CINTA DALAM DILEMA, BAG. 6
Bab 6: Ujian Pertama
Sejak perbincangan
yang emosional itu, Sofia merasakan ada yang berbeda dalam diri Rizki. Meskipun
Rizki berusaha bersikap normal, Sofia dapat merasakan ketegangan yang membebani
suaminya. Setiap kali mereka bersama, ada jarak tak terlihat di antara mereka.
Sofia merasa seolah Rizki menyimpan rahasia, dan itu membuatnya gelisah.
Hari-hari berlalu, dan
Sofia berusaha untuk tidak berfokus pada kecurigaannya. Ia mencoba mengalihkan
perhatian dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan desainnya dan menghabiskan
waktu bersama teman-teman. Namun, rasa khawatir itu selalu menghantuinya. Ia
sering menemukan dirinya melamun, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dalam
pikiran Rizki.
Suatu sore, saat Sofia
sedang merapikan ruangan kerja di rumah, ia menemukan catatan kecil di atas
meja. Catatan itu tampak seperti tulisan Rizki. Rasa ingin tahunya mengalahkan
rasa ragu, dan ia mulai membacanya. Ternyata, catatan itu berisi rencana Rizki
untuk pameran desain yang akan datang. Sofia merasa lega sejenak, tetapi di
balik itu, ada sesuatu yang terasa aneh. Kenapa Rizki menulisnya dengan penuh
ketekunan, seolah itu adalah hal terpenting dalam hidupnya?
Malam harinya, saat
Rizki pulang, Sofia melihat suaminya terlihat lelah. “Rizki, kau terlihat tidak
enak badan. Apa kau baik-baik saja?” tanyanya dengan perhatian.
Rizki tersenyum tipis.
“Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah setelah bekerja seharian,” jawabnya,
tetapi matanya menghindari tatapan Sofia.
Sofia merasa semakin
curiga. “Kau tidak perlu memaksakan diri, Rizki. Jika ada yang ingin kau
bicarakan, aku ada di sini,” ia mencoba memberikan dukungan.
Rizki mengangguk,
tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Sofia merasakan hatinya bergetar. Ada
sesuatu yang tersembunyi di balik senyumnya yang terlihat tenang. Setiap kali
Sofia berusaha mendekat, Rizki semakin menjauh. Itu adalah perasaan yang sangat
menyakitkan, dan Sofia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.
Ketika malam tiba,
Sofia mencoba berbicara lagi. “Rizki, aku tahu kau merasa berat. Kita sudah
melalui banyak hal bersama. Jika ada yang ingin kau bagi, tolong katakan
padaku. Aku ingin mendengarmu,” ujarnya dengan lembut.
Rizki hanya terdiam,
dan Sofia merasa hatinya hancur. Tidak pernah dalam hidupnya ia merasakan
ketidakpastian seperti ini. Setiap malam, ia berdoa agar Tuhan memberikan
petunjuk, baik untuknya maupun untuk Rizki.
Beberapa hari
kemudian, saat Sofia sedang berada di pameran desain, ia melihat Aisha di sudut
ruangan. Aisha tersenyum dan melambai padanya. Sofia merasa sedikit tegang,
tetapi ia berusaha untuk bersikap santai. Mereka berbincang dan Sofia berusaha
menyembunyikan kecemasan yang menggerogoti hatinya.
“Aku tidak melihat
Rizki di sini. Dia tidak datang?” Aisha bertanya, nada suaranya terdengar
sedikit khawatir.
“Belum, mungkin dia
sibuk,” jawab Sofia, tetapi hatinya bergetar. Kenapa Aisha menanyakan hal itu?
Apakah mereka sering bertemu tanpa sepengetahuannya?
Sofia merasa semakin
tidak nyaman. Ia berusaha mencari tahu lebih lanjut. “Aisha, kau dan Rizki
akrab ya?” tanyanya sambil mencoba menyelidik.
Aisha tersenyum,
tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam senyumannya. “Kami hanya berteman. Rizki
sangat mendukung impianku. Dia adalah orang yang baik,” jawabnya, tetapi Sofia
merasakan ada ketulusan di balik kata-katanya.
Malam itu, saat pulang
dari pameran, Sofia merasa tidak bisa tidur. Rasa curiga dan cemas semakin
mengganggu pikirannya. Ia mulai bertanya-tanya apakah Rizki dan Aisha
benar-benar hanya berteman, atau ada yang lebih dari itu. Dalam keheningan
malam, Sofia memutuskan untuk berbicara dengan Rizki sekali lagi.
Setelah berjam-jam
menunggu, Rizki akhirnya pulang. Sofia mencoba untuk tetap tenang meskipun
hatinya berdebar-debar. “Rizki, aku merasa kita perlu berbicara lagi,” katanya,
suaranya sedikit bergetar.
Rizki menatapnya
dengan penuh perhatian. “Tentang apa, Sofia?” tanyanya, tetapi Sofia merasakan
ketegangan di dalam suaminya.
“Tentang Aisha. Aku
merasa ada yang tidak beres. Kenapa kau tidak pernah membicarakan dia? Aku
merasa seolah kau menyimpan sesuatu,” ujarnya, berusaha menjaga nada suaranya
tetap tenang.
Rizki menghela napas,
dan Sofia bisa melihat bahwa ia merasa tertekan. “Sofia, aku tidak ingin
membuatmu merasa tidak nyaman. Aisha adalah temanmu, dan aku menghormatinya.
Tapi…,” Rizki terdiam, seolah mencari kata-kata yang tepat.
“Tapi apa, Rizki?”
Sofia mendesak, merasa ada yang tidak beres.
“Tapi aku merasa kita
perlu memberi ruang bagi perasaan kita masing-masing. Aku tidak ingin menyakiti
siapapun, termasuk Aisha,” Rizki menjawab, suaranya terdengar lebih rendah.
Sofia merasa
jantungnya berdegup kencang. “Jadi, ada sesuatu yang lebih dari sekadar
persahabatan?” tanyanya, langsung.
Rizki terdiam, dan
Sofia bisa merasakan beban dalam jawaban yang belum terucap. “Sofia, aku…,”
Rizki mulai, tetapi tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
Sofia merasa dunia
seolah runtuh. “Kau harus jujur padaku, Rizki. Jika ada sesuatu, katakanlah.
Aku berhak untuk tahu,” ia menegaskan, air mata mulai menggenang di matanya.
Dengan mata penuh ketulusan,
Rizki akhirnya berkata, “Aku tidak ingin menyakiti hatimu, tetapi perasaanku
terhadap Aisha semakin kuat. Aku bingung dan tidak tahu bagaimana harus
bersikap.”
Kata-kata itu
menghantam Sofia seperti petir di siang bolong. Ia merasa seolah dikhianati,
meskipun di satu sisi, ia juga merasakan sakit yang dalam. “Jadi, selama ini
kau berpura-pura baik-baik saja? Apa aku tidak cukup untukmu?” Sofia bertanya,
suaranya bergetar.
“Bukan itu maksudku,
Sofia. Kau adalah segalanya bagiku. Tetapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan
ini. Aku tidak ingin hidup dalam kebohongan,” Rizki berkata, wajahnya penuh
kesedihan.
Sofia terdiam, air
mata mengalir di pipinya. “Rizki, kita sudah membangun hidup bersama. Apa kau
benar-benar ingin menghancurkan semuanya hanya karena perasaan ini?” tanyanya
dengan nada penuh kepedihan.
“Tidak, aku tidak
ingin menghancurkan apa pun. Aku ingin kita berdua bahagia, tetapi aku juga
tidak bisa terus menutupi perasaanku,” Rizki menjawab, merasa putus asa.
Sofia merasa hatinya
berantakan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bagaimana ia bisa
melanjutkan hidup jika suaminya mencintai orang lain? “Apa yang akan kita
lakukan sekarang, Rizki?” ia bertanya, suaranya bergetar.
“Aku tidak tahu,
Sofia. Aku ingin kita sama-sama mencari jalan keluar dari situasi ini. Kita
perlu berbicara dan mencari solusi yang terbaik untuk kita,” Rizki menjawab,
tetapi Sofia merasakan keraguan dalam kata-katanya.
Malam itu, Sofia tidur
dengan perasaan hancur. Ia tidak bisa tidur, pikirannya berputar-putar. Di satu
sisi, ia mencintai Rizki dengan segenap hati, tetapi di sisi lain, ia merasa
dikhianati. Sofia tahu bahwa mereka harus menghadapi kenyataan ini, tetapi apa
pun hasilnya, ia merasa bahwa hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi.
Hari-hari berikutnya
menjadi sangat sulit. Sofia berusaha menjaga rutinitasnya, tetapi setiap kali
ia melihat Rizki, hatinya bergetar penuh kesedihan. Ia merasa seolah dunia
mereka terbelah, dan tidak ada cara untuk menyatukannya kembali.
Rizki juga merasakan
beban yang sama. Ia mencintai Sofia, tetapi perasaan terhadap Aisha tidak bisa
diabaikan. Setiap interaksi terasa berat, dan keduanya terjebak dalam
ketidakpastian yang menyakitkan.
Suatu malam, Rizki
memutuskan untuk pergi ke masjid lagi. Ia merasa butuh petunjuk dan ketenangan.
Saat ia duduk dalam keheningan, ia berdoa agar Tuhan memberinya jalan untuk
memperbaiki keadaan. Dalam hatinya, ia ingin menemukan cara untuk menyelamatkan
hubungan mereka.
Kembali ke rumah, Rizki melihat Sofia duduk sendirian di teras, menatap bintang. Hatinya bergetar melihat sosok istrinya yang begitu terluka. Dia tahu bahwa mereka harus saling mendukung meskipun dalam keadaan sulit ini. Dengan harapan, Rizki mendekati Sofia, bertekad untuk menemukan cara agar mereka bisa menghadapi ujian ini bersama, tidak peduli seberapa beratnya.
Tidak ada komentar untuk "CINTA DALAM DILEMA, BAG. 6"
Posting Komentar