PEJUANG SUBUH, Bab 7: Dingin yang Menusuk


Bab 7: Dingin yang Menusuk

"Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan."
(QS. Al-Insyirah: 6)

Subuh itu datang berselimut badai. Angin kencang menggoyang pepohonan, gerimis dingin mengguyur bumi, dan langit gelap menutup bulan sepenuhnya. Jam menunjukkan pukul 04.10. Suara alarm berdering bersahut-sahutan di kamar Arkan. Namun hari ini terasa berbeda.

Dingin merasuk lebih dalam dari biasanya. Bahkan selimut tebal pun tak mampu menghangatkan tubuhnya. Matanya terbuka perlahan, tapi tubuhnya berat. Di luar, suara angin menggema menakutkan, membuat jendela bergetar.

“Subuh hari ini... berat sekali,” gumamnya dalam hati.

Tapi kemudian, seperti pagi-pagi sebelumnya, suara kecil dalam hatinya menyapa:

"Kalau mudah, semua orang akan melakukannya. Tapi yang bangkit hari ini... akan dicatat sebagai pejuang."

Arkan menatap langit-langit kamar. Lalu, seperti biasa, ia berbisik:

“Bismillah.”

Dengan segenap tenaga, ia bangun. Kakinya menyentuh lantai yang terasa seperti es. Ia menggigil saat membuka pintu kamar mandi, dan air wudhu yang menyentuh kulitnya seperti pedang dingin yang mengiris.

Tapi ia bertahan. Ia tahu, ini bukan tentang kenyamanan — ini tentang ketundukan.

Di masjid, suasana masih sepi ketika Arkan tiba. Hanya suara angin yang bersiul di sela-sela genteng. Namun di dalam, cahaya lampu sudah menyala lembut. Ia menyangka akan menjadi yang pertama — tapi ternyata, Ayyub sudah duduk di saf depan, bersedekap, wajahnya menunduk dalam dzikir.

“Masya Allah, kamu datang juga,” ujar Ayyub sambil tersenyum, napasnya terlihat mengembun di udara.

“Kalau cuma ngandelin semangat, pasti kalah,” jawab Arkan. “Tapi kalau niatnya karena Allah, insya Allah sampai.”

Mereka berdua saling menepuk pundak. Tak banyak kata, hanya kehangatan persaudaraan dalam perjuangan yang sama.

Satu per satu, anggota komunitas mulai datang. Rafi mengenakan jaket tiga lapis. Amir datang dengan sepatu yang masih basah terkena genangan. Bahkan si kecil Faiz — siswa SMP yang baru bergabung minggu lalu — datang dengan jas hujan.

Masjid itu perlahan terisi. Tidak penuh, tapi cukup untuk menghangatkan ruang dengan semangat.

Setelah shalat, Ustadz Rahmat berdiri dan berbicara dengan suara yang tenang, meski tubuhnya sedikit menggigil.

“Pagi ini kita diuji dengan dingin. Tapi justru karena beratnya itu, nilai kita meningkat di sisi Allah.”

Beliau lalu membacakan hadits:

"Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah Isya dan Subuh. Andaikan mereka tahu pahala yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Semua mendengarkan dengan serius. Arkan menatap wajah-wajah di sekitarnya — meski baju mereka basah, tangan mereka membeku, namun mata mereka bersinar.

Ustadz melanjutkan, “Siapa yang hadir hari ini, saat banyak orang memilih tetap di balik selimut, insya Allah dicatat sebagai yang benar-benar mencintai Allah.”

Setelah kajian, mereka tak langsung pulang. Para anggota komunitas duduk melingkar, saling bercerita bagaimana mereka berhasil bangkit pagi itu.

Amir tertawa, “Gue tadi hampir nyerah, Bro. Tapi terus ingat: tidur itu enak... tapi neraka lebih panas.”

Faiz, dengan suara pelan, berkata, “Aku pikir, mungkin Allah kasih cuaca kayak gini biar kita bisa naik level.”

Rafi menambahkan, “Subuh hari ini bikin gue mikir... Kalau kita bisa ngalahin rasa dingin ini, kenapa kita gak bisa ngalahin godaan lain?”

Percakapan itu berlangsung hangat. Ada canda, ada tawa, tapi semuanya mengarah pada satu titik: semangat untuk terus bertahan.

Minggu itu, mereka sepakat menantang diri: siapa pun yang hadir lima kali berturut-turut di Subuh meskipun cuaca buruk, akan mendapat hadiah sederhana dari komunitas — bukan karena duniawi, tapi sebagai bentuk apresiasi dan penyemangat.

Dan yang lebih penting: mereka menulis nama-nama pejuang itu di dinding belakang masjid, di atas banner bertuliskan:

"Saksi Fajar — Mereka yang Bangkit Saat Dunia Tertidur"

Nama Arkan tertulis paling atas. Tapi ia tidak sombong. Ia tahu, hanya Allah yang benar-benar melihat siapa yang tulus dan siapa yang hanya sekadar hadir.

Hari-hari berikutnya, dingin masih terasa. Tapi masjid tak lagi sepi.
Komunitas Pejuang Subuh tetap hadir. Bahkan semakin erat. Karena mereka tahu, dalam dingin, iman bisa tumbuh lebih kuat.
Dan dalam perjuangan, cinta kepada Allah menjadi lebih nyata.


Tidak ada komentar untuk "PEJUANG SUBUH, Bab 7: Dingin yang Menusuk"