HANYA SATU PERSINGGAHAN, BAB. 1-3

Bab 1: Pertemuan Pertama

Matahari pagi itu menyinari perkarangan rumah besar keluarga Zahra. Hembusan angin membawa aroma bunga melati yang mekar di taman. Rumah itu penuh dengan hiruk pikuk suara keluarga besar yang datang dari berbagai kota untuk menghadiri acara pertemuan tahunan keluarga. Zahra, seorang gadis berusia 23 tahun, sibuk membantu ibunya di dapur, menata makanan yang akan disajikan.

"Zahra, tolong ambilkan piring tambahan di lemari!" seru ibunya dari ujung dapur.

"Iya, Bu," jawab Zahra sambil melangkah cepat menuju lemari. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru pastel yang serasi dengan sifatnya yang kalem dan tidak mencolok. Hari itu ia tidak menyangka hidupnya akan berubah.

Di ruang tengah, para tamu mulai berdatangan. Suara tawa dan obrolan akrab memenuhi ruangan. Anak-anak kecil berlarian, sementara para orang dewasa sibuk berbincang tentang berbagai hal, dari bisnis hingga rencana liburan. Zahra melangkah keluar dari dapur, membawa setumpuk piring, ketika matanya tertumbuk pada seorang pemuda yang baru saja masuk ke ruangan.

Aidil, nama pemuda itu, tampak berbeda dari kebanyakan tamu. Ia mengenakan kemeja putih sederhana yang dilengkapi dengan celana chino warna khaki. Rambutnya tertata rapi, dan senyumnya memancarkan keramahan. Namun, yang paling menarik perhatian Zahra adalah matanya. Mata itu memancarkan kelembutan, seolah menyimpan cerita yang ingin ia dengarkan.

"Zahra, ini Aidil. Dia keponakan dari pamanmu yang tinggal di Jakarta," kata ayah Zahra memperkenalkan pemuda itu. Aidil mengangguk sopan sambil mengulurkan tangannya.

"Senang bertemu, Zahra," ucapnya dengan suara yang tenang. Zahra, sedikit gugup, menyambut uluran tangan itu.

"Senang bertemu juga, Aidil," jawabnya singkat, dengan senyum yang mencoba menutupi rasa canggung.

Aidil bergabung dalam keramaian, berbincang dengan anggota keluarga yang lain. Zahra, yang kembali sibuk membantu ibunya, tidak bisa mengalihkan pikirannya dari sosok Aidil. Ada sesuatu tentang pemuda itu yang membuatnya penasaran, meskipun ia sendiri tidak tahu apa.

Saat acara makan siang berlangsung, Aidil mengambil kesempatan untuk duduk di meja yang sama dengan Zahra. Ia mengamati Zahra yang tampak lebih sibuk melayani tamu daripada menikmati makanannya sendiri.

"Kamu nggak makan, Zahra?" tanyanya sambil menyendokkan nasi ke piring.

"Ah, nanti saja. Masih banyak yang harus dibereskan," jawab Zahra sambil tersenyum kecil. Ia menunduk, merasa sedikit canggung karena perhatian yang tiba-tiba diberikan Aidil.

"Boleh aku bantu?" tanya Aidil, membuat Zahra terkejut.

"Nggak usah, aku bisa sendiri kok," katanya cepat.

"Tapi aku juga bagian dari keluarga, kan? Jadi wajar kalau aku ikut membantu," balas Aidil sambil berdiri, lalu mengambil beberapa gelas kosong di meja.

Zahra tersenyum kecil. "Kalau begitu, terima kasih, Aidil."

Hari itu, Aidil menjadi sorotan. Tidak hanya karena sikapnya yang ramah dan suka membantu, tetapi juga karena caranya berinteraksi dengan orang-orang membuat suasana lebih hangat. Zahra, meskipun tidak terlalu banyak bicara, diam-diam memperhatikan setiap gerak-geriknya. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari Aidil. Dalam kesederhanaannya, ada kehangatan yang mampu mencairkan suasana.

Setelah acara selesai dan para tamu mulai berkurang, Aidil mendekati Zahra yang sedang merapikan kursi-kursi di ruang tamu.

"Hari yang melelahkan, ya?" tanyanya sambil membantu Zahra.

Zahra mengangguk. "Iya, tapi aku senang karena semua berjalan lancar."

Aidil tersenyum. "Kamu hebat. Aku lihat tadi kamu yang paling sibuk. Keluarga ini beruntung punya kamu."

Zahra merasa pipinya memerah. Ia tidak terbiasa mendapat pujian seperti itu. "Terima kasih, Aidil. Kamu juga banyak membantu."

Mereka berbincang singkat, berbagi cerita tentang keseharian masing-masing. Dari percakapan itu, Zahra tahu bahwa Aidil adalah seorang arsitek muda yang baru saja menyelesaikan proyek besar di Jakarta. Sementara Aidil kagum pada Zahra yang meskipun hidup di kota kecil, memiliki wawasan yang luas dan hati yang hangat.

Saat matahari mulai terbenam, dan keluarga besar mulai berpamitan, Aidil mendekati Zahra untuk terakhir kalinya.

"Zahra, aku senang bisa bertemu denganmu hari ini. Kalau ada kesempatan, mungkin kita bisa berbicara lebih banyak lagi di lain waktu," ucapnya dengan nada tulus.

Zahra mengangguk, menahan senyum yang mulai muncul di wajahnya. "Aku juga senang bisa mengenalmu, Aidil. Hati-hati di jalan."

Aidil tersenyum sambil melambaikan tangan. Zahra mengantarnya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu dalam pertemuan singkat itu yang meninggalkan kesan mendalam di hatinya. Zahra tahu, hidupnya mungkin tidak akan sama lagi setelah hari itu.

Bab 2: Bunga yang Tidak Mekar

Hari-hari setelah pertemuan itu, Zahra sering memikirkan Aidil. Pemuda yang hanya hadir sebentar di acara keluarga mereka, namun meninggalkan jejak mendalam di hatinya. Telepon dan pesan singkat menjadi jembatan komunikasi mereka. Awalnya, hanya ucapan basa-basi dan saling menanyakan kabar. Namun, perlahan percakapan mereka menjadi lebih dalam.

“Aku suka sekali suasana di desa tempatmu tinggal, Zahra. Rasanya lebih damai dibandingkan hiruk pikuk Jakarta,” kata Aidil suatu malam melalui telepon.

Zahra tersenyum meski Aidil tak bisa melihatnya. “Ya, tapi aku membayangkan kehidupan di Jakarta juga menarik. Banyak hal yang bisa dipelajari di sana.”

Aidil tertawa kecil. “Mungkin suatu hari nanti kamu harus datang ke sini. Aku akan menunjukkan tempat-tempat favoritku.”

“Itu terdengar menyenangkan,” jawab Zahra.

Meski komunikasi mereka semakin intens, Zahra merasakan ada sesuatu yang ganjil. Aidil tidak pernah berbicara tentang rencana mereka ke depan. Semua obrolan hanya berputar pada hal-hal ringan, seolah-olah hubungan mereka hanya sebuah persinggahan.

Suatu hari, Aidil tiba-tiba mengabari bahwa ia akan datang ke desa untuk sebuah proyek. Zahra senang, tetapi juga cemas. Ini adalah pertama kalinya mereka akan bertemu lagi setelah pertemuan di acara keluarga. Hari itu Zahra mengenakan gaun terbaiknya, berharap membuat kesan yang baik.

Aidil tiba dengan mobil hitamnya yang sederhana. Ia turun dengan senyum khas yang selalu Zahra ingat.

“Zahra, lama nggak ketemu. Kamu kelihatan makin cantik saja,” sapanya.

Zahra hanya tersenyum, menahan debaran di dadanya. Mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota kecil itu, berbicara tentang banyak hal. Zahra merasa seperti mengenal Aidil lebih dalam, tetapi ada tembok tak terlihat yang membuatnya merasa bahwa ia belum benar-benar memahami pria itu.

Saat mereka duduk di bangku taman, Zahra memberanikan diri bertanya.

“Aidil, aku penasaran. Kamu serius nggak sih sama aku?”

Pertanyaan itu membuat Aidil terdiam. Ia menghela napas, lalu menatap Zahra dengan mata yang terlihat ragu.

“Zahra, aku suka kamu. Tapi... aku belum siap untuk sesuatu yang serius. Ada banyak hal di hidupku yang masih harus aku selesaikan,” jawabnya pelan.

Jawaban itu terasa seperti duri yang menusuk hati Zahra. Ia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Aidil. Di satu sisi, ia menghargai kejujuran itu. Namun di sisi lain, ia merasa hatinya hancur.

“Kenapa kamu nggak bilang dari awal?” tanya Zahra, suaranya bergetar.

Aidil mengalihkan pandangannya. “Aku nggak tahu harus bilang apa. Aku nggak mau kehilangan kamu, Zahra. Kamu adalah orang yang spesial di hidupku.”

Zahra menunduk, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang. Hubungan yang ia harapkan bisa tumbuh indah seperti bunga, kini terasa layu bahkan sebelum mekar. Namun, ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Aidil.

“Kalau kamu memang nggak siap, aku nggak akan memaksamu. Tapi aku butuh kejelasan, Aidil. Aku nggak bisa terus begini,” kata Zahra akhirnya.

Aidil mengangguk pelan. “Aku mengerti. Aku minta maaf kalau selama ini membuatmu bingung.”

Hari itu, mereka pulang dengan perasaan berbeda. Aidil tampak tenggelam dalam pikirannya, sementara Zahra mencoba menata hatinya yang berantakan. Ia sadar, mungkin Aidil bukanlah orang yang selama ini ia pikirkan. Atau mungkin, waktu mereka untuk bersama belum tiba.

Minggu-minggu berikutnya, komunikasi mereka mulai berkurang. Aidil sering kali sibuk dengan pekerjaannya, dan Zahra merasa enggan untuk menghubungi lebih dulu. Ia berusaha mengalihkan perhatian dengan membantu ibunya di rumah dan mengikuti berbagai kegiatan sosial di desanya. Meski demikian, bayangan Aidil tetap saja menghantui pikirannya.

“Zahra, kamu kelihatan lebih pendiam akhir-akhir ini. Ada masalah?” tanya ibunya suatu malam.

Zahra hanya tersenyum kecil. “Nggak ada apa-apa, Bu. Aku cuma sedikit capek.”

Namun, dalam hatinya, Zahra tahu bahwa apa yang ia rasakan jauh lebih rumit dari sekadar rasa lelah. Ia merasa seperti bunga yang tak pernah mekar, menunggu sinar matahari yang tak kunjung datang.

Suatu hari, Zahra memutuskan untuk menulis surat kepada Aidil. Ia menuangkan semua perasaannya di atas kertas, berharap bisa menemukan jawaban dari keraguan yang selama ini menghantuinya. Namun, setelah selesai menulis, ia ragu untuk mengirimkannya. Surat itu tetap berada di laci mejanya, menjadi saksi bisu dari perasaan yang tak terucapkan.

Zahra mulai menyadari bahwa hidupnya tak bisa bergantung pada Aidil. Ia harus menemukan kebahagiaannya sendiri, dengan atau tanpa kehadiran pemuda itu. Dan meski sulit, Zahra tahu bahwa ia harus melangkah maju.

Hari-hari berikutnya, Zahra mulai melibatkan dirinya dalam berbagai kegiatan. Ia menemukan kebahagiaan kecil dalam membantu orang lain dan mengejar mimpinya. Meskipun hatinya masih terasa berat, ia belajar menerima bahwa tidak semua hubungan akan berakhir seperti yang diharapkan.

Aidil tetap menjadi bagian dari hidupnya, meski hanya sebagai kenangan. Zahra memahami bahwa beberapa bunga memang ditakdirkan untuk tidak mekar, tetapi itu tidak berarti hidup harus berhenti di sana.


Bab 3: Mendung di Langit Cinta

Sejak percakapan terakhir mereka di taman, hubungan Zahra dan Aidil berubah menjadi lebih rumit. Aidil semakin jarang menghubungi Zahra, dan ketika ia melakukannya, percakapannya terasa dangkal dan terburu-buru. Zahra mulai merasa seperti seorang penumpang di dalam hubungan mereka, berjalan tanpa arah di tengah kabut ketidakpastian.

Suatu malam, Zahra duduk di balkon rumahnya, memandang bintang-bintang yang bertaburan di langit. Biasanya, bintang-bintang itu membawa ketenangan, tetapi malam itu, hati Zahra gelisah. Ia meraih ponselnya dan membuka pesan terakhir dari Aidil yang dikirim tiga hari lalu.

"Maaf ya, aku sibuk banget akhir-akhir ini. Semoga kamu baik-baik saja."

Pesan itu terasa dingin, jauh dari kehangatan yang pernah ia rasakan di awal hubungan mereka. Zahra menatap layar ponselnya dengan perasaan kosong. Ia mengetik balasan, tetapi kemudian menghapusnya. Apa gunanya mengungkapkan perasaannya jika Aidil sepertinya tidak peduli?

Beberapa hari kemudian, Zahra menerima kabar bahwa Aidil akan datang ke desa untuk menghadiri acara keluarga. Hatinya bercampur antara senang dan cemas. Ini adalah kesempatan untuk berbicara langsung dengannya, tetapi ia juga takut menghadapi kenyataan yang mungkin lebih menyakitkan.

Saat hari itu tiba, Aidil tiba di rumah Zahra dengan senyum yang sama seperti pertama kali mereka bertemu. Namun, kali ini senyum itu terasa kosong bagi Zahra, seolah-olah hanya sebuah topeng.

“Hai, Zahra. Apa kabar?” tanya Aidil sambil menyapanya.

“Baik,” jawab Zahra singkat, mencoba menutupi emosinya.

Aidil menghabiskan waktu berbincang dengan anggota keluarga lainnya. Zahra memperhatikan dari kejauhan, merasa semakin jauh darinya. Ketika akhirnya mereka punya kesempatan untuk berbicara berdua, Zahra tidak bisa menahan diri lagi.

“Aidil, aku merasa kita semakin jauh. Ada apa sebenarnya?” tanyanya dengan suara yang bergetar.

Aidil terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Zahra, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku suka kamu, tapi aku merasa ada banyak hal yang belum bisa aku selesaikan dalam hidupku. Aku takut nggak bisa memberikan yang terbaik untukmu.”

Zahra menatap Aidil dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Kalau begitu, kenapa kamu masih bertahan? Kenapa kamu nggak jujur dari awal?”

Aidil menggeleng pelan. “Aku nggak mau kehilangan kamu, Zahra. Tapi aku juga nggak tahu apakah aku bisa menjadi orang yang kamu harapkan.”

Percakapan itu membuat Zahra semakin bingung. Ia merasa seperti berdiri di tengah badai, mencoba memahami arah angin yang terus berubah. Aidil tidak memberikan kejelasan, hanya lebih banyak keraguan.

Setelah Aidil kembali ke Jakarta, Zahra mencoba fokus pada dirinya sendiri. Ia kembali aktif di komunitas desa, membantu mengorganisir acara sosial, dan melibatkan dirinya dalam proyek pengembangan desa. Namun, di setiap kesibukannya, pikirannya selalu kembali kepada Aidil.

Suatu malam, Zahra menerima telepon dari sahabatnya, Nisa.

“Zahra, kamu kenapa? Akhir-akhir ini kelihatan murung terus,” tanya Nisa.

“Nggak apa-apa, Nisa. Aku cuma lagi banyak mikir,” jawab Zahra, mencoba terdengar santai.

“Ini soal Aidil, ya?” tebak Nisa dengan nada serius.

Zahra terdiam sejenak sebelum akhirnya mengakui. “Iya, aku bingung, Nis. Dia bilang suka aku, tapi dia juga bilang nggak siap. Aku nggak tahu harus bagaimana.”

Nisa menghela napas. “Zahra, aku tahu kamu suka sama Aidil. Tapi kalau dia nggak bisa memberi kejelasan, kamu harus mulai berpikir untuk menjaga dirimu sendiri. Kamu nggak bisa terus-terusan digantung kayak gini.”

Kata-kata Nisa menancap dalam di hati Zahra. Ia tahu sahabatnya benar, tetapi hatinya masih sulit untuk melepaskan.

Beberapa minggu kemudian, Zahra menerima kabar yang mengejutkan. Seorang sepupunya memberitahu bahwa Aidil sering terlihat bersama seorang wanita di Jakarta. Zahra tidak ingin langsung percaya pada gosip, tetapi kabar itu cukup untuk membuatnya merasa cemas.

Ia memutuskan untuk menghubungi Aidil dan mengonfrontasi kabar tersebut.

“Aidil, aku dengar sesuatu yang membuatku nggak nyaman. Apa benar kamu dekat dengan orang lain di Jakarta?” tanyanya langsung.

Aidil terdiam di ujung telepon. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia akhirnya menjawab, “Zahra, aku nggak bisa bohong. Aku memang dekat dengan seseorang. Tapi aku belum tahu apakah hubungan itu akan serius atau tidak.”

Hati Zahra hancur mendengar pengakuan itu. Semua harapan yang ia bangun bersama Aidil runtuh dalam sekejap. Ia mencoba menahan tangisnya.

“Kalau begitu, kenapa kamu masih terus berhubungan denganku?” tanyanya dengan suara bergetar.

“Aku nggak mau kehilangan kamu, Zahra. Kamu adalah orang yang spesial bagiku,” jawab Aidil dengan nada penuh penyesalan.

Zahra menyadari bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian ini. Ia butuh kejelasan, dan Aidil jelas tidak bisa memberikannya.

“Aidil, aku nggak bisa terus seperti ini. Aku butuh seseorang yang tahu apa yang dia inginkan. Kalau kamu belum siap, aku rasa kita harus berhenti di sini,” kata Zahra dengan tegas, meskipun hatinya terasa berat.

Aidil terdiam. “Aku mengerti, Zahra. Aku minta maaf karena telah membuatmu terluka.”

Percakapan itu menjadi akhir dari hubungan mereka. Zahra menutup telepon dengan air mata yang mengalir di pipinya. Ia tahu keputusannya benar, tetapi itu tidak membuatnya lebih mudah.

Hari-hari berikutnya, Zahra fokus untuk menyembuhkan dirinya. Ia mulai menulis jurnal sebagai cara untuk mengungkapkan perasaannya. Dalam tulisannya, ia menemukan kekuatan yang selama ini ia pikir telah hilang.

Zahra menyadari bahwa cinta tidak selalu tentang kebahagiaan. Kadang, cinta juga tentang melepaskan, terutama ketika hubungan itu lebih banyak membawa luka daripada kebahagiaan. Meskipun hatinya masih terluka, Zahra percaya bahwa mendung di langit cintanya akan berlalu, dan suatu hari ia akan menemukan seseorang yang benar-benar menghargainya.

Langit mungkin mendung saat ini, tetapi Zahra tahu, matahari akan bersinar kembali.


Tidak ada komentar untuk "HANYA SATU PERSINGGAHAN, BAB. 1-3"