CINTA DALAM DILEMA, BAG. 27

 Bab 27: Reaksi Sofia

 

Setelah pertemuan yang penuh emosi dengan Rizki, Sofia pulang dengan langkah berat. Di dalam hatinya, ada campuran antara rasa sakit yang mendalam dan kebingungan yang mendera. Setiap kata yang diucapkan Rizki terngiang di telinganya, dan ia merasa seolah dunia di sekelilingnya runtuh. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa sosok yang selama ini menjadi pelindung dan teman terdekatnya.

 

Sesampainya di rumah, Sofia segera mengunci diri di kamar. Ia melemparkan tasnya ke sudut ruangan dan duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke dinding. Air mata tak bisa ditahan lagi, mengalir deras membasahi pipinya. Kenangan indah bersama Rizki berkelebat dalam pikirannya—senyuman, tawa, dan semua momen kecil yang membuat hatinya berbunga. Kini, semua itu terasa jauh dan hampa.

 

“Sofia, kenapa kau tidak bisa menjadi yang terbaik untuknya?” bisiknya kepada diri sendiri. Rasa bersalah mulai merayapi hati, membisikkan bahwa mungkin, jika ia lebih baik, semuanya tidak akan berakhir seperti ini.

 

Ia teringat saat-saat pertama mereka bertemu, bagaimana Rizki selalu ada untuk mendengarkan, menghibur, dan memberi dukungan. Sofia merasa hancur karena ia tahu bahwa perasaannya kepada Rizki tidak akan pernah pudar. Namun, kenyataan yang harus ia hadapi adalah bahwa cinta tidak selalu cukup. Mungkin, tidak semua hubungan ditakdirkan untuk bertahan.

 

Malam semakin larut, tetapi Sofia tidak bisa tidur. Ia meraih teleponnya, membuka foto-foto bersama Rizki yang tersimpan di galeri. Setiap gambar mengingatkannya pada kebahagiaan yang pernah mereka rasakan. Dengan hati yang berat, ia mulai menghapus satu per satu foto yang dianggapnya terlalu menyakitkan untuk dilihat. Air matanya kembali mengalir. Seharusnya, ia tidak perlu melakukan ini. Kenapa semua terasa begitu salah?

 

Pikirannya melayang ke saat-saat ketika Rizki memutuskan untuk jujur tentang perasaannya. Di satu sisi, ia merasa bersyukur karena Rizki memilih untuk tidak berbohong. Namun, di sisi lain, ia juga merasa hancur karena kebenaran itu begitu menyakitkan. Ia tidak mengerti bagaimana Rizki bisa berpaling, padahal cinta mereka tampak begitu nyata.

 

Hari-hari berlalu, dan Sofia berusaha untuk melanjutkan hidup. Ia kembali ke rutinitas kuliah dan aktivitas sosialnya, tetapi rasanya semuanya tanpa makna. Teman-teman di sekitarnya memperhatikan bahwa ada yang berbeda dengan Sofia. Mereka mencoba untuk menghibur, tetapi kata-kata mereka terasa hampa. “Kau akan baik-baik saja, Sofia. Waktu akan menyembuhkan,” ucap mereka, tetapi tidak ada yang bisa menghapus rasa sakit di hatinya.

 

Suatu hari, saat sedang berada di kampus, Sofia melihat Rizki dari kejauhan. Hatinya bergetar, dan dalam sekejap, semua kenangan indah itu kembali membanjiri pikirannya. Rizki berbincang dengan Aisha, dan senyum mereka terasa seperti pisau yang mengiris hatinya. Tanpa berpikir panjang, Sofia berbalik dan pergi dari tempat itu. Ia tidak ingin melihat lebih jauh, karena itu hanya akan memperburuk perasaannya.

 

Di perjalanan pulang, Sofia merasa lelah secara emosional. Ia ingin menangis, tetapi air matanya seolah sudah habis. Ia mengingatkan dirinya bahwa ia harus kuat, bahwa hidup harus terus berjalan. Namun, suara dalam hatinya terus berkata, “Apakah ini yang terbaik untukmu? Apakah kau benar-benar ingin melepaskannya?”

 

Malam itu, Sofia kembali ke masjid, tempat di mana ia pertama kali merasakan kedamaian setelah berbicara dengan Rizki. Ia berharap dapat menemukan ketenangan dan jawaban atas segala pertanyaannya. Setelah shalat, ia duduk di sudut ruangan yang sepi, merenung dan berdoa. “Ya Allah, aku merasa hancur. Tolong tunjukkan jalan yang benar. Aku ingin merelakan, tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya.”

 

Saat berdoa, Sofia merasa seolah ada sesuatu yang menenangkan hatinya. Dalam keheningan malam, ia mulai memahami bahwa melepaskan bukan berarti melupakan. Melepaskan berarti memberikan ruang bagi diri sendiri untuk sembuh dan bertumbuh. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia bertekad untuk berusaha.

 

Sofia mulai mencari cara untuk mengalihkan pikirannya. Ia bergabung dengan kegiatan sukarela di lingkungan sekitarnya, membantu anak-anak yang kurang mampu. Melihat senyum dan tawa mereka memberikan sedikit kebahagiaan di dalam hatinya yang terluka. Ia merasakan bahwa membantu orang lain adalah salah satu cara untuk menemukan kembali kebahagiaan dalam dirinya.

 

Namun, setiap kali ia melihat pasangan lain di sekitar, hatinya kembali bergetar. Kenangan bersama Rizki mengintip dari sudut-sudut pikirannya, dan ia merasa terjebak dalam rasa sakit itu. Ketika teman-temannya mulai menjodohkan dirinya dengan orang lain, ia merasa tidak siap. Bagaimana bisa ia memulai sesuatu yang baru ketika hatinya masih terikat pada masa lalu?

 

Suatu malam, Sofia duduk di balkon rumahnya, menatap langit berbintang. Ia berusaha merenungkan semua yang terjadi. “Ya Allah, aku ingin kuat. Aku ingin bisa melanjutkan hidup dengan baik,” katanya, suaranya hampir berbisik. Ia mulai menulis jurnal, mencurahkan semua perasaannya, harapan, dan ketakutannya. Dengan menulis, ia merasa seolah bisa melepaskan sedikit dari beban yang selama ini mengikat hatinya.

 

Sofia menyadari bahwa untuk menghadapi kenyataan, ia harus berani mengambil langkah maju. Meskipun perasaannya terhadap Rizki belum sepenuhnya hilang, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus terjebak dalam kenangan. Ia mulai merencanakan masa depannya, memikirkan cita-cita dan impian yang ingin ia capai.

 

Sofia juga menyadari pentingnya berbicara tentang perasaannya dengan teman-temannya. Ia mulai terbuka tentang apa yang ia rasakan, dan dukungan dari mereka sangat berarti. Mereka membantunya untuk melihat bahwa hidup ini penuh dengan kemungkinan, meskipun saat ini terasa sulit.

 

Dalam satu kesempatan, teman dekatnya mengajaknya untuk ikut seminar tentang pengembangan diri. Sofia awalnya ragu, tetapi dorongan dari teman-temannya membawanya untuk mencoba. Saat mengikuti seminar, ia merasakan energi positif yang menyelimuti ruangan. Pembicara berbagi cerita tentang bagaimana menghadapi kehilangan dan membangun kembali kehidupan setelah hancur. Setiap kata-kata yang diucapkan seolah menyentuh hatinya yang terdalam.

 

Sofia pulang dengan semangat baru. Ia merasa terinspirasi untuk mengambil kendali atas hidupnya. Ia mulai menetapkan tujuan kecil yang ingin dicapainya, baik dalam akademik maupun pribadi. Ia ingin meraih mimpi-mimpinya, meskipun perasaannya terhadap Rizki masih ada.

 

Di tengah perjalanan penyembuhannya, Sofia menyadari bahwa mencintai dan melepaskan adalah bagian dari proses menjadi lebih baik. Ia belajar untuk menghargai kenangan indah, tetapi tidak membiarkannya menguasai hidupnya. Setiap hari, ia berusaha untuk bangkit dan melangkah ke depan, sambil berdoa agar Allah memberinya kekuatan dan bimbingan.

 

Sofia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Ia belum sepenuhnya siap untuk melupakan Rizki, tetapi ia mulai memahami bahwa hidup harus terus berjalan. Ia ingin menemukan kebahagiaan baru, dan ia percaya bahwa Allah akan membimbingnya menuju jalan yang lebih baik. Dalam setiap langkahnya, ia berdoa agar diberi ketenangan hati dan kekuatan untuk menghadapi kenyataan, meskipun hatinya masih terluka.



Bersambung....

Tidak ada komentar untuk "CINTA DALAM DILEMA, BAG. 27"