HANYA SATU PERSINGGAHAN, BAB 13-15

 Bab 13: Pertemuan dengan Fikri

Hari-hari Zahra di perusahaan Fikri berjalan semakin lancar. Setelah beberapa minggu bekerja, ia mulai merasa semakin nyaman dengan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Setiap hari, ia merasa lebih banyak belajar dan berkembang, baik dalam keterampilan teknis maupun dalam aspek profesional lainnya. Fikri, sang pemilik perusahaan, bukan hanya seorang bos yang memberikan arahan, tetapi juga seorang mentor yang sabar dan bijaksana. Zahra mulai menghargai setiap percakapan yang mereka lakukan, terutama ketika Fikri memberikan masukan atau berbagi pandangannya tentang berbagai hal. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai terasa. Zahra mulai mengenal Fikri lebih dekat, dan perasaan yang tumbuh dalam dirinya semakin sulit untuk diabaikan.

Fikri adalah sosok yang berbeda jauh dari Aidil. Sebelum bekerja di perusahaan Fikri, Zahra sempat mengenal Aidil, seorang pria yang pernah dekat dengannya di masa lalu. Aidil adalah tipe pria yang sangat ambisius, tegas, dan cenderung terburu-buru dalam segala hal. Karakternya yang keras dan kadang-kadang terlalu fokus pada pencapaian materi membuat Zahra merasa tertekan. Ia merasa bahwa hubungan dengan Aidil sering kali lebih mengarah pada persaingan dan pencapaian, bukan pada pemahaman atau keseimbangan. Zahra merasa terjebak dalam dinamika yang tidak sehat, yang akhirnya berakhir dengan perpisahan yang penuh dengan penyesalan.

Namun, Fikri membawa warna yang berbeda. Fikri tidak terburu-buru, tidak memaksakan kehendak, dan yang lebih penting, ia memiliki cara yang lebih tenang dan sabar dalam menjalani hidup. Setiap kali mereka berbicara, Fikri selalu memberikan ruang bagi Zahra untuk menyampaikan pendapat dan ide-idenya tanpa merasa dihakimi atau ditekan. Kehadiran Fikri terasa seperti angin sejuk yang membawa ketenangan, dan Zahra mulai merasakan ketertarikan yang tak terduga. Meskipun ia berusaha untuk tetap profesional, perasaan itu terus tumbuh tanpa bisa dihindari.

Suatu hari, setelah rapat besar mengenai kampanye pemasaran yang baru saja selesai, Fikri mengajak Zahra untuk makan siang bersama di luar kantor. Zahra sedikit terkejut dengan undangan tersebut, tetapi ia merasa ini adalah kesempatan untuk lebih mengenal Fikri secara pribadi. Mereka pergi ke sebuah restoran yang cukup tenang, jauh dari keramaian kantor. Di sana, mereka duduk berhadapan, menikmati makanan sambil berbicara lebih santai tentang berbagai hal.

"Zahra, kamu sudah cukup lama bekerja di sini. Bagaimana perasaanmu tentang proyek yang kita jalani?" Fikri memulai percakapan dengan cara yang ramah.

Zahra tersenyum, merasa senang karena Fikri begitu perhatian. "Saya merasa sangat diberi tantangan, Pak Fikri. Ini adalah kesempatan besar bagi saya untuk belajar lebih banyak tentang dunia pemasaran digital. Saya sangat senang bisa bekerja dengan tim yang solid seperti ini."

Fikri mengangguk, menyimak dengan seksama. "Saya senang mendengarnya. Kamu memiliki potensi besar, Zahra. Tidak hanya dalam hal pekerjaan, tetapi juga dalam cara kamu berpikir dan menghadapi setiap tantangan. Aku yakin kamu bisa mencapai banyak hal di sini."

Zahra merasa sedikit tersipu mendengar pujian tersebut. Ia tidak terbiasa mendapatkan perhatian seperti ini, terlebih dari seorang bos yang begitu bijaksana dan penuh pengertian. Namun, ia berusaha untuk tetap menjaga jarak profesional, meskipun hatinya sedikit berdebar.

"Terima kasih, Pak Fikri. Saya juga sangat terinspirasi oleh cara Bapak memimpin tim ini. Sepertinya Bapak selalu tahu kapan harus memberikan dorongan dan kapan harus memberi ruang bagi kami untuk berkembang," jawab Zahra, mencoba menjaga percakapan tetap ringan.

Fikri tersenyum, menatap Zahra dengan tatapan yang penuh kehangatan. "Aku percaya bahwa setiap orang memiliki kekuatan yang unik. Tugas saya sebagai pemimpin adalah menemukan kekuatan itu dan memberi ruang untuk tumbuh. Tidak ada yang harus tertekan dengan pekerjaan, semuanya harus dilakukan dengan hati yang ikhlas."

Zahra mengangguk setuju. Kata-kata Fikri begitu dalam dan mengena di hatinya. Ia merasa bahwa ini adalah hal yang sangat berbeda dibandingkan dengan apa yang pernah ia alami bersama Aidil. Dalam hubungan dengan Aidil, ia sering merasa tertekan untuk selalu mencapai lebih, untuk selalu tampil sempurna. Semua itu seakan-akan menjadi beban yang harus dipikulnya. Namun, dengan Fikri, ada rasa kedamaian yang mengalir begitu alami.

Saat makan siang berlanjut, mereka mulai berbicara tentang kehidupan pribadi masing-masing. Fikri, yang biasanya tampak sangat serius dan terfokus pada pekerjaannya, kini terlihat lebih santai dan terbuka. Ia mulai berbicara tentang keluarganya, tentang masa kecilnya yang penuh tantangan, dan bagaimana ia bisa mencapai titik ini dalam hidupnya. Zahra merasa semakin nyaman mendengarkan cerita Fikri. Ia merasa bahwa Fikri adalah sosok yang rendah hati, yang selalu berusaha belajar dari setiap pengalaman hidupnya, tanpa merasa sombong atau angkuh.

"Saya tahu pekerjaan ini bisa sangat menantang," kata Fikri, menyentuh topik yang lebih pribadi. "Tapi, saya percaya kita semua harus menemukan keseimbangan antara kerja keras dan waktu untuk diri sendiri. Saya tidak ingin tim saya hanya bekerja tanpa tujuan. Saya ingin mereka berkembang, bukan hanya sebagai profesional, tetapi juga sebagai individu yang bahagia."

Zahra tersenyum mendengar kata-kata itu. "Itu sangat bijaksana, Pak Fikri. Saya rasa banyak orang yang lupa tentang keseimbangan hidup ini. Kita terlalu fokus pada pekerjaan dan pencapaian, hingga lupa untuk merawat diri sendiri."

Fikri mengangguk, lalu mengubah topik pembicaraan. "Bagaimana dengan hidup pribadimu, Zahra? Apa yang kamu lakukan untuk merawat dirimu sendiri?"

Zahra sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia jarang membicarakan kehidupan pribadinya, terutama setelah banyak hal yang terjadi di masa lalu. Namun, ia merasa bahwa Fikri benar-benar tertarik untuk mengenalnya lebih dalam, bukan hanya sebagai karyawan, tetapi juga sebagai manusia. "Saya suka menghabiskan waktu dengan keluarga, terutama ibu saya. Selain itu, saya juga mulai lebih banyak merenung dan berdoa. Itu memberi ketenangan bagi saya."

Fikri tersenyum mendengar jawaban Zahra. "Itu bagus, Zahra. Hidup memang harus seimbang. Saya yakin kamu bisa menemukan keseimbangan itu, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadi."

Percakapan mereka berlanjut dengan lebih santai, tetapi Zahra mulai merasa ada kedekatan yang tumbuh antara mereka. Fikri bukan hanya seorang pemimpin yang bijaksana, tetapi juga seorang pria yang tampaknya sangat memahami arti kehidupan yang lebih luas. Zahra merasa terhubung dengan cara Fikri memandang dunia—dengan ketenangan, kedalaman, dan pengertian yang tulus.

Setelah makan siang, mereka kembali ke kantor. Zahra merasa pikiran dan hatinya sedikit lebih ringan. Percakapan itu memberi perspektif baru tentang bagaimana ia seharusnya menjalani hidup. Fikri, meskipun seorang pengusaha sukses, tidak terjebak dalam ambisi semata. Ia tahu bahwa hidup ini bukan hanya tentang apa yang kita capai, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalani perjalanan itu dengan hati yang tenang dan penuh makna.

Sejak pertemuan itu, Zahra mulai melihat Fikri dalam cahaya yang berbeda. Ia menyadari bahwa Fikri adalah seseorang yang bisa memberinya banyak hal—bukan hanya dalam hal pekerjaan, tetapi juga dalam cara memandang kehidupan. Meskipun ia masih berusaha menjaga jarak profesional, perasaan yang tumbuh dalam dirinya semakin sulit untuk disangkal. Fikri bukan hanya seorang bos yang bijaksana, tetapi juga seorang pria yang membuat Zahra merasa dihargai dan dipahami.

Zahra mulai berpikir, apakah ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional? Tetapi, ia juga menyadari bahwa ia harus berhati-hati. Perasaan itu, meskipun semakin kuat, harus dijaga dengan bijaksana, karena hidup profesional dan pribadi tidak selalu bisa dipisahkan dengan mudah


Bab 14: Ujian Kesabaran

Hari-hari Zahra di perusahaan Fikri semakin berkembang. Ia semakin nyaman dengan pekerjaannya dan merasa bahwa ia telah menemukan jalannya kembali. Fikri, sebagai bos dan mentor, tidak hanya membimbingnya dalam dunia profesional, tetapi juga memberinya banyak pelajaran berharga dalam hidup. Kehidupan pribadi Zahra juga mulai lebih seimbang. Ia banyak menghabiskan waktu bersama ibu, mendalami ibadah, dan berusaha menjaga ketenangan hatinya.

Namun, meskipun semuanya tampak berjalan dengan baik, ada satu hal yang mulai mengganggu ketenangannya—perasaan rindu dan keraguan yang tiba-tiba datang, seperti bayangan masa lalu yang tidak bisa dihindari. Aidil, pria yang pernah sangat berarti dalam hidupnya, mulai muncul kembali dalam pikirannya. Meskipun mereka sudah lama berpisah, kenangan indah dan pahit yang mereka alami bersama tetap membekas kuat dalam hati Zahra. Perasaan itu datang begitu tiba-tiba, seolah mengingatkan Zahra akan masa lalu yang tidak bisa ia lupakan begitu saja.

Hari itu, Zahra sedang duduk di ruang kerjanya, memeriksa email dan merencanakan strategi pemasaran untuk proyek terbaru. Namun, pikirannya entah bagaimana melayang ke masa lalu. Ia teringat akan Aidil—pria yang dulu penuh ambisi dan selalu ingin mengejar kesuksesan dengan cara apapun. Hubungan mereka pernah penuh dengan kebersamaan yang menghangatkan hati, tetapi pada akhirnya, semuanya hancur karena perbedaan dan konflik yang tak bisa diselesaikan.

Zahra menghela napas panjang. Ia berusaha fokus pada pekerjaannya, tetapi bayangan wajah Aidil, tawa mereka saat berbicara tentang impian masa depan, dan juga perpisahan yang menyakitkan itu, kembali menghantuinya. Rasa rindu yang ia rasakan tidak bisa dipungkiri. Terkadang, ia merindukan perasaan dicintai dan diperhatikan seperti dulu. Namun, ia tahu betul bahwa hubungan mereka tidak bisa diperbaiki lagi. Setiap kali ia memikirkan Aidil, ia juga ingat semua alasan yang membuat hubungan itu berakhir. Aidil, dengan segala ambisinya, selalu mengutamakan kesuksesan materi, sementara Zahra ingin hubungan yang lebih seimbang, yang didasarkan pada saling memahami dan mendukung satu sama lain.

Keraguan mulai muncul dalam hati Zahra. Apakah ia telah membuat keputusan yang benar dengan berpisah dari Aidil? Meskipun ia tahu bahwa hubungan itu penuh dengan ketegangan dan ketidakcocokan, ada kalanya perasaan kerinduan datang begitu saja, dan ia merasa seolah-olah ia telah kehilangan sesuatu yang penting dalam hidupnya. Hatinya mulai diliputi oleh pertanyaan: Apakah saya benar-benar siap untuk membuka hati lagi?

Zahra berusaha menenangkan diri. Ia tahu bahwa perasaan rindu ini adalah ujian—ujian kesabaran dan keteguhan hati. Kenangan dengan Aidil hanyalah bayangan masa lalu, yang tidak bisa mengubah kenyataan bahwa ia telah memilih jalan yang lebih baik untuk dirinya sendiri. Namun, setiap kali kenangan itu datang kembali, rasanya seperti ada bagian dari dirinya yang belum sepenuhnya bisa melepaskan apa yang pernah terjadi.

Di tengah keraguan yang menguasai hatinya, Zahra merasa ada sesuatu yang harus ia lakukan untuk membebaskan dirinya dari perasaan yang mengganggu itu. Ia memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. Ibu Fatimah selalu menjadi tempatnya untuk berbagi segala perasaan dan mendapatkan nasihat yang bijak. Ia tahu bahwa ibunya adalah sumber ketenangan yang selalu bisa memberikan perspektif yang lebih luas.

Malam itu, setelah makan malam, Zahra duduk bersama ibunya di ruang tamu. Ibu Fatimah terlihat tenang, seperti biasanya, dengan senyum lembut yang selalu membuat Zahra merasa nyaman. Setelah beberapa saat, Zahra mulai membuka pembicaraan.

"Ibu," Zahra memulai, suaranya sedikit ragu. "Aku merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran dan hatiku belakangan ini. Aku... aku merasa rindu pada Aidil."

Ibu Fatimah menatapnya dengan penuh perhatian, lalu meletakkan cangkir teh di tangannya. "Rindu itu wajar, Zahra. Terkadang kenangan indah memang datang kembali, bahkan setelah kita berusaha untuk melupakan. Tapi, ingatlah, bahwa perasaan itu hanyalah bagian dari perjalanan hidupmu. Kamu tidak perlu membiarkannya menguasai dirimu."

Zahra menunduk, berusaha mencerna kata-kata ibunya. "Tapi ibu, kadang aku merasa seolah-olah aku belum siap untuk melepaskan sepenuhnya. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang masih ingin kembali ke masa lalu, meskipun aku tahu itu tidak bisa terjadi lagi."

Ibu Fatimah menghela napas pelan, kemudian berkata dengan bijaksana, "Anakku, dalam hidup ini, kita selalu dihadapkan pada dua pilihan: untuk terus memandang ke belakang dan merindukan apa yang telah hilang, atau untuk menatap ke depan dan membuka hati untuk kesempatan baru. Terkadang, kita merasa sulit untuk melepaskan karena kita takut akan apa yang akan datang. Tapi kamu harus ingat, bahwa hidupmu adalah milikmu, dan hanya kamu yang bisa memilih jalannya."

Zahra meresapi setiap kata-kata ibunya. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan ibunya sangat benar. Rindu itu wajar, tetapi ia juga tahu bahwa untuk bisa melanjutkan hidup dengan penuh kedamaian, ia harus mampu melepaskan masa lalu dengan ikhlas. "Aku tahu, Bu. Tapi kenapa rasanya begitu sulit?"

Ibu Fatimah tersenyum lembut dan menggenggam tangan Zahra. "Karena, Zahra, kadang kita merasa bahwa bagian dari diri kita hilang ketika kita melepaskan sesuatu yang kita cintai. Tapi ingatlah, kamu bukanlah bagian dari masa lalu, kamu adalah diri yang terus berkembang, yang terus belajar dan tumbuh. Masa depanmu masih panjang, dan ada banyak hal indah yang menanti. Jangan biarkan rindu dan kenangan menghentikan langkahmu."

Zahra terdiam, mencoba memahami nasihat ibunya. Rasanya, setiap kata yang keluar dari mulut ibunya adalah obat bagi keraguan yang ia rasakan. Meski hatinya masih sedikit berat, ia tahu bahwa ia harus terus maju. Proses melepaskan memang tidak mudah, tetapi ia juga tahu bahwa untuk menjadi lebih baik, ia harus menghadapi dan melewati rasa sakit itu.

Setelah berbicara dengan ibunya, Zahra merasa sedikit lebih tenang. Ia menyadari bahwa perasaan rindu adalah bagian dari perjalanan hidup, tetapi ia tidak harus membiarkannya mengendalikan dirinya. Ia memiliki kendali atas hidupnya sendiri, dan ia tidak akan membiarkan masa lalu menghalangi langkahnya menuju masa depan.

Namun, ujian kesabaran Zahra belum selesai. Setiap kali ia merasa dekat dengan Fikri, bayangan Aidil kembali muncul. Setiap kali ia merasakan kebahagiaan baru dalam pekerjaannya, keraguan itu kembali datang, membuatnya bertanya-tanya apakah ia cukup siap untuk membuka hati lagi. Fikri adalah sosok yang sangat berbeda dari Aidil—pria yang tenang, bijaksana, dan penuh pengertian. Tetapi, meskipun perasaan terhadap Fikri semakin tumbuh, Zahra masih merasa takut akan kegagalan dan luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.

Zahra tahu bahwa ia harus belajar untuk lebih sabar dengan dirinya sendiri. Perasaan itu memang datang, tetapi ia harus belajar untuk tidak terjebak dalam kenangan. Ia harus memberi ruang bagi dirinya untuk tumbuh, untuk menerima bahwa masa lalu adalah bagian dari perjalanan hidupnya, tetapi tidak perlu mendominasi langkah-langkahnya ke depan.

Hari-hari berlalu, dan Zahra semakin memahami bahwa kesabaran adalah kunci untuk melanjutkan hidup dengan penuh kedamaian. Ia tidak harus buru-buru untuk melupakan masa lalu, tetapi ia harus belajar untuk menerima dan melangkah maju. Dengan sabar, ia mulai merasakan bahwa masa depan yang penuh harapan mulai terbuka lebar di hadapannya


Bab 15: Pilihan yang Sulit

Setelah berbulan-bulan mencoba menjalani hidup dengan lebih baik, Zahra merasa dirinya telah berada di tempat yang lebih stabil. Pekerjaan di bawah bimbingan Fikri berjalan lancar, dan ia mulai merasakan kedamaian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Kehidupan pribadinya juga semakin membaik, dengan lebih banyak waktu dihabiskan bersama ibunya dan meluangkan diri untuk beribadah dan berintrospeksi. Zahra merasa bahwa ia akhirnya menemukan dirinya kembali setelah lama terombang-ambing dalam kebingungannya.

Namun, semua ketenangan itu tiba-tiba terguncang ketika suatu sore, ponselnya bergetar. Zahra melihat nama yang muncul di layar ponselnya—Aidil. Jantungnya berdegup kencang. Sudah lama sekali ia tidak mendengar kabar dari pria itu. Ia tahu betul bahwa hubungan mereka sudah berakhir, dan meskipun hati Zahra telah belajar untuk melepaskan, kenangan bersama Aidil tetap menjadi bagian yang tak terhapuskan dalam hidupnya.

Dengan perasaan campur aduk, Zahra memutuskan untuk tidak mengangkat telepon itu. Namun, beberapa menit kemudian, sebuah pesan singkat masuk dari Aidil.

"Zahra, aku tahu kita sudah lama tidak berhubungan, tapi aku ingin berbicara denganmu. Aku ingin menjelaskan beberapa hal. Bisakah kita bertemu?"

Pesan itu seperti petir yang menyambar. Rasa rindu dan kebingungannya kembali muncul dengan cepat. Ada perasaan yang sulit dijelaskan—sebuah rasa ingin tahu, keraguan, dan keinginan untuk mendengar penjelasan dari Aidil. Namun, di sisi lain, Zahra tahu bahwa ia sudah melangkah jauh dari masa lalu, dan meskipun perasaan itu datang begitu mendalam, ia juga tidak ingin kembali ke titik yang pernah membuatnya terluka.

Setelah beberapa saat berpikir, Zahra akhirnya memutuskan untuk membalas pesan itu.

"Aku tidak tahu apa yang ingin kamu jelaskan, Aidil, tetapi aku rasa kita sudah lama berpisah dan aku tidak yakin jika ada hal yang perlu dibicarakan lagi. Aku sudah berusaha untuk melupakan semua yang terjadi."

Zahra menatap layar ponselnya, merasa sedikit lega setelah mengirimkan pesan itu. Namun, hatinya tetap dipenuhi dengan kecemasan yang mendalam. Apakah ini benar-benar keputusan yang tepat? Bisakah ia sepenuhnya melepaskan masa lalu tanpa pernah mendengarkan apa yang ingin Aidil katakan? Zahra pun tahu bahwa perasaan ini, meskipun ia ingin menguburnya, tidak bisa begitu saja hilang. Keraguan itu masih ada, menghantui setiap langkahnya.

Tidak lama setelah pesan itu dikirim, ponselnya kembali bergetar. Ada balasan dari Aidil yang membuat Zahra terkejut.

"Aku mengerti perasaanmu, Zahra. Aku tahu aku telah banyak menyakiti hatimu, tetapi aku hanya ingin kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Tolong, beri aku satu kesempatan untuk berbicara. Aku janji ini akan berbeda."

Zahra menarik napas panjang. Ini adalah pilihan yang sulit. Di satu sisi, ia merasa bahwa pertemuan itu bisa menjadi cara untuk menutup babak lama dalam hidupnya dengan baik, untuk mendengarkan penjelasan dan menenangkan hatinya. Namun, di sisi lain, ia merasa takut jika pertemuan itu hanya akan membuka luka lama dan membuatnya terjebak dalam kenangan yang telah ia coba tinggalkan.

Akhirnya, dengan hati yang berat, Zahra memutuskan untuk memberi Aidil kesempatan untuk berbicara. "Baiklah," balasnya, "kita bisa bertemu, tetapi hanya untuk mendengar apa yang ingin kamu katakan. Setelah itu, aku harap kita bisa saling menghormati pilihan masing-masing."

Setelah beberapa hari, mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang cukup tenang. Zahra merasa sedikit cemas menjelang pertemuan itu. Ia tahu bahwa ini adalah momen yang akan menguji keteguhan hatinya. Saat ia tiba di kafe, ia melihat Aidil sudah duduk di salah satu meja pojok, menunggu dengan wajah serius. Tidak ada lagi tawa riang yang pernah mereka bagikan, tidak ada lagi kehangatan yang dulu pernah mengisi hari-hari mereka. Sekarang, hanya ada dua orang yang terpisah oleh waktu dan perbedaan.

Aidil berdiri begitu Zahra mendekat. Wajahnya terlihat lebih matang, meski masih ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Zahra, terima kasih sudah memberi aku kesempatan untuk berbicara. Aku tahu aku telah banyak membuatmu terluka, dan aku menyesalinya. Aku... aku ingin minta maaf."

Zahra duduk di hadapannya, menatap Aidil dengan hati yang penuh keraguan. "Aidil, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Kamu sudah pergi begitu lama, dan aku telah berusaha untuk melanjutkan hidupku. Kenapa sekarang kamu ingin kembali?" tanya Zahra dengan suara yang sedikit bergetar.

Aidil menarik napas panjang. "Aku tahu aku tidak bisa mengubah masa lalu, Zahra. Aku tahu aku membuat kesalahan besar dengan mengejar ambisi yang terlalu tinggi dan mengabaikan perasaanmu. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Aku telah belajar banyak dari apa yang terjadi antara kita. Aku ingin memperbaiki semuanya, jika masih memungkinkan."

Zahra menatapnya dalam diam. Kata-kata itu terdengar begitu tulus, tetapi apakah itu cukup untuk membuatnya melupakan semua rasa sakit yang pernah ia alami? Ia teringat bagaimana hubungan mereka dulu selalu dipenuhi dengan ketegangan dan perbedaan yang tidak bisa diselesaikan. Aidil, dengan ambisi besar dan fokusnya pada kesuksesan pribadi, membuat Zahra merasa terabaikan dan tidak dihargai. Apakah hal itu bisa benar-benar berubah sekarang?

"Aidil," Zahra mulai, "aku tidak tahu apakah aku bisa kembali ke masa lalu itu. Aku sudah banyak berubah. Aku tidak lagi orang yang dulu. Aku telah belajar untuk lebih mencintai diriku sendiri dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Aku sudah berusaha untuk melupakan semua yang terjadi, dan aku pikir itu adalah keputusan terbaik untukku."

Aidil menundukkan kepala, seolah mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Zahra. "Aku mengerti, Zahra. Aku tidak ingin memaksamu untuk kembali padaku. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal, dan jika ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita, aku ingin mencoba."

Zahra merasa hatinya bergejolak. Dia tahu bahwa Aidil tidak bisa begitu saja menghapus semua luka lama dengan kata-kata. Semua yang telah terjadi—perpisahan mereka, ketegangan yang ada, dan luka-luka emosional yang ditinggalkan—tidak bisa sembuh hanya karena penyesalan. "Aku tahu kamu menyesal, Aidil," jawab Zahra dengan suara lembut, "tetapi itu tidak cukup untuk membuatku kembali. Aku harus memilih hidupku sendiri sekarang. Aku sudah menemukan kedamaian dalam hidupku, dan aku tidak bisa membiarkan masa lalu menguasai masa depanku."

Mata Aidil terlihat penuh penyesalan, tetapi dia mengangguk pelan. "Aku mengerti, Zahra. Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu menghargai apa yang pernah kita miliki."

Zahra menatap Aidil untuk terakhir kalinya, merasakan perasaan yang campur aduk. Ada rasa syukur karena bisa menutup bab itu dengan damai, tetapi juga ada sedikit perasaan kehilangan. "Terima kasih, Aidil, untuk semuanya. Semoga kamu menemukan kebahagiaanmu."

Dengan perasaan yang berat, tetapi juga lega, Zahra berdiri dan berjalan keluar dari kafe itu. Dia tahu bahwa keputusan yang diambilnya adalah yang terbaik, meskipun itu adalah pilihan yang sulit. Dalam hatinya, Zahra merasa bahwa ini adalah langkah terakhir untuk benar-benar melepaskan masa lalu dan membuka lembaran baru dalam hidupnya.

Saat dia berjalan pulang, hati Zahra terasa ringan. Mungkin, jalan ke depan memang tidak selalu mudah, tetapi dia tahu bahwa memilih untuk melanjutkan hidup adalah keputusan yang tepat. Sekarang, waktunya untuk membuka hati untuk masa depan yang lebih baik.


Tidak ada komentar untuk "HANYA SATU PERSINGGAHAN, BAB 13-15"