan kebahagiaan dalam hidupnya, dan untuk itu, ia merasa sangat bersyukur. Namun, di sisi lain, perasaan lama tentang Aidil yang masih terpendam seakan kembali muncul, meskipun ia sudah berusaha untuk melupakan semuanya.
“Aidil… aku sudah berusaha melupakan semuanya. Aku sudah melanjutkan hidupku. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Aku sudah membangun hidup yang baru dengan Fikri. Aku minta maaf, tapi aku tidak bisa menerima permintaan maafmu. Aku tidak bisa membuka kembali luka lama itu,” kata Zahra dengan suara yang penuh kesedihan. Ia merasa berat untuk mengucapkannya, tetapi ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus ia buat.
Di ujung telepon, terdengar keheningan sejenak. Zahra bisa merasakan bagaimana Aidil sedang memendam perasaannya, mungkin merasa sangat kecewa dengan jawabannya. Tetapi Zahra tahu bahwa ini adalah jalan yang harus ia pilih. Ia tidak bisa merusak kebahagiaan yang telah ia bangun bersama Fikri, yang selalu ada untuknya, yang telah membimbingnya menjadi pribadi yang lebih baik, yang selalu mendukung setiap langkah hidupnya.
“Aku mengerti, Zahra. Aku tidak bisa memaksa. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menyesal. Aku harap kamu bisa bahagia, apapun yang terjadi. Semoga Allah memberi kebahagiaan dan keberkahan dalam hidupmu,” Aidil berkata pelan, suara penuh penyesalan yang begitu terdengar tulus.
Zahra menutup telepon itu dengan hati yang penuh campur aduk. Bagaimanapun juga, permintaan maaf Aidil tetap tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Dia sudah melalui banyak hal untuk mencapai titik ini, dan ia tahu bahwa masa lalu harus tetap menjadi bagian dari sejarah hidupnya, bukan sesuatu yang bisa terus menghantuinya.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Zahra tidak bisa menahan perasaannya yang semakin mengganggu. Ia merasa bingung, meskipun ia tahu bahwa ia telah memilih jalan yang benar, kenangan bersama Aidil kembali muncul dalam pikirannya. Rasa sakit yang dulu ia rasakan, meskipun sudah lama, masih meninggalkan bekas di hati. Ia menceritakan hal itu kepada Fikri, yang selalu menjadi pendengar setia dan sumber kekuatannya.
Fikri mendengarkan dengan penuh perhatian. "Zahra, aku tahu ini bukan hal yang mudah. Aku tahu betapa besar rasa sakit yang kamu alami di masa lalu, dan aku tahu bahwa Aidil punya bagian dalam hal itu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku ada di sini untukmu. Aku mencintaimu, dan aku selalu akan mendukung keputusanmu. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama."
Zahra memeluk Fikri, merasa sangat terharu. "Aku merasa begitu bersyukur memiliki kamu, Fikri. Kamu yang selalu ada untukku, yang selalu mendukungku, yang memberikan ketenangan dalam hidupku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku tidak bertemu denganmu."
Fikri mengelus rambut Zahra dengan lembut. "Itulah yang namanya takdir, Zahra. Kita bertemu satu sama lain dengan tujuan yang lebih besar. Aku yakin Allah mempertemukan kita karena Dia tahu bahwa kita akan saling membantu menjadi pribadi yang lebih baik."
Zahra tersenyum. "Aku akan terus berusaha untuk melupakan masa lalu dan fokus pada masa depan kita. Aku sudah memilih jalan ini, Fikri. Aku tahu bahwa aku sudah berada di tempat yang tepat."
Dengan bimbingan Fikri, Zahra berusaha untuk lebih kuat menghadapi masa lalu. Ia memutuskan untuk menerima bahwa meskipun Aidil meminta maaf, itu tidak mengubah apapun. Masa lalu adalah bagian dari perjalanan hidupnya yang membentuk siapa dia hari ini. Dan yang lebih penting, ia memiliki Fikri yang selalu mendampinginya, membimbingnya, dan menjadi bagian dari kebahagiaan yang ia nikmati saat ini.
Aidil mungkin telah menyesal, tetapi bagi Zahra, hidupnya kini berada di jalur yang lebih baik, jalur yang lebih penuh berkah bersama Fikri dan anak mereka. Ia tahu bahwa Allah sudah mengatur segalanya dengan sempurna, dan itu adalah sesuatu yang harus ia syukuri setiap hari.
Tidak ada komentar untuk "HANYA SATU PERSINGGAHAN, BAB 25-27"
Posting Komentar