PEJUANG SUBUH, Bab 5: Doa Seorang Ibu

 

Bab 5: Doa Seorang Ibu

Pagi itu, setelah Subuh berjamaah, Arkan memutuskan untuk tidak langsung pulang. Ia duduk di teras masjid, memandangi langit yang perlahan berganti warna dari kelam ke biru lembut. Udara masih dingin, tapi hangatnya iman perlahan menenangkan hatinya.

Sudah beberapa hari ia kembali berjuang menjaga Subuhnya. Walau sempat terjatuh karena begadang dan gim, kini Arkan merasa lebih kuat. Ia sadar, perjuangan ini tidak bisa dilalui sendiri — ia butuh Allah, sahabat, dan kekuatan dari dalam dirinya.

Pagi itu, pikirannya tertuju pada satu sosok yang tak pernah absen dalam hidupnya: Ibunya.


Di rumah, suasana masih sunyi saat Arkan membuka pintu. Aroma kayu manis dari dapur menyeruak, tanda ibunya sudah bangun lebih dulu dan sedang menyiapkan teh hangat.

“Sudah pulang, Nak?” sapa ibunya lembut, tanpa menoleh dari tungku.

“Iya, Bu. Alhamdulillah,” jawab Arkan sambil duduk di kursi kayu dekat meja makan.

Ibunya meletakkan dua cangkir teh, lalu duduk di seberangnya. Wajahnya lelah, tapi damai. Usianya sudah hampir enam puluh, namun tak sekalipun beliau mengeluh. Arkan memandangi wajah itu sejenak, lalu berkata pelan, “Bu... maaf.”

Ibunya terdiam sesaat. “Kenapa, Nak?”

“Karena dulu aku sering abaikan Subuh. Sering tidur lagi meskipun Ibu sudah bangunkan. Bahkan pernah aku marah-marah.”

Senyum ibunya merekah. “Kamu tahu, Nak... setiap Ibu bangunkan kamu, Ibu tak sekadar mengetuk pintu kamar. Ibu juga mengetuk langit dengan doa.”

Arkan menunduk, air matanya menetes. Ia ingat betapa banyak pagi yang ia sia-siakan. Suara lembut ibunya, yang memanggil dari depan kamar, sering ia abaikan. Bahkan tak jarang ia membalas dengan keluhan, “Nanti aja, Bu. Masih ngantuk.”

Padahal di saat ia masih terlelap, ibunya sudah menyiapkan air hangat, membuatkan sarapan, lalu menunggu dengan sabar di depan pintu kamar, hanya agar anaknya mau bangun dan melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah.

“Ibu gak pernah capek bangunin aku?” tanya Arkan lirih.

Ibunya tersenyum, memegang tangannya. “Doa ibu nggak akan habis. Selama kamu masih hidup, Ibu akan terus minta sama Allah supaya kamu jadi anak yang taat dan bahagia dunia akhirat.”


Hari itu, Arkan masuk ke kamar dan membuka rak kecil di pojok dinding. Ia mulai merapikan buku-buku yang sudah lama tak tersentuh. Di balik tumpukan, ia menemukan sebuah buku doa yang lusuh.
Di dalamnya, terselip sebuah kertas kecil bertuliskan tangan ibunya:

"Ya Allah, jadikan anakku pencinta Subuh, pembela kebenaran, dan hamba-Mu yang shalih. Meski ia tertidur hari ini, bangunkan ia dengan cahaya hidayah-Mu."

Tangan Arkan gemetar. Ia menutup mulut, menahan isak yang semakin deras. Doa itu ditulis dengan tinta sederhana, tapi maknanya begitu dalam.
Ia memeluk buku itu erat, seolah ingin menyerap setiap huruf yang tertulis.

Arkan menatap ke luar jendela. Burung-burung kecil terbang melintasi langit. Angin sejuk berhembus perlahan. Di saat itu, ia tahu: segala kekuatan yang ia punya hari ini adalah hasil doa yang dipanjatkan dalam diam oleh seorang ibu yang tak pernah lelah.


Malam harinya, Arkan duduk di meja belajar dengan Qur’an terbuka. Ia mencoba membaca beberapa ayat sambil mengingat tafsir yang diajarkan Ustadz Rahmat.
Ibunya datang membawa segelas susu hangat. Ia duduk di tepi tempat tidur.

“Kamu belajar, Nak?” tanya ibunya.

“Iya, Bu. Aku mau coba lebih serius sekarang.”

Ibunya tersenyum bangga. “Ibu tahu, Allah mendengar doa Ibu.”

Arkan bangkit, lalu mendekati ibunya. Ia mencium tangan yang mulai keriput itu, lalu bersandar di pangkuannya seperti dulu saat masih kecil.

“Bu, doain terus ya... supaya aku bisa jadi pejuang Subuh, sampai akhir.”

Ibunya membelai kepalanya, lalu menengadah.
“Ya Allah, kuatkan kaki anakku untuk melangkah kepada-Mu. Lapangkan hatinya agar tak berpaling dari-Mu. Jaga langkahnya, bahkan ketika aku sudah tak bisa menjaganya lagi.”

Dan malam itu, Arkan tidur dengan damai.
Di pelukannya, Qur’an kecil dan secarik doa dari ibu.
Di hatinya, tekad baru untuk terus melangkah. Bukan hanya karena dirinya... tapi karena doa yang menyertainya sejak ia masih tertidur lelap dalam buaian.

Tidak ada komentar untuk "PEJUANG SUBUH, Bab 5: Doa Seorang Ibu"