HANYA SATU PERSINGGAHAN, BAB 19-21
Bab 19: Restu Keluarga
Setelah menjalani banyak proses emosional yang penuh dengan ujian dan pembelajaran, Zahra akhirnya merasa bahwa hatinya sudah cukup tenang untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya. Hubungan yang ia jalani bersama Fikri semakin tumbuh dengan penuh kesabaran, pengertian, dan cinta yang tulus. Walaupun ia masih berhati-hati dengan perasaannya, Zahra mulai merasa lebih nyaman dan yakin bahwa perasaan yang ia rasakan bukan hanya sekadar kekosongan yang terisi, tetapi juga cinta yang tumbuh dengan alami, tanpa tekanan dari luar.
Namun, satu hal yang menjadi pikiran Zahra adalah restu keluarga. Ia tahu betul bahwa dalam budaya dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh keluarganya, restu orang tua dan keluarga sangatlah penting, terutama dalam hal hubungan yang mengarah pada pernikahan. Begitu juga dengan Fikri. Ia merasa penting untuk mendapatkan restu dari orang tuanya agar hubungan ini bisa berkembang ke arah yang lebih serius.
Suatu hari, setelah beberapa bulan mereka saling mengenal lebih dalam, Fikri mengajak Zahra untuk berbicara. Mereka duduk bersama di sebuah kafe yang tenang, tempat yang sering mereka kunjungi untuk berbincang santai. Wajah Fikri terlihat lebih serius, meskipun ia masih menyunggingkan senyum yang membuat Zahra merasa lebih nyaman.
"Zahra," kata Fikri dengan nada lembut, "sudah lama kita bersama dan saling mengenal, dan aku merasa hubungan kita sudah cukup matang. Aku ingin melangkah lebih jauh, dan aku rasa sudah waktunya kita memberitahukan keluarga kita tentang hubungan ini."
Zahra menatapnya dengan penuh perhatian. "Fikri, aku juga merasa begitu. Tapi aku ingin memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Aku ingin agar keluarga kita bisa saling mengenal lebih dekat sebelum kita membuat keputusan besar."
Fikri mengangguk setuju. "Aku mengerti. Aku tidak ingin terburu-buru. Aku ingin keluarga kita saling mengenal dengan baik, karena aku percaya restu mereka sangat penting dalam hubungan ini. Aku ingin kita memulai langkah ini dengan penuh keyakinan, tanpa ada keraguan."
Zahra merasa sedikit cemas, tetapi ia juga merasa bahwa ini adalah langkah yang harus mereka ambil. "Aku setuju, Fikri. Aku juga ingin keluarga ku tahu tentang kita. Aku tahu ibu dan ayahku sangat peduli dengan pilihan hidupku, terutama dalam hal hubungan dan pernikahan. Aku ingin mereka merasa nyaman dan mendukung kita."
Fikri tersenyum dan meraih tangan Zahra dengan lembut. "Aku siap. Aku ingin menunjukkan kepada mereka bahwa aku tulus mencintaimu dan siap untuk menjalani hidup bersama kamu."
Setelah percakapan itu, Zahra merasa ada ketegangan baru dalam hatinya. Meski ia tahu bahwa keluarganya sangat penting bagi hidupnya, ia juga merasa sedikit ragu bagaimana orang tuanya akan merespon hubungan mereka. Ia telah melalui banyak hal dalam hidupnya, termasuk hubungan yang gagal, dan ia tidak ingin mengambil langkah yang salah atau membuat keputusan yang akan mengecewakan orang tuanya. Namun, ia juga tahu bahwa jika ia terus hidup dalam keraguan, ia tidak akan pernah bisa melangkah maju.
Malam itu, Zahra memutuskan untuk berbicara dengan ibunya, Ibu Fatimah. Ibu adalah sosok yang selalu mendukungnya dalam setiap langkah hidupnya, dan Zahra merasa bahwa Ibu akan menjadi orang pertama yang dapat memberikan pandangannya tentang hubungan ini. Setelah makan malam, mereka duduk berdua di ruang tamu, ditemani secangkir teh hangat.
"Ibu," kata Zahra dengan suara pelan, "ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Ibu."
Ibu Fatimah menatapnya dengan penuh perhatian, mengenali nada serius dalam suara Zahra. "Apa itu, Nak? Kenapa terlihat seperti ada yang mengganggumu?"
Zahra menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Aku merasa sudah waktunya untuk berbicara tentang Fikri. Dia adalah seorang pria yang selama ini selalu ada untukku. Kami sudah cukup lama saling mengenal, dan aku merasa dia adalah orang yang tepat untuk menjadi pendamping hidupku. Aku ingin keluarga kita saling mengenal, dan aku ingin mendapatkan restu Ibu dan Ayah."
Ibu Fatimah terdiam sejenak, mencerna kata-kata Zahra. Meskipun ia merasa sedikit terkejut, ia tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan. Ia tahu bahwa Zahra adalah seorang wanita yang sudah cukup dewasa dan bijaksana dalam mengambil keputusan hidupnya.
"Ibu tahu betapa kerasnya perjalanan yang kamu lalui, Zahra," kata Ibu Fatimah dengan lembut. "Aku juga tahu betapa hati-hatinya kamu dalam memilih seseorang yang akan menjadi pendamping hidupmu. Aku percaya pada keputusanmu, dan aku akan mendukung apapun yang kamu pilih, selama kamu bahagia dan merasa nyaman."
Zahra merasa lega mendengar kata-kata Ibu. "Terima kasih, Ibu. Aku sangat berharap Ayah juga bisa menerima Fikri seperti yang Ibu lakukan."
Ibu Fatimah tersenyum. "Aku akan berbicara dengan Ayah, Nak. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja. Kita akan saling mengenal lebih dalam, dan kalau hubungan ini memang yang terbaik untukmu, aku yakin Ayah juga akan memberikan restu."
Zahra merasa hatinya lebih ringan setelah berbicara dengan Ibu. Ia tahu bahwa dengan restu Ibu, langkah pertama untuk membangun hubungan ini semakin terbuka. Namun, ia juga menyadari bahwa Ayahnya memiliki karakter yang lebih keras dan cenderung lebih kritis dalam hal-hal yang berkaitan dengan masa depan anak-anaknya. Karena itu, Zahra merasa bahwa ia harus lebih berhati-hati dan memastikan bahwa Fikri juga bisa memberikan kesan yang baik kepada Ayahnya.
Beberapa hari kemudian, Ibu Fatimah mengajak Zahra untuk berbicara dengan Ayahnya, Pak Anwar. Mereka duduk di ruang tamu, dan Ibu mulai berbicara dengan lembut mengenai niat Zahra untuk mengenalkan Fikri. Pak Anwar mendengarkan dengan serius, kemudian menatap Zahra dengan tatapan yang tajam namun penuh perhatian.
"Jadi, Fikri ini orang yang kamu pilih?" tanya Pak Anwar dengan suara tegas.
Zahra mengangguk, merasa sedikit gugup. "Iya, Ayah. Dia adalah orang yang baik, dan aku merasa dia adalah sosok yang tepat untuk aku. Kami sudah saling mengenal cukup lama, dan aku ingin Ayah dan Ibu mengenalnya lebih dekat."
Pak Anwar terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Zahra. Kemudian ia berbicara dengan suara yang lebih lembut. "Aku tahu kamu sudah dewasa dan bisa membuat keputusan sendiri, Zahra. Tapi ingatlah, kehidupan bukanlah tentang cinta semata. Kami ingin memastikan bahwa dia bisa menjadi seseorang yang bisa menjaga dan membahagiakanmu. Jika Fikri memang orang yang tepat, kami akan mendukungmu. Tetapi jika ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan, kita harus bicara lagi."
Zahra merasa sedikit lega mendengar sikap Ayahnya yang lebih bijaksana daripada yang ia bayangkan. "Terima kasih, Ayah. Aku tahu Ayah ingin yang terbaik untukku."
Setelah pembicaraan itu, mereka sepakat untuk mengundang Fikri ke rumah mereka. Beberapa minggu kemudian, Fikri datang ke rumah Zahra untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Ketegangan dalam diri Zahra mulai terasa, tetapi ia juga merasa percaya diri karena Fikri telah menunjukkan sikap yang tulus dan serius dalam hubungan ini.
Saat Fikri tiba, mereka disambut dengan hangat oleh Ibu Fatimah dan Pak Anwar. Meskipun ada ketegangan di awal, Fikri berhasil menunjukkan sikap yang sopan, penuh rasa hormat, dan percaya diri. Ia berbicara dengan baik kepada Pak Anwar, menjelaskan dengan tulus tentang niatnya untuk mengenal Zahra lebih dalam dan membangun hubungan yang serius. Ibu Fatimah juga sangat menyukai sikap Fikri yang ramah dan perhatian.
Beberapa jam berlalu, dan saat pertemuan itu berakhir, Zahra merasa bahwa langkah pertama mereka menuju restu keluarga berjalan dengan baik. Ibu Fatimah dan Pak Anwar memberi tanda-tanda positif. Meskipun masih ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, Zahra merasa bahwa hubungan mereka semakin diterima dan dihargai oleh keluarga.
Pada akhirnya, Zahra menyadari bahwa restu keluarga adalah bagian penting dalam perjalanan hidupnya. Tanpa dukungan dan doa dari orang tua, perjalanan hubungan ini mungkin tidak akan semulus yang diharapkan. Namun, ia juga tahu bahwa dengan cinta yang tulus, kesabaran, dan pengertian, mereka akan bisa melewati segala tantangan bersama
Bab 20: Menyusun Masa Depan
Setelah melalui perjalanan panjang penuh liku, Zahra dan Fikri akhirnya berada pada titik yang sangat penting dalam hubungan mereka. Keputusan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius sudah semakin jelas di depan mata, dan keduanya merasa bahwa inilah waktu yang tepat untuk menyusun masa depan bersama. Banyak hal yang sudah mereka lewati—uji coba dalam hubungan, pertemuan dengan keluarga, bahkan penerimaan dan restu dari orang tua. Namun, perjalanan mereka masih panjang, dan kali ini, mereka harus bersama-sama merancang masa depan yang penuh dengan harapan, komitmen, dan keyakinan.
Di sebuah sore yang cerah, setelah menjalani hari-hari yang sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan lainnya, Zahra dan Fikri duduk berdua di taman belakang rumah Zahra. Suasana sekitar sangat tenang, dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut wajah mereka. Mereka duduk di bawah pohon rindang yang menjadi tempat favorit mereka untuk berbicara tentang kehidupan. Zahra memandang Fikri dengan senyum yang lembut, dan Fikri pun menatapnya dengan penuh kasih sayang.
"Fikri," kata Zahra dengan suara yang penuh pertimbangan, "kita sudah sampai di titik ini, dan aku merasa kita harus mulai merencanakan masa depan kita bersama. Kita telah melalui banyak hal, dan sekarang waktunya bagi kita untuk menentukan arah yang jelas. Aku ingin masa depan kita bukan hanya dibangun di atas rasa cinta, tapi juga dengan tujuan yang jelas, yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang kita yakini."
Fikri tersenyum mendengar kata-kata Zahra. Ia sudah mengetahui betapa pentingnya nilai-nilai agama dalam kehidupan Zahra. Sejak pertama kali mereka saling mengenal, ia merasa bahwa Zahra adalah sosok yang sangat mendalam dalam hal agama, dan itu menjadi salah satu alasan mengapa ia jatuh cinta padanya. Fikri juga merasa bahwa kehidupan mereka ke depan harus dibangun dengan dasar yang kokoh, yakni agama dan komitmen untuk saling mendukung dalam kebaikan.
"Aku setuju, Zahra," jawab Fikri dengan penuh keyakinan. "Bagi aku, hubungan ini bukan hanya tentang berdua, tapi juga bagaimana kita bisa bersama-sama mencapai tujuan yang lebih besar dalam hidup, yaitu mendapatkan keridhaan Allah. Aku ingin hubungan kita tidak hanya menjadi hubungan duniawi, tetapi juga menjadi sarana untuk kita berdua meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Aku ingin kita menjadi pasangan yang saling membantu dalam beribadah, dalam menuntut ilmu, dan dalam menjalani kehidupan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam."
Zahra mengangguk setuju. Ia merasa sangat bersyukur memiliki pasangan yang memiliki pandangan yang sama. Fikri bukan hanya seorang pria yang ia cintai, tetapi juga seorang yang berusaha untuk mengarahkan dirinya ke jalan yang benar. Dalam hatinya, Zahra berdoa agar Allah senantiasa memberikan mereka kekuatan untuk terus melangkah di jalan-Nya.
"Fikri, aku ingin kita memiliki tujuan bersama yang jelas," lanjut Zahra. "Aku berharap kita bisa selalu menjaga komunikasi, saling mengingatkan, dan mendukung satu sama lain dalam setiap langkah yang kita ambil. Kita harus memastikan bahwa segala keputusan yang kita buat, besar atau kecil, selalu berpijak pada nilai-nilai agama. Misalnya, bagaimana kita merencanakan karier kita, bagaimana kita membangun rumah tangga yang sakinah, dan bagaimana kita mengatur waktu kita untuk beribadah dan berkarya."
Fikri menatap Zahra dengan penuh kehangatan. "Aku sepenuhnya setuju, Zahra. Aku ingin kita bisa saling mendukung dalam hal-hal yang positif. Dalam bekerja, kita harus selalu ingat bahwa setiap usaha yang kita lakukan adalah untuk mencari keberkahan dan keridhaan Allah. Dalam membangun rumah tangga, kita harus menjadikan keluarga kita sebagai tempat untuk saling mendekatkan diri kepada Allah. Aku ingin kita bisa mendidik anak-anak kita kelak dengan pendidikan yang baik, tidak hanya dari segi akademik, tetapi juga akhlak dan pemahaman agama yang kuat."
Zahra tersenyum bahagia mendengar kata-kata Fikri. Ia merasa bahwa mereka memiliki visi yang sama dalam banyak hal, dan itu memberi keyakinan bahwa masa depan mereka akan lebih terarah dan penuh berkah. Namun, di balik semua itu, Zahra juga menyadari bahwa perjalanan mereka ke depan tidak akan selalu mulus. Mereka akan menghadapi tantangan, ujian, dan cobaan yang mungkin datang dari berbagai arah. Karena itu, mereka harus selalu memperkuat komitmen mereka satu sama lain dan terus memperbaiki diri.
"Aku juga ingin kita memiliki tujuan yang jelas dalam hal spiritual," kata Zahra lagi, "seperti bagaimana kita bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan meningkatkan ibadah kita, memperbanyak doa, dan memperbaiki amalan kita sehari-hari. Aku ingin kita menjadi pasangan yang tidak hanya saling mendukung dalam hal duniawi, tetapi juga dalam hal akhirat."
Fikri mengangguk setuju. "Aku juga ingin itu, Zahra. Aku ingin kita menjadi pasangan yang saling mendoakan, yang selalu mengingatkan untuk tidak melupakan kewajiban kita sebagai hamba Allah. Kita harus saling menjaga, baik dalam hal ibadah maupun dalam hal akhlak. Aku percaya, jika kita selalu berpegang pada nilai-nilai Islam, kita akan selalu diberi petunjuk dan perlindungan dari Allah."
Mereka berdua terdiam sejenak, merenungkan kata-kata yang baru saja mereka ucapkan. Zahra merasa hatinya semakin yakin dan penuh ketenangan. Ia tahu bahwa Fikri adalah sosok yang tepat untuk menjalani kehidupan bersama. Mereka memiliki tujuan yang sama, dan yang lebih penting lagi, mereka berdua berkomitmen untuk membangun kehidupan yang tidak hanya bahagia di dunia, tetapi juga yang penuh berkah dan ridha di akhirat.
Setelah percakapan itu, mereka memutuskan untuk menyusun rencana hidup bersama. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari pengaturan waktu antara pekerjaan dan ibadah, hingga bagaimana mereka akan membangun keluarga yang kokoh dengan fondasi Islam. Mereka sepakat untuk selalu berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, untuk tidak hanya sekadar berjuang dalam karier atau hal-hal duniawi, tetapi juga untuk terus meningkatkan kualitas spiritualitas mereka.
Zahra dan Fikri juga sepakat untuk menyusun rencana keuangan yang baik, dengan tujuan agar mereka dapat menjalani kehidupan yang sederhana namun berkualitas. Mereka akan belajar untuk tidak terlalu bergantung pada materi, dan selalu mengingat bahwa segala yang mereka miliki hanyalah amanah dari Allah. Dalam hal ini, mereka berdua berkomitmen untuk saling membantu dan saling memberi dukungan dalam segala hal yang mereka lakukan, agar bisa memperoleh hasil yang berkah dan berguna bagi umat.
Salah satu hal yang juga mereka bicarakan adalah tentang peran mereka sebagai orang tua kelak. Mereka sepakat untuk mendidik anak-anak mereka dengan cara yang terbaik, yang tidak hanya mengajarkan mereka tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang nilai-nilai moral dan agama yang kuat. Zahra dan Fikri ingin anak-anak mereka tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat dalam akhlak dan spiritualitas.
"Anak-anak kita kelak harus tahu bahwa hidup ini bukan hanya tentang mengejar dunia, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa menjalani hidup dengan penuh makna," kata Zahra dengan tekad. "Kita akan mengajarkan mereka untuk selalu mensyukuri setiap nikmat yang Allah berikan dan untuk selalu berusaha menjadi pribadi yang lebih baik setiap hari."
Fikri tersenyum dan menggenggam tangan Zahra dengan lembut. "Kita akan melakukannya bersama-sama, Zahra. Dengan nilai-nilai Islam sebagai pedoman, aku yakin kita akan mampu menjalani hidup ini dengan penuh kebahagiaan dan keberkahan."
Malam itu, setelah perbincangan panjang yang penuh harapan, Zahra merasa sangat yakin bahwa masa depan mereka akan menjadi perjalanan yang indah dan penuh berkah. Bersama Fikri, ia tahu bahwa mereka akan terus berjuang untuk menjadi pribadi yang lebih baik, baik dalam dunia maupun akhirat. Mereka akan menjalani kehidupan ini dengan penuh cinta, saling mendukung, dan saling mengingatkan untuk selalu berjalan di jalan Allah.
Zahra menatap Fikri dengan penuh harapan, dan dalam hatinya, ia berdoa agar Allah senantiasa memberi mereka kekuatan, keteguhan hati, dan keberkahan dalam setiap langkah yang mereka ambil. Mereka tahu bahwa tantangan akan selalu ada, tetapi dengan nilai-nilai Islam yang kokoh, mereka akan selalu mampu menghadapinya, bersama-sama
Bab 21: Hari yang Bahagia
Hari itu akhirnya tiba, hari yang telah lama dinantikan oleh Zahra dan Fikri. Hari yang penuh dengan doa, harapan, dan kebahagiaan yang sederhana namun penuh makna. Setelah melewati perjalanan panjang penuh ujian, rintangan, dan pembelajaran, mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci pernikahan. Hari pernikahan mereka bukan hanya sekadar sebuah acara, tetapi merupakan perwujudan dari janji mereka untuk membangun kehidupan bersama, berlandaskan pada nilai-nilai Islam yang mereka pegang teguh.
Zahra duduk di kamar pengantin, mengenakan gaun pengantin putih sederhana yang indah, namun tidak berlebihan. Ia menatap dirinya di cermin, merasakan perasaan yang campur aduk antara haru, bahagia, dan sedikit cemas. Ia tahu bahwa pernikahan bukan hanya tentang pesta atau perayaan, tetapi tentang tanggung jawab yang besar sebagai pasangan hidup. Namun, ia juga merasa yakin, karena ia telah memutuskan untuk menjalani hidup bersama Fikri, pria yang ia cintai dan yang telah banyak mendukungnya dalam setiap langkah hidupnya.
Sambil menatap gaunnya, Zahra teringat akan perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Dari pertemuan pertama mereka, hingga masa-masa sulit ketika ia merasa ragu dan terpuruk, Fikri selalu ada di sisinya, memberikan dukungan, kesabaran, dan cinta yang tulus. Zahra merasa sangat bersyukur memiliki Fikri sebagai pendamping hidup. Ia tahu bahwa hidup mereka ke depan akan penuh dengan tantangan, tetapi ia merasa siap menghadapinya, karena mereka akan menjalani semuanya bersama, dalam naungan cinta dan agama.
Zahra merasakan ketenangan yang dalam ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Pintu terbuka, dan di sana berdiri Ibu Fatimah dengan senyum lembut yang menyambutnya. Ibu terlihat cantik dalam pakaian yang sederhana namun anggun, dan matanya penuh dengan kebanggaan dan haru.
"Anakku," kata Ibu Fatimah dengan suara lembut, "hari ini adalah hari yang sangat istimewa. Aku bangga sekali melihatmu di sini, siap memulai babak baru dalam hidupmu. Ibu tahu bahwa perjalananmu tak selalu mudah, tapi aku yakin kamu akan menjadi istri yang baik, yang mendampingi suamimu dengan penuh kasih sayang dan ketulusan."
Zahra merasa matanya berkaca-kaca mendengar kata-kata Ibu. Ia berjalan mendekat, memeluknya dengan penuh kasih. "Terima kasih, Ibu. Aku tidak akan bisa sampai di sini tanpa doa dan dukungan Ibu. Aku harap aku bisa menjadi anak yang selalu membuat Ibu bangga."
Ibu Fatimah mengusap punggung Zahra dengan lembut. "Ibu tahu kamu akan melakukannya dengan baik. Jangan lupa untuk selalu mengingat Allah dalam setiap langkahmu, dan semoga kehidupanmu bersama Fikri penuh dengan berkah dan kebahagiaan."
Setelah beberapa saat, Zahra mempersiapkan dirinya untuk menuju ke tempat akad nikah yang telah disiapkan dengan sangat sederhana namun penuh makna. Di luar, keluarga dan teman-teman dekat mereka sudah berkumpul. Acara tersebut tidak megah, tidak mewah, tetapi begitu penuh makna, sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Semua yang hadir tahu bahwa ini adalah pernikahan yang dibangun di atas dasar cinta yang tulus dan keinginan untuk beribadah kepada Allah.
Pernikahan mereka diselenggarakan dengan penuh kesederhanaan, sesuai dengan ajaran Islam yang mengajarkan bahwa pernikahan adalah suatu ibadah yang harus dijalankan dengan penuh kesungguhan, bukan dengan memamerkan kekayaan atau kemewahan. Zahra dan Fikri memilih untuk menghindari segala bentuk pemborosan, dan mereka berdua sepakat bahwa yang terpenting adalah keberkahan dari pernikahan mereka, bukan seberapa banyak uang yang dikeluarkan.
Fikri sudah menunggu di tempat akad nikah, dengan setelan jas sederhana namun rapi. Wajahnya tampak tenang, meskipun ada sedikit kegugupan di matanya. Ia sudah siap untuk mengucapkan janji suci, untuk menerima Zahra sebagai istrinya, dan untuk menjalani hidup bersama dalam keadaan suka maupun duka. Fikri merasa beruntung karena bisa mendampingi Zahra, yang ia anggap sebagai sosok yang sangat istimewa, yang selalu menjaga prinsip-prinsip agama dan hidup dengan penuh ketulusan.
Setelah beberapa saat, acara dimulai. Zahra berjalan perlahan menuju tempat akad nikah, ditemani oleh ayahnya, Pak Anwar. Semua mata tertuju padanya, tetapi Zahra hanya merasa tenang, karena ia tahu bahwa ini adalah langkah besar yang akan membawanya pada kehidupan yang baru. Ia melihat Fikri berdiri di sana, menatapnya dengan penuh cinta. Saat mata mereka bertemu, Zahra merasakan perasaan yang dalam, seolah dunia berhenti sejenak. Di sanalah ia berdiri, dengan Fikri di sampingnya, siap untuk memulai kehidupan yang baru sebagai suami dan istri.
Akad nikah dilaksanakan dengan khidmat. Sang penghulu mengucapkan kata-kata ijab kabul, dan Fikri dengan tegas dan penuh keyakinan mengucapkan kalimat yang membuat Zahra merasa hatinya bergetar. "Saya terima nikahnya Zahra binti Anwar dengan mas kawin yang telah disebutkan."
Zahra menunduk, menahan air mata kebahagiaan yang hampir jatuh. Ia merasa lega, bahagia, dan penuh harapan. Ini adalah titik awal dari perjalanan hidup yang baru, dan ia tahu bahwa dengan izin Allah, ia akan menjalani semuanya dengan penuh rasa syukur dan cinta.
Setelah akad nikah, acara dilanjutkan dengan doa bersama. Keluarga dan teman-teman mereka yang hadir turut mengiringi doa untuk kebahagiaan dan keberkahan pernikahan mereka. Semua yang hadir mendoakan agar hubungan mereka langgeng, penuh dengan cinta, dan selalu mendapat petunjuk serta rahmat dari Allah.
Acara resepsi sederhana digelar setelah akad nikah. Meskipun tidak ada kemewahan, suasana di sana sangat hangat dan penuh kebahagiaan. Keluarga besar, sahabat-sahabat dekat, dan orang-orang yang berperan dalam hidup Zahra dan Fikri berkumpul untuk merayakan hari yang penuh makna ini. Makanan yang disajikan sederhana, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan semua yang hadir. Mereka semua berbicara, tertawa, dan saling berbagi kebahagiaan, merayakan hari istimewa itu dengan cara yang penuh dengan kedamaian dan rasa syukur.
Zahra dan Fikri saling berbicara dengan penuh kebahagiaan. Zahra tersenyum kepada Fikri dan berkata, "Ini adalah hari yang akan selalu kuingat, Fikri. Aku sangat bahagia, dan aku merasa kita sudah memulai perjalanan yang sangat indah."
Fikri tersenyum dengan tulus. "Begitu juga aku, Zahra. Aku berjanji akan selalu mendampingimu, dalam suka dan duka. Kita akan menjalani hidup ini bersama, dalam kebahagiaan dan ujian, dan semoga Allah selalu memberikan kita kekuatan untuk saling mendukung."
Malam itu, setelah semua tamu pulang, Zahra dan Fikri duduk bersama, menikmati keheningan malam. Mereka tahu bahwa hidup mereka tidak akan selalu mudah, tetapi dengan cinta dan komitmen yang tulus, mereka siap untuk menyongsong masa depan bersama. Hari ini adalah hari yang bahagia, tetapi Zahra dan Fikri tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Mereka berdua yakin, dengan memegang teguh nilai-nilai agama dan cinta yang ikhlas, mereka akan mampu melewati segala tantangan yang datang dalam kehidupan rumah tangga mereka.
"Selamat datang di perjalanan hidup kita yang baru, Zahra," kata Fikri dengan lembut, menggenggam tangan Zahra.
Zahra tersenyum, merasakan kebahagiaan yang begitu dalam. "Selamat datang di perjalanan hidup kita, Fikri. Semoga Allah selalu meridhai kita."
Di malam yang penuh berkah itu, Zahra dan Fikri berdoa bersama, memohon kepada Allah agar perjalanan hidup mereka selalu diberkahi dan dijaga oleh-Nya. Mereka tahu bahwa hari ini bukanlah akhir, tetapi awal dari babak baru dalam kehidupan mereka, yang akan dijalani bersama dengan penuh cinta, tanggung jawab, dan keikhlasan.
Tidak ada komentar untuk "HANYA SATU PERSINGGAHAN, BAB 19-21"
Posting Komentar