CINTA TERHALANG, BAB 16

 Bab 16: Pertemuan Rahasia

Hari yang dinantikan tiba. Aidan dan Sheilla telah sepakat untuk bertemu secara rahasia di sebuah taman kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rindang. Taman itu menjadi tempat pelarian bagi mereka, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan masalah yang membebani pikiran mereka. Di sinilah mereka berharap dapat merasakan kembali kehangatan cinta yang sempat terpisah oleh jarak dan waktu.

Saat Aidan tiba, ia melihat Sheilla sudah menunggu di bangku kayu, wajahnya tersenyum meski matanya tampak sedikit berkaca-kaca. Jantungnya berdebar saat melangkah mendekati perempuan yang sangat dicintainya itu. “Sheilla,” panggilnya lembut. Saat Sheilla menoleh, senyum di wajahnya seolah menghangatkan seluruh suasana.

“Hi, Aidan,” jawabnya, suara lembut yang penuh harap. Mereka saling duduk di bangku, berhadapan. Di sekeliling mereka, burung-burung berkicau, dan angin berhembus sepoi-sepoi, menambah suasana damai. Namun, di dalam hati masing-masing, ada campuran antara bahagia dan sedih.

“Terima kasih sudah mau datang,” kata Aidan, mencoba memecah keheningan. “Aku sangat merindukanmu.”

“Aku juga merindukanmu,” jawab Sheilla, dan ia menghela napas dalam-dalam. “Tapi… aku merasa ada banyak yang harus kita bicarakan.”

Aidan mengangguk, merasakan beratnya topik yang akan dibahas. “Kita harus jujur tentang perasaan kita. Tentang apa yang ingin kita lakukan ke depan,” katanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

 

Mereka saling menatap, dan Sheilla merasa ada ketegangan di udara. “Aku ingin kita membahas masa depan,” ungkap Sheilla. “Tapi aku juga merasa takut. Takut akan apa yang akan terjadi.”

“Begitu juga aku,” Aidan menjawab dengan nada serius. “Kita tahu ada banyak hal yang menghalangi kita. Situasi kita, keluarga kita, dan bahkan pilihan hidup masing-masing.”

“Ya, dan kadang aku merasa seperti kita sedang mengejar sesuatu yang tidak bisa kita capai,” Sheilla melanjutkan, suara sedikit bergetar. “Aku ingin percaya bahwa kita bisa melewati semua ini, tetapi kadang-kadang, rasanya sangat berat.”

Aidan meraih tangan Sheilla, menggenggamnya lembut. “Kita harus percaya. Aku ingin berjuang untuk kita, Sheilla. Kita tidak bisa membiarkan apapun menghentikan kita.”

Mata Sheilla berbinar, tetapi ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan. “Apa kita benar-benar bisa melakukan ini? Atau apakah kita hanya memberi harapan kepada diri sendiri?” tanyanya, jujur.

Aidan terdiam sejenak, merenungkan setiap kata. “Aku tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak ingin kehilanganmu. Kita bisa mencoba. Kita bisa membuat rencana, meskipun itu mungkin tampak sulit,” katanya dengan penuh keyakinan.

Mereka melanjutkan percakapan, membahas harapan dan ketakutan masing-masing. Sheilla berbicara tentang keinginannya untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi, sementara Aidan mengungkapkan cita-citanya untuk memulai bisnis sendiri. Namun, di antara semua rencana itu, ada satu pertanyaan besar yang menggelayuti pikiran mereka: apakah mereka akan mampu melakukannya bersama?

“Jika kita harus terpisah, aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu mendukungmu dari jauh,” kata Aidan, menatap mata Sheilla dengan penuh perhatian.

“Aku juga akan melakukan hal yang sama untukmu. Tapi rasanya sulit sekali membayangkan hidup tanpa kehadiranmu,” Sheilla mengaku, suara penuh emosi.

Aidan merasakan beban yang sama. “Kita harus berani mengambil langkah, apapun itu. Cinta kita layak diperjuangkan.”

Mereka duduk dalam keheningan sejenak, membiarkan pikiran dan perasaan mengendap. Setiap detik terasa berharga, tetapi juga menyakitkan. Di tengah kebersamaan itu, Aidan mengeluarkan amplop dari sakunya. Ia meraih tangan Sheilla dan memberikan surat yang ditulisnya.

“Ini untukmu,” katanya. “Aku berharap surat ini bisa menjelaskan semua yang mungkin sulit untuk diungkapkan secara langsung.”

Sheilla menerima surat itu dengan tangan gemetar. Ia melihat Aidan dengan rasa terima kasih yang mendalam. “Terima kasih, Aidan. Aku akan membacanya. Mungkin surat ini bisa menjadi panduan untuk kita.”

Malam mulai menjelang, dan lampu taman mulai menyala. Keduanya tahu bahwa pertemuan ini adalah langkah penting, meskipun mungkin tidak memberikan semua jawaban yang mereka cari. Mereka berjanji untuk tidak menganggap perpisahan sebagai akhir, melainkan sebagai langkah menuju perjalanan yang lebih besar.

Saat mereka berjalan pulang, tangan mereka saling menggenggam, memberi harapan dan keyakinan bahwa meskipun dunia di luar sana penuh tantangan, cinta mereka akan selalu menjadi cahaya yang memandu. Di dalam hati mereka, tersimpan harapan untuk masa depan yang lebih cerah, meskipun tidak ada kepastian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tidak ada komentar untuk "CINTA TERHALANG, BAB 16"