CINTA DALAM DILEMA, BAG. 23
Bab 23: Cinta yang Harus Pergi
Setelah pertemuan
emosional dengan Aisha, Rizki merasa terjebak dalam dilema yang mendalam.
Walaupun ia tahu bahwa Aisha telah berkorban demi kebahagiaan mereka, perasaan
cinta yang mendalam sulit untuk dihapus dari hatinya. Setiap detik yang
berlalu, kenangan indah bersama Aisha terus menghantui pikirannya. Ia berusaha
untuk memfokuskan dirinya pada hubungan dengan Sofia, tetapi bayangan Aisha
selalu ada di sana, tak terhindarkan.
Hari-hari pertama
setelah perpisahan terasa berat. Rizki mencoba meneruskan rutinitasnya seperti
biasa—kuliah, bekerja paruh waktu, dan menghabiskan waktu dengan teman-teman.
Namun, ia merasa ada sesuatu yang hilang. Saat ia berjalan di kampus, melihat
sekelompok teman yang tertawa, hatinya terasa hampa. Ia teringat momen-momen
ceria saat Aisha berada di sisinya, tertawa dan berbagi impian.
Suatu sore, ketika
Rizki duduk sendirian di taman, dia melihat pasangan lain saling bergandeng
tangan. Perasaan cemburu dan kesepian menggerogoti hatinya. Kenapa ia merasa
sangat merindukan Aisha? Bukankah ia telah memilih untuk bersama Sofia? Di
tengah ketidakpastian ini, Rizki menyadari bahwa ia tidak bisa memaksakan diri
untuk melupakan Aisha. Setiap kali ia melihat pesan atau foto mereka berdua,
perasaannya semakin terikat.
Ketika Sofia mengajak
Rizki untuk bertemu, ia merasa berulang kali terjebak dalam situasi yang rumit.
Sofia berusaha untuk membuat hubungan mereka terasa normal, tetapi Rizki merasa
semakin jauh dari kenyataan. Dalam pertemuan itu, Sofia dengan penuh semangat
menceritakan rencananya untuk masa depan mereka berdua. Rizki berusaha
tersenyum dan menyemangatinya, tetapi hatinya berontak.
“Aku senang kau mulai
merencanakan hal-hal untuk kita,” Sofia berkata dengan mata berbinar. “Aku
berharap kita bisa menjadikan ini lebih serius.”
Rizki hanya mengangguk,
merasakan beban di dadanya. Ia ingin menyenangkan Sofia, tetapi di saat
bersamaan, perasaan untuk Aisha kembali muncul. “Ya, aku juga ingin itu,”
jawabnya, walau kata-katanya terasa kosong.
Setiap kali Sofia
membahas masa depan, Rizki teringat akan impian-impian yang pernah ia bagi
dengan Aisha. Mereka pernah berbicara tentang perjalanan yang ingin mereka
lakukan, tempat-tempat yang ingin mereka lihat, dan cita-cita yang ingin mereka
capai bersama. Semakin Rizki berusaha untuk membangun hubungan dengan Sofia,
semakin jelas bahwa hatinya terbelah.
Rizki tahu bahwa ia
harus jujur kepada Sofia, tetapi ia merasa sangat sulit untuk mengungkapkan
perasaannya. Ia tidak ingin menyakiti Sofia, yang sudah berusaha sebaik mungkin
untuk memberikan yang terbaik. Malam-malam menjadi lebih berat, dan setiap kali
ia menutup mata, wajah Aisha muncul dalam mimpinya.
Suatu malam, Rizki
memutuskan untuk keluar untuk berjalan-jalan. Ia perlu waktu untuk berpikir dan
meresapi semua yang terjadi. Ketika melewati taman tempat ia dan Aisha sering
bertemu, rasa nostalgia menyelimuti dirinya. Ia duduk di bangku yang sama,
mengingat tawa Aisha dan bagaimana mereka pernah merencanakan masa depan yang
cerah bersama.
“Kenapa aku harus
memilih?” pikirnya, menghela napas. Ia merasakan ketidakadilan dalam
situasinya. Cinta seharusnya tidak melibatkan pengorbanan yang menyakitkan,
tetapi kenyataan membuktikan sebaliknya. Mungkin ini semua adalah ujian, tetapi
ia merasa tertekan.
Saat Rizki kembali ke
rumah, ia menerima pesan dari Aisha. Pesan itu sederhana, namun mengena: “Aku
berharap kau baik-baik saja. Aku selalu mendukungmu.” Membaca pesan itu membuat
hatinya bergetar. Ia merindukan Aisha lebih dari yang bisa diungkapkan. Di satu
sisi, ia ingin membalas pesan itu, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa
berkomunikasi dengan Aisha hanya akan semakin menyakitkan.
Hari-hari berlalu, dan
Rizki berusaha mengalihkan perhatian dengan berolahraga dan menghabiskan waktu
dengan teman-teman. Namun, setiap kali ia berusaha menjauh dari Aisha, ia justru
merasa semakin terikat. Saat ia melihat foto-foto mereka di media sosial, rasa
rindu itu semakin membara. Ia merasa bersalah atas perasaannya, seolah-olah ia
mengkhianati Sofia dengan terus merindukan Aisha.
Rizki mulai berpikir
bahwa mungkin ia perlu memberi jarak pada dirinya sendiri dari Sofia. Ia ingin
memberi kesempatan bagi dirinya untuk mengatasi perasaannya, meskipun itu
berarti menyakiti Sofia. Ia tahu bahwa menyakiti seseorang bukanlah hal yang
mudah, tetapi ia merasa tidak bisa terus hidup dalam kebohongan.
Suatu malam, Rizki
memutuskan untuk mengunjungi Aisha. Meskipun ia tahu keputusan ini bisa
berisiko, rasa rindu yang mendalam tak dapat ia abaikan. Ia ingin mendengar
suara Aisha, merasakan kehadirannya, meskipun itu hanya untuk sesaat. Ketika ia
tiba di rumah Aisha, hatinya berdegup kencang. Apakah ini keputusan yang tepat?
Aisha membuka pintu
dengan senyuman, tetapi senyuman itu segera memudar saat melihat ekspresi
Rizki. “Rizki, ada apa? Kenapa kau datang?” tanyanya, suara lembut namun penuh
keingintahuan.
“Aku… aku hanya ingin
berbicara. Tentang kita,” Rizki menjawab, merasakan beban di dadanya.
Aisha mengundangnya
masuk, dan suasana kembali terasa hangat meskipun ada ketegangan di udara.
Mereka duduk di ruang tamu, saling menatap dengan penuh perasaan. Rizki membuka
mulutnya, tetapi kata-kata terasa sulit keluar. Ia ingin menjelaskan betapa ia
merindukan Aisha, betapa ia terjebak dalam situasi yang menyakitkan.
“Aku merasa hampa
tanpa kehadiranmu, Aisha,” Rizki akhirnya berkata, suaranya penuh emosi. “Sofia
adalah orang baik, tetapi hatiku… hatiku selalu kembali kepadamu.”
Mendengar pernyataan
itu, air mata mulai mengalir di wajah Aisha. “Rizki, aku sudah berusaha untuk
memberi ruang. Aku tidak ingin menjadi penghalang dalam hidupmu,” ujarnya,
suaranya bergetar.
“Aku tahu, dan aku
berterima kasih untuk itu. Tapi aku tidak bisa terus berpura-pura bahwa semua
ini baik-baik saja. Setiap kali aku bersama Sofia, aku merasa seolah aku
mencintai bayangan,” Rizki mengakui, merasa terbebani oleh kejujuran yang sulit
ini.
Aisha terdiam, menatap
Rizki dengan penuh rasa pengertian. “Kau harus membuat keputusan untuk dirimu
sendiri, Rizki. Aku tidak ingin mengikatmu. Cintaku untukmu tidak akan pernah
pudar, tetapi aku ingin kau bahagia, meskipun itu berarti kita harus terpisah.”
Kata-kata Aisha
mengena di hati Rizki. Ia merasakan sakit yang mendalam, tetapi juga mengagumi
keteguhan hati Aisha. “Jika kita harus terpisah, bagaimana aku bisa melanjutkan
hidupku?” tanyanya, suaranya penuh kepedihan.
“Kadang-kadang, cinta
yang tulus juga berarti melepaskan. Kita tidak bisa memaksa perasaan, dan aku
tidak ingin kau merasa terjebak. Cintai dirimu sendiri terlebih dahulu, Rizki,”
Aisha menjawab, air matanya mengalir deras.
Mendengar itu, Rizki
merasa bingung, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa Aisha benar. Cinta yang
sejati memang mengharuskan pengorbanan, dan ia harus menemukan cara untuk
mengatasi rasa kehilangan ini. Mungkin, untuk saat ini, ia harus belajar untuk
merelakan.
Setelah pertemuan itu,
Rizki pergi dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap
Aisha tidak akan pernah hilang, tetapi ia juga harus menghadapi kenyataan.
Cinta yang harus pergi bukan berarti tidak berarti, tetapi justru mengajarkan
kita tentang arti sejati dari pengorbanan dan kebahagiaan.
Sejak saat itu, Rizki memutuskan untuk memberi diri sendiri waktu. Ia ingin memahami apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidupnya, tanpa terjebak dalam rasa bersalah atau tekanan. Cinta mungkin sulit, tetapi ia percaya bahwa dengan waktu dan ketulusan, ia bisa menemukan jalan yang tepat—untuk dirinya, Aisha, dan Sofia.
Tidak ada komentar untuk "CINTA DALAM DILEMA, BAG. 23"
Posting Komentar