CINTA TERHALANG, BAB 17

 Bab 17: Menyelesaikan Konsekuensi

Setelah pertemuan di taman, Sheilla merasa bersemangat sekaligus tertekan. Meski mereka berhasil berbagi perasaan dan harapan, tantangan baru segera mengintai. Ia tahu, kembali ke rumah berarti menghadapi konsekuensi dari keputusan yang telah ia buat—keputusan untuk terus memperjuangkan hubungan dengan Aidan.

Di rumah, suasana terasa berat. Orang tuanya sudah menunggu dengan ekspresi serius. Sejak Sheilla mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan, mereka semakin menekannya untuk memilih jalur hidup yang mereka inginkan. “Sheilla, kami ingin kamu fokus pada masa depanmu,” kata ibunya dengan nada penuh harap. “Ada banyak peluang bagus yang bisa kamu ambil. Kami sudah mengatur pertemuan dengan beberapa calon universitas.”

Sheilla merasa tertekan. Ia tahu orang tuanya hanya ingin yang terbaik, tetapi hatinya bergetar memikirkan Aidan. “Ibu, aku… aku ingin membahas pilihan ini dengan lebih terbuka. Aku tidak hanya ingin mengikuti keinginan orang lain,” ujarnya, berusaha mempertahankan ketenangan.

Ayahnya menyela, “Ini bukan tentang mengikuti keinginan orang tua, Sheilla. Ini tentang masa depanmu. Kami ingin kamu sukses dan tidak terjebak dalam hubungan yang bisa mengganggu tujuanmu.”

Kata-kata itu menyentuh sisi sensitif dalam diri Sheilla. Ia merasakan ketegangan di antara apa yang diinginkan orang tuanya dan apa yang diinginkannya sendiri. “Tapi… Aidan adalah bagian dari hidupku. Aku tidak bisa begitu saja meninggalkannya hanya untuk mengejar sesuatu yang belum pasti,” jawabnya, suaranya bergetar.

Orang tuanya saling bertukar pandang, jelas terlihat bahwa mereka tidak setuju. “Sheilla, kamu harus berpikir jernih. Cinta itu indah, tetapi kita hidup di dunia nyata. Ada konsekuensi dari setiap keputusan,” kata ibunya, nada suara mulai meninggi.

Sheilla merasakan ketidakberdayaan yang mendalam. Ia tidak ingin berkonflik dengan orang tuanya, tetapi di sisi lain, hatinya tak bisa dipisahkan dari Aidan. Setiap kali dia memikirkan mereka, kenangan indah dan harapan akan masa depan bersama membanjiri pikirannya. “Aku berjanji akan tetap fokus pada pendidikan, tetapi aku juga ingin Aidan ada dalam hidupku. Mungkin kita bisa melakukannya secara bersamaan,” katanya, berusaha menawarkan solusi.

 

Ayahnya menggelengkan kepala. “Kamu tidak bisa menjalani dua kehidupan sekaligus. Jika kamu benar-benar ingin mengejar pendidikan, kamu harus mengambil langkah tegas. Hubungan yang tidak pasti hanya akan mengalihkan perhatianmu.”

Sheilla merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya. “Tapi aku merasa Aidan adalah orang yang tepat untukku! Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia,” ujarnya, suara mulai pecah.

“Ibu dan Ayah menginginkan yang terbaik untukmu,” kata ibunya lembut, tetapi tetap tegas. “Kamu bisa memiliki cinta, tetapi prioritasmu harus pada pendidikanmu. Kami tidak ingin kamu menyesal di kemudian hari.”

Malam itu, setelah perdebatan yang panjang, Sheilla terbaring di tempat tidurnya, merasa hancur. Di satu sisi, ia ingin membahagiakan orang tuanya dan mengikuti jejak yang mereka inginkan. Namun, di sisi lain, cinta dan harapannya untuk masa depan bersama Aidan terus membara.

Keesokan harinya, dia memutuskan untuk menghubungi Aidan. Ia merasa perlu berbagi tentang tekanan yang dihadapinya. “Aidan, aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Orang tuaku semakin mendesakku untuk memilih jalan hidup mereka,” ungkapnya saat mereka terhubung lewat telepon.

“Aku mengerti, Sheilla. Ini pasti sulit,” kata Aidan dengan nada empati. “Tapi ingat, kamu memiliki hak untuk memilih jalanmu sendiri. Kita tidak bisa membiarkan orang lain mengatur hidup kita.”

Sheilla merasa terhibur oleh dukungan Aidan. “Tapi bagaimana jika ini merusak hubunganku dengan mereka?” tanyanya, ragu. “Mereka sangat menginginkan aku mengikuti pendidikan yang mereka pilih.”

“Aku tidak ingin kamu memilih antara aku dan orang tuamu. Ini tentang kebahagiaanmu,” Aidan menjawab. “Jika mereka mencintaimu, mereka akan mengerti pilihan yang kamu buat, asal kamu bisa menjelaskannya dengan jujur.”

Percakapan itu memberikan Sheilla kekuatan baru. Ia menyadari bahwa, pada akhirnya, kebahagiaan dan masa depannya adalah tanggung jawabnya sendiri. “Aku akan berbicara dengan mereka lagi. Aku ingin menjelaskan betapa pentingnya Aidan bagiku, dan aku ingin mereka mengerti kenapa aku memilih jalan ini,” tegasnya.

Setelah mengakhiri panggilan, Sheilla merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu jalan di depan mungkin penuh rintangan, tetapi dengan keberanian untuk menghadapi konsekuensi dari keputusannya, ia percaya bahwa ia bisa menemukan cara untuk menyatukan kedua dunia dalam hidupnya. Kembali ke meja belajarnya, ia menyiapkan diri untuk berjuang—untuk cinta dan untuk masa depannya.

Tidak ada komentar untuk "CINTA TERHALANG, BAB 17"