PEJUANG SUBUH, Bab 19: Mimpi Besar

 

Bab 19: Mimpi Besar

"Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang berbuat baik."
(QS. At-Taubah: 120)

Tiga tahun telah berlalu sejak kepergian Hana. Masjid Al-Hikmah masih berdiri di tempat yang sama — namun jiwanya kini berbeda. Setiap Subuh, saf tak pernah kosong. Selalu ada wajah baru. Selalu ada yang datang dengan mata masih merah, tapi hati yang mulai tercerahkan.

Arkan kini tak lagi seorang mahasiswa biasa. Bersama Ayyub, ia mendirikan sebuah tempat sederhana bernama Rumah Subuh — bukan pesantren formal, tapi ruang bagi anak-anak dan remaja untuk belajar shalat, Qur’an, dan semangat bangun sebelum fajar.

Rumah itu berdiri di tanah wakaf kecil tak jauh dari masjid. Bangunannya hanya terdiri dari satu aula, beberapa kamar belajar, dan mushola kecil. Tapi dari sinilah benih generasi bangkit — dengan jiwa-jiwa yang mengenal Allah dari waktu paling sunyi: Subuh.

Setiap pagi, Arkan menyambut anak-anak yang datang dengan senyum. Ada yang masih mengantuk, ada yang tertawa, ada pula yang seperti Hana: kecil, tenang, dan bersinar.

Faiz — yang dulu hanya anak SMP pemalu — kini menjadi pengajar tetap untuk anak-anak baru. Rafi mencetak modul belajar yang kini dikirim ke beberapa kampung di luar kota. Amir bahkan membuat podcast berjudul “Subuh Itu Keren”, yang kini diikuti ribuan pendengar muda.

Ayyub? Ia menyelesaikan hafalan 30 juz-nya, dan kini sedang menulis buku berjudul “Subuh Menumbuhkan”.

Dan Arkan... Ia tetap hadir di saf pertama. Tak pernah menghilang. Tak pernah merasa sudah cukup.

Suatu hari, saat duduk di depan mushola, ia menulis:

“Dulu aku berjuang melawan kantuk. Sekarang aku berjuang menjaga cahaya agar tetap menyala. Dulu aku bangun untuk diri sendiri. Sekarang aku bangun agar orang lain juga terbangun.”

Ia menatap Rumah Subuh — kini dipenuhi tawa anak-anak, gemuruh semangat, dan lantunan Al-Qur’an.
Mimpi itu... telah nyata

BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar untuk "PEJUANG SUBUH, Bab 19: Mimpi Besar"