Cinta Terhalang, Bab 6

 Bab 6: Pengorbanan

Hari-hari berlalu setelah perpisahan yang menyakitkan itu, tetapi Sheilla tidak dapat menyingkirkan kenangan akan Aidan dari pikirannya. Setiap sudut kampus, setiap langkah yang diambilnya, selalu mengingatkan dia pada senyuman dan kebersamaan mereka. Meskipun dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa memberi jarak adalah yang terbaik, hatinya selalu merindukan Aidan.

Suatu sore, saat Sheilla sedang duduk di bangku taman universitas, Aidan mendekatinya. Meskipun mereka telah sepakat untuk memberi jarak, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat Sheilla. Wajah Sheilla tampak muram, dan melihatnya seperti itu membuat hatinya nyeri. “Sheilla,” sapanya lembut, “aku tahu kita sepakat untuk memberi jarak, tetapi aku perlu berbicara denganmu.”

Sheilla menatapnya, matanya yang berkilau mengungkapkan kerinduan yang dalam. “Aidan, aku…,” katanya, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya.

“Dengar, aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi aku merasa kita tidak bisa terus bersembunyi dari perasaan kita,” Aidan memulai, duduk di sampingnya. “Cinta kita adalah sesuatu yang istimewa, dan aku percaya itu lebih penting daripada harta dan status.”

Sheilla terdiam, merenungkan kata-kata Aidan. Dia tahu bahwa dia mencintai Aidan, tetapi keraguan yang ditanamkan orang tuanya tidak bisa begitu saja diabaikan. “Tapi Aidan, orang tuaku…” ia mulai berbicara, tetapi Aidan memotongnya.

“Orang tuamu hanya ingin melindungimu, aku mengerti itu. Tetapi apakah kau benar-benar ingin menjalani hidup sesuai dengan harapan orang lain? Apa kau tidak ingin mengejar kebahagiaanmu sendiri?” Aidan menatapnya dengan penuh keyakinan, seolah-olah dia bisa menembus dinding keraguannya.

“Bagaimana jika mereka benar? Bagaimana jika tanpa harta dan status, aku tidak bisa memberi kehidupan yang baik untuk kita?” tanya Sheilla, suaranya bergetar.

Aidan menggelengkan kepala, berusaha keras untuk meyakinkan Sheilla. “Cinta sejati mampu mengatasi segalanya, Sheilla. Ingat ketika kita berbagi impian tentang masa depan? Kita bisa membangun hidup kita sendiri, meski dengan tangan kosong. Kita bisa belajar dan tumbuh bersama. Cinta kita bukan hanya tentang materi; ini tentang dua hati yang saling mendukung.”

Sheilla menatap Aidan, hatinya bergetar mendengar kata-katanya. “Tapi, Aidan, apa kau siap menghadapi semua ini? Apa kau bersedia mengorbankan segalanya demi cinta ini?” pertanyaannya penuh ketegangan.

“Aku bersedia,” jawab Aidan tanpa ragu. “Aku sudah siap untuk melakukan pengorbanan apapun demi kita. Cinta kita lebih berharga daripada semua hal di dunia ini. Aku percaya, jika kita berjuang bersama, kita bisa menghadapi apa pun.” Suara Aidan mantap, memancarkan kepercayaan diri yang menginspirasi.

“Bagaimana jika kita gagal? Bagaimana jika orang tuaku tidak pernah menerima kita?” tanya Sheilla, air mata mulai menggenang di matanya.

“Aku tidak bisa menjamin segalanya akan berjalan mulus. Namun, aku bisa menjamin bahwa aku akan selalu berada di sampingmu, apapun yang terjadi,” Aidan menjawab, meraih tangan Sheilla. Sentuhannya memberi kekuatan dan harapan. “Kita tidak akan tahu hasilnya jika kita tidak mencobanya. Kita harus berani menghadapi kemungkinan-kemungkinan ini, bersama-sama.”

Mendengar kata-kata Aidan, Sheilla merasakan gelombang emosi yang tak tertahankan. Ada harapan dan ketakutan dalam dirinya, dan semua itu bertumpuk dalam satu pilihan yang sulit. Cinta yang tulus yang dirasakan Aidan benar-benar memancarkan cahaya di tengah kegelapan keraguannya. “Tapi bagaimana kalau aku memilih untuk mengikuti jalan orang tuaku? Apa kau akan melepaskanku?” tanyanya, suaranya hampir tak terdengar.

“Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Sheilla. Cinta kita bukan hanya tentang memiliki satu sama lain, tetapi tentang saling mendukung dalam setiap keputusan yang diambil. Jika itu yang kau pilih, aku akan menghormatinya, tetapi itu tidak akan mengubah perasaanku padamu,” jawab Aidan, ketulusan dalam nada suaranya tidak dapat disangkal.

Sheilla merasa seolah-olah duniannya berputar. Dia harus memikirkan segalanya dengan hati-hati. Menghadapi orang tuanya, mengejar cinta, dan menghadapi kemungkinan kehilangan—semua ini seperti labirin yang sulit untuk dinavigasi. Namun, di sisi lain, dia merasakan keinginan untuk melawan, untuk memperjuangkan cinta mereka.

“Aku perlu waktu untuk berpikir,” akhirnya Sheilla mengaku, matanya penuh harapan dan kebingungan. “Tapi terima kasih telah membukakan mataku, Aidan. Cinta kita memang sesuatu yang berharga.”

“Aku akan menunggu, Sheilla. Aku percaya cinta kita akan menemukan jalannya,” Aidan berkata dengan penuh keyakinan.

Ketika Aidan pergi, Sheilla merasa hatinya lebih ringan. Meskipun jalan di depan masih terlihat samar, satu hal yang pasti: dia harus berjuang untuk cintanya. Setiap pengorbanan yang dibuat demi cinta adalah langkah menuju kebahagiaan yang sejati. Dia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, cinta mereka mampu menembus batasan yang telah ditetapkan oleh dunia.

Tidak ada komentar untuk "Cinta Terhalang, Bab 6"