CINTA DALAM DILEMA, BAG. 26

 Bab 26: Keputusan Akhir

 

Rizki merasa hatinya berat seiring waktu berlalu, dan perasaan yang terpendam semakin sulit untuk disembunyikan. Ketegangan antara cintanya kepada Aisha dan tanggung jawabnya terhadap Sofia membuatnya merasa seolah terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Setiap malam, ketika kesunyian menghampiri, ia terus berdoa kepada Allah, memohon petunjuk dan keberanian untuk mengambil keputusan yang tepat.

 

Suatu sore, saat duduk di teras rumah, Rizki memandangi langit yang mulai gelap. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus berbicara dengan Sofia—menjelaskan perasaannya dan apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya. Setiap kali ia berpikir tentangnya, rasa bersalah menyergapnya. Ia tidak ingin menyakiti Sofia lebih jauh, tetapi ia juga tidak bisa terus berbohong pada diri sendiri.

 

Dengan tekad yang bulat, Rizki menghubungi Sofia dan meminta untuk bertemu. Hatinya berdebar-debar saat menunggu jawaban. Akhirnya, Sofia setuju untuk bertemu di café tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Rizki merasa campur aduk antara rasa khawatir dan harapan.

 

Hari yang dinanti tiba, dan Rizki tiba lebih awal di café. Ia duduk di sudut yang sepi, memandangi secangkir kopi yang dipesannya. Setiap detik terasa seperti satu jam saat menunggu Sofia. Ia memikirkan apa yang akan dikatakan dan bagaimana reaksi Sofia. Apakah ia akan mengerti? Ataukah justru akan semakin sakit hati?

 

Ketika Sofia tiba, senyumnya tampak memudar. Rizki merasakan suasana tegang. “Rizki, ada apa? Kau terlihat serius,” tanyanya, duduk di hadapannya.

 

“Aku… aku ingin kita bicara serius,” Rizki memulai, suara sedikit bergetar. “Ada banyak yang ingin aku sampaikan.”

 

Sofia mengangguk, menatapnya dengan penuh harap dan kekhawatiran. “Aku mendengarkan.”

 

Rizki menarik napas dalam-dalam, berusaha menata pikirannya. “Sofia, kau tahu betapa aku menghargai hubungan kita. Namun, belakangan ini, aku merasa sangat bingung tentang perasaanku,” katanya, matanya menatap lurus ke Sofia.

 

Rizki melanjutkan, “Aku tidak bisa mengabaikan perasaanku kepada Aisha. Itu sesuatu yang sangat kompleks, dan aku tidak ingin kau merasa seolah aku mengkhianatimu.”

 

Mendengar nama Aisha membuat Sofia terdiam. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi. “Jadi, kau masih mencintainya?” tanya Sofia, suaranya lembut namun penuh rasa sakit.

 

“Aku tidak tahu. Perasaanku campur aduk. Yang aku tahu, aku harus jujur padamu. Aku tidak bisa terus berbohong,” Rizki menjawab, merasakan hatinya semakin berat. “Aku sangat menghargai setiap momen yang kita lewati bersama, tetapi aku tidak ingin kita terjebak dalam hubungan yang tidak jelas.”

 

Sofia menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. Rizki merasa hatinya teriris melihatnya begitu terluka. “Aku ingin kau bahagia, Rizki. Tetapi aku juga merasa hancur. Kenapa kita tidak bisa memiliki semuanya?” ujarnya, suaranya pecah.

 

Rizki merasa sangat bersalah. “Aku tidak pernah ingin menyakiti hatimu. Ini adalah keputusan yang sulit bagiku. Aku hanya ingin kita jujur satu sama lain,” katanya, berusaha menenangkan situasi.

 

“Saya tahu bahwa cinta bukanlah hal yang bisa dipaksakan. Namun, aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanku. Ketika kau bersamaku, aku merasa bahagia. Tetapi ketika kau tidak ada, semua itu terasa kosong,” Sofia mengungkapkan, setiap kata penuh rasa pedih.

 

Rizki merasakan beban di hatinya semakin berat. “Sofia, kau adalah orang yang baik. Kau layak mendapatkan seseorang yang sepenuhnya mencintaimu. Aku tidak ingin menjadi alasan untuk membuatmu menderita,” katanya, nada suaranya lembut.

 

Sofia menatap Rizki dengan penuh harap. “Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita harus berpisah?” tanyanya, suaranya bergetar.

 

Rizki menggigit bibirnya, berpikir sejenak. “Aku tidak tahu. Aku ingin kita memberi waktu untuk berpikir. Jika kita bisa menemukan cara untuk tetap saling mendukung, meskipun kita tidak bersama, mungkin itu bisa menjadi solusi,” sarannya, meski hatinya merasa ragu.

 

Sofia mengangguk, tetapi air matanya semakin banyak. “Mungkin kita perlu waktu untuk merenung. Aku ingin memikirkan semua ini. Tapi hatiku merasa hancur,” katanya, menunduk.

 

Setelah beberapa saat hening, Rizki merasa perlu mengatakan sesuatu yang lebih positif. “Ingat, kita masih bisa menjadi teman, meskipun kita memilih jalan yang berbeda. Kita dapat mendukung satu sama lain dalam perjalanan hidup kita,” Rizki mencoba memberikan harapan.

 

Sofia mengusap air matanya dan tersenyum lemah. “Kau benar. Persahabatan kita tidak harus berakhir, meskipun kita tidak bersama sebagai pasangan. Kita berhak untuk bahagia dalam cara kita masing-masing.”

 

Rizki merasakan sedikit ketenangan dalam kata-kata Sofia. “Terima kasih, Sofia. Kau adalah orang yang kuat. Aku berdoa agar kau menemukan kebahagiaan yang pantas kau dapatkan,” ungkapnya dengan tulus.

 

Pertemuan itu berlangsung dengan penuh emosi, tetapi Rizki merasa ada harapan di balik semua kesedihan. Ia menyadari bahwa mengambil keputusan untuk berbicara dengan Sofia adalah langkah yang benar, meskipun sulit. Dengan jujur mengungkapkan perasaannya, ia merasa sedikit lebih ringan.

 

Mereka berpisah dengan perasaan campur aduk—sedih tetapi juga lega. Rizki keluar dari café dengan hati yang lebih tenang, meskipun perasaannya terhadap Aisha masih membebani pikirannya. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia bertekad untuk menjalani hidup dengan lebih bijak dan mendekatkan diri kepada Allah.

 

Sofia, di sisi lain, merasa hatinya masih terluka, tetapi ia juga merasa lebih berdaya. Ia berjanji untuk fokus pada dirinya sendiri dan memperbaiki hidupnya, tanpa membiarkan rasa sakit menghalangi langkahnya. Dalam hati, ia tahu bahwa perjalanan ke depan akan membutuhkan waktu, tetapi dengan ikhlas, ia berusaha untuk melanjutkan hidupnya dengan lebih baik.

 

Dengan keputusan yang diambil, keduanya berusaha untuk saling menghormati dan mendukung dalam perjalanan masing-masing. Rizki berharap dapat menemukan kedamaian, dan Sofia berdoa agar suatu saat nanti, mereka bisa saling memandang dengan penuh kebahagiaan—meskipun dalam bentuk yang berbeda.



Bersambung....

Tidak ada komentar untuk "CINTA DALAM DILEMA, BAG. 26"