PEJUANG SUBUH, Bab 8: Hana si Cahaya Kecil
Bab 8: Hana si Cahaya Kecil
"Sesungguhnya orang-orang yang sabar akan diberikan pahala
tanpa batas."
(QS. Az-Zumar: 10)
Pagi
itu, masjid Al-Hikmah sedikit lebih ramai dari biasanya. Udara masih dingin,
namun langit tampak bersih setelah hujan semalam. Arkan tiba lebih awal dari
biasanya. Ia ingin lebih banyak waktu untuk tilawah sebelum Subuh dimulai. Saat
ia masuk ke masjid, matanya langsung tertuju pada sosok mungil di saf wanita —
seorang gadis kecil dengan jilbab biru langit dan ransel yang terlalu besar
untuk tubuhnya.
Ia
duduk sendiri di pojok saf, membaca Al-Qur’an kecil dengan jari-jari mungilnya.
Wajahnya serius, matanya memancarkan ketenangan yang mengherankan untuk anak
seusianya. Arkan memperhatikannya sekilas, lalu melanjutkan dzikir.
Setelah
shalat, saat halaqah dimulai, gadis kecil itu tetap duduk, mengikuti setiap
penjelasan Ustadz Rahmat dengan seksama. Tak satu pun kalimat terlewat dari
perhatiannya. Ketika halaqah selesai, Arkan mendekati Ayyub dan berbisik,
“Siapa anak kecil itu? Kok Subuh-subuh sudah di masjid sendiri?”
Ayyub
tersenyum, lalu menjawab pelan, “Namanya Hana. Dia tinggal di dekat pasar. Anak
yatim. Ibunya jualan sayur. Setiap Subuh dia datang sendiri ke sini, tanpa
disuruh. Katanya, dia ingin menjadi sahabat malaikat Subuh.”
Arkan
menoleh lagi. Hana kini sedang membereskan mushaf dan merapikan sajadah kecil
miliknya. Ia tampak begitu tenang, dewasa dalam sikap meski tubuhnya kecil.
"Sahabat malaikat Subuh?" batin Arkan. Ucapan
yang begitu indah keluar dari bibir seorang anak.
Keesokan
harinya, Arkan tiba sedikit lebih pagi. Di gerbang masjid, ia mendapati Hana
sedang menunggu. Ia berdiri sambil memeluk mushafnya, sesekali mengusap lengan
karena kedinginan. Tanpa ragu, Arkan mendekatinya.
“Hana,
ya?” tanyanya lembut.
Hana
mengangguk sopan. “Iya, Kak.”
“Kok
bisa semangat banget ke masjid tiap Subuh? Bahkan orang dewasa aja banyak yang
malas.”
Hana
menatap langit yang mulai cerah, lalu berkata pelan, “Karena ayah Hana dulu
bilang... malaikat itu mencatat nama orang-orang yang hadir Subuh. Hana pengen
ada di daftar itu, Kak.”
Jawaban
polos itu membuat dada Arkan sesak. Ia ingin menangis — bukan karena sedih,
tapi karena malu. Ia, pemuda dewasa, pernah berjuang keras hanya untuk bangkit
dari tempat tidur. Tapi seorang anak kecil, dengan semua keterbatasannya, hadir
lebih awal dan lebih siap dari siapa pun.
Sejak
saat itu, Arkan dan Ayyub mulai memperhatikan Hana lebih dekat. Mereka
bergantian memastikan ia aman pulang dan kadang membawakan roti kecil atau susu
hangat untuknya. Tapi Hana tak pernah minta apa pun. Ia hanya ingin berada di
masjid, membaca Al-Qur’an, dan mendengar ayat-ayat Allah.
Suatu
pagi, hujan turun deras. Masjid hampir kosong, hanya beberapa jamaah tetap yang
hadir. Namun di saf wanita, Hana tetap hadir. Bajunya basah, tapi senyumnya
tidak luntur.
Ustadz
Rahmat yang melihatnya langsung mendekat, “Hana, kenapa hujan-hujanan? Bukannya
lebih baik istirahat di rumah?”
Hana
menjawab pelan, “Hana takut, kalau hari ini gak datang, nama Hana gak dicatat
lagi di daftar malaikat...”
Air
mata menggenang di mata Arkan saat mendengar itu. Hujan deras tak seberapa
dibandingkan dengan api semangat yang membakar jiwa gadis kecil ini.
Beberapa
minggu berlalu. Komunitas Pejuang Subuh mulai menjadikan Hana sebagai simbol
semangat mereka. Ayyub bahkan membuatkan stiker dengan gambar siluet seorang
anak kecil dan tulisan:
“Jika Hana bisa, apa alasan kita?”
Stiker
itu ditempel di pintu masjid, di ponsel, di tas, bahkan di kamar para anggota.
Hana tak pernah tahu dirinya menjadi inspirasi banyak orang. Ia hanya melakukan
apa yang ia cintai.
Namun
di balik semangat itu, ada sesuatu yang tak disadari banyak orang.
Hana
mulai sering batuk-batuk. Pipinya pucat. Ibunya datang ke masjid suatu hari,
mendekati Ustadz Rahmat dengan air mata yang tertahan.
“Ustadz...
Hana sejak kecil memang lemah. Dokter bilang, jantungnya lemah. Tapi dia selalu
maksa bangun, katanya... takut malaikat kecewa.”
Hati
semua orang yang mendengar berita itu serasa ditusuk. Di balik senyum kecil
itu, ternyata Hana menyimpan perjuangan yang tak kalah berat.
Malam
itu, Arkan duduk termenung di kamar. Di depannya, foto Hana yang diam-diam
diambil Ayyub dan dicetak. Dalam foto itu, Hana tersenyum sambil memegang
mushafnya erat.
Arkan membacakan doa:
"Ya Allah... jaga anak kecil ini. Jika Kau berkenan,
panjangkan usianya. Tapi jika takdir berkata lain, maka catatlah setiap
Subuhnya sebagai amalan yang menyelamatkannya di akhirat."
Ia
sadar, terkadang cahaya paling terang datang dari tempat yang tak disangka.
Bukan dari mimbar tinggi, bukan dari Ustadz ternama, tapi dari seorang gadis
kecil yang tak ingin tertinggal dalam barisan sahabat malaikat.
Dan sejak saat itu, setiap kali semangat para pejuang mulai meredup, mereka hanya perlu mengingat Hana — cahaya kecil yang mengajarkan bahwa cinta kepada Allah tak perlu menunggu dewasa.
Tidak ada komentar untuk "PEJUANG SUBUH, Bab 8: Hana si Cahaya Kecil"
Posting Komentar