CINTA TERHALANG, BAB 11
Bab 11: Perpisahan Sementara
Sheilla berdiri di depan cermin, menatap bayangannya yang
tampak suram. Matanya penuh dengan air mata yang tertahan, mencerminkan rasa
sakit yang dalam. Pikirannya berputar, mengingat momen-momen indah bersama
Aidan. Cinta mereka begitu kuat, tetapi di sisi lain, ada tanggung jawab yang
tak bisa diabaikannya. Keluarganya selalu mengajarkan bahwa keluarga adalah
segalanya, dan saat ini, Sheilla merasa terjebak dalam pilihan yang sulit.
Hari itu, saat mereka duduk berdua di taman, Aidan tampak
ceria. Dia membahas rencana-rencana masa depan mereka dengan penuh semangat.
Namun, di dalam hati Sheilla, ada kepingan-kepingan yang hancur. Dia tidak bisa
mengabaikan desakan keluarganya, terutama setelah percakapan tegang dengan
ibunya. “Sheilla, kami ingin yang terbaik untukmu. Aidan bukan pilihan yang
tepat,” ujar ibunya dengan nada serius. Kalimat itu terus terngiang di
telinganya, seperti lagu sedih yang tak kunjung berhenti.
“Kenapa kamu tampak jauh, She?” tanya Aidan saat itu,
menyadari perubahan dalam dirinya. Sheilla hanya tersenyum pahit, mencoba
menyembunyikan kekacauan yang melanda hatinya. Dia tidak ingin Aidan merasakan
beban pikirannya, tetapi semakin lama, semakin sulit untuk berpura-pura.
Setelah pertemuan itu, Sheilla memutuskan untuk memberi
Aidan jarak. Dia merasa bahwa jika terus bersama, dia akan semakin terseret
dalam perasaannya yang mendalam. Namun, keputusan itu bukanlah sesuatu yang
mudah. Setiap langkah menjauh terasa seperti melukai dirinya sendiri. Dia tidak
ingin kehilangan Aidan, tetapi di sisi lain, dia tahu bahwa keluarganya tidak
akan pernah merestui hubungan ini jika dia tidak mengambil langkah tegas.
Malam harinya, Sheilla duduk di tempat tidur, menggenggam
foto mereka berdua yang diambil beberapa bulan lalu. Senyuman mereka tampak tulus,
penuh kebahagiaan yang sekarang terasa sangat jauh. Dia merindukan momen-momen
itu, tetapi dia juga tahu bahwa dunia di luar sana menuntutnya untuk memilih.
Dia menghapus air mata yang mengalir di pipinya, berusaha menguatkan diri.
Keesokan harinya, Sheilla memutuskan untuk berbicara dengan
Aidan. Mereka bertemu di kafe kecil yang menjadi tempat favorit mereka.
Atmosfer di sana penuh dengan aroma kopi dan pastry yang menggiurkan, tetapi
suasana di hati Sheilla terasa sangat berbeda. Dia memesan secangkir teh,
sementara Aidan memilih cappuccino dengan senyuman yang tak mengubah
ekspresinya.
Saat Aidan mulai berbicara tentang rencananya ke depan,
Sheilla tahu sudah saatnya untuk mengungkapkan perasaannya. “Aidan,” suaranya
bergetar, “aku perlu jujur padamu.” Aidan menghentikan bicaranya dan
menatapnya, matanya penuh perhatian. “Ada hal yang harus kita bicarakan,”
lanjutnya, berusaha untuk tidak terisak.
Aidan mengangguk, tampak serius. “Apa yang terjadi, She?”
“Ini tentang kita… Aku merasa perlu menjauh,” katanya pelan.
Jarak kata-katanya membuat hatinya nyeri. Dia bisa melihat ekspresi Aidan
berubah, dari perhatian menjadi kebingungan. “Aku mencintaimu, tapi keluargaku
tidak merestui kita. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian ini.”
Mata Aidan membulat, dan Sheilla bisa merasakan kehampaan
yang menyelimuti mereka. “Tapi kita bisa melewati ini bersama, kan?” dia
bertanya, suaranya penuh harapan. Namun, Sheilla tahu, semua itu tidak semudah
yang diharapkan.
“Aku ingin, Aidan. Tapi aku juga tidak ingin membuat
keluargaku kecewa. Mereka adalah segalanya bagiku,” jawab Sheilla, suaranya
hampir tidak terdengar. Air mata kembali mengalir, dan dia menunduk, tidak
sanggup melihat reaksi Aidan.
“Aku tidak mengerti. Kenapa harus memilih?” Aidan terlihat
terluka, dan itu menghancurkan hati Sheilla. Dia ingin menghibur Aidan, tetapi
kata-kata tidak kunjung keluar. “Ini perpisahan sementara, Aidan. Aku perlu
waktu untuk meresapi semuanya,” lanjutnya dengan suara yang penuh ketegangan.
Aidan terdiam, hanya menatapnya tanpa berkata. Dalam
keheningan itu, Sheilla bisa merasakan jalinan cinta mereka yang mulai
melonggar. Dia tahu ini adalah keputusan yang benar, meskipun sangat
menyakitkan.
Saat mereka berpisah di depan kafe, Sheilla merasa seolah
bagian dari dirinya telah hilang. “Aku akan selalu mencintaimu,” ucapnya,
berusaha tersenyum meski hatinya remuk. “Dan aku berharap kita bisa bertemu
lagi di waktu yang lebih baik.”
Tidak ada komentar untuk "CINTA TERHALANG, BAB 11"
Posting Komentar