CINTA DALAM DILEMA. BAG. 13

 Bab 13: Meruntuhkan Dinding

 

Hari-hari setelah pameran seni itu dipenuhi dengan ketegangan yang tak terhindarkan. Rizki dan Aisha telah sepakat untuk berbicara dengan Sofia, tetapi mereka berdua tahu bahwa percakapan itu tidak akan mudah. Di satu sisi, Rizki merasa terjebak antara cinta dan tanggung jawab; di sisi lain, ia tahu bahwa terus bersembunyi hanya akan memperburuk keadaan. Dinding yang memisahkan perasaannya kini semakin nyata, dan ia merasa perlu meruntuhkannya.

 

Suatu sore, saat matahari mulai terbenam, Rizki duduk sendirian di taman tempat mereka biasa berkumpul. Suasana tenang dengan angin sepoi-sepoi membuatnya merenung. Ia teringat semua kenangan indah bersama Sofia—bagaimana mereka saling mendukung, berbagi tawa, dan menghabiskan waktu bersama. Namun, dalam ingatannya juga ada Aisha, dengan senyum dan semangatnya yang menggetarkan hati.

 

Ketika Aisha mendekat, Rizki merasakan jantungnya berdebar. “Hey, kamu terlihat serius. Apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya, duduk di sampingnya.

 

“Aku hanya berpikir tentang kita dan apa yang harus kita lakukan,” jawab Rizki, menatap lurus ke depan. “Tentang Sofia…”

 

“Aku tahu. Ini sulit,” Aisha berkata, suaranya lembut. “Tapi kita tidak bisa terus menghindarinya. Kita harus menghadapi kenyataan.”

 

Rizki mengangguk. Dalam hatinya, ia tahu bahwa tindakan mereka selama ini telah membangun tembok tinggi yang sulit untuk diruntuhkan. Namun, ia merasa semakin tidak nyaman dengan situasi ini. Ia ingin memperbaiki keadaan, tetapi setiap kali ia memikirkan Sofia, rasa bersalah itu kembali menggerogoti.

 

“Aku ingin melakukannya,” Rizki akhirnya mengungkapkan keinginannya. “Aku ingin berbicara dengan Sofia minggu ini.”

 

Wajah Aisha menyiratkan campuran ketakutan dan harapan. “Kau yakin? Apa kau siap dengan semua konsekuensinya?” tanyanya, sedikit cemas. Rizki menghela napas, mencoba menenangkan dirinya.

 

“Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Kita harus meruntuhkan dinding ini, Aisha. Untuk kita dan untuk Sofia,” ujarnya, suaranya mulai tegas. Aisha menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba menilai ketulusan di balik kata-katanya.

 

“Minggu ini,” Aisha akhirnya setuju, meski terlihat ragu. “Kita akan melakukannya.”

 

Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan rasa cemas yang mendalam. Rizki berusaha mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan Sofia, tetapi setiap kali ia bertemu dengan sahabatnya itu, hatinya bergetar. Sofia tampak bahagia, dan senyumannya membuat Rizki merasa semakin bersalah.

 

Saat akhirnya mereka sepakat untuk bertemu, Rizki merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Aisha menemaninya, dan bersama-sama mereka pergi ke taman yang sama di mana semua ini dimulai. Rizki merasa seperti sedang berjalan menuju takdir yang tidak pasti.

 

Ketika mereka tiba, Sofia sudah menunggu di bangku, terlihat sedikit bingung melihat kedatangan mereka berdua. “Hai! Apa kalian melakukan sesuatu yang seru?” tanyanya dengan ceria, senyumannya menghiasi wajahnya. Rizki merasakan hatinya bergetar.

 

“Eh, Sofia, kami perlu berbicara denganmu,” Rizki memulai, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Ada sesuatu yang penting yang harus kami katakan.”

 

Wajah Sofia berubah, menandakan bahwa ia merasakan ketegangan di antara mereka. “Apa ada yang salah?” tanyanya, sedikit cemas. Rizki menatap Aisha, yang memberi isyarat untuk melanjutkan.

 

“Ada hal yang telah terjadi antara kami berdua,” Aisha mengungkapkan, suaranya bergetar. Rizki merasakan ketegangan semakin meningkat. “Kami tahu ini mungkin mengejutkan, tetapi kami tidak ingin menyembunyikannya lagi.”

 

Sofia terdiam, matanya melebar. “Apa maksudmu?” tanya Sofia, suaranya mulai terdengar lemah. Rizki merasa beban di dadanya semakin berat, tetapi ia tahu bahwa mereka harus melanjutkan.

 

“Aku dan Aisha… kami saling menyukai,” Rizki akhirnya mengungkapkan, suaranya hampir tak terdengar. “Kami mencoba untuk tidak melakukannya, tetapi itu tidak berhasil.”

 

Sofia terdiam lebih lama, dan Rizki bisa melihat emosi bertarung di wajahnya. “Jadi… selama ini kalian berdua berbohong padaku?” suara Sofia pelan, penuh kesedihan. Setiap kata yang diucapkan Sofia seperti pisau yang menusuk hati Rizki.

 

“Tidak, Sofia! Kami tidak ingin melukaimu. Kami… kami hanya bingung dengan perasaan kami,” Rizki berusaha menjelaskan. “Aku tahu ini sulit untuk diterima. Kami seharusnya jujur dari awal.”

 

Aisha mengambil alih, “Sofia, kau adalah sahabat terpenting bagi kami. Kami tidak ingin mengkhianatimu. Ini semua terjadi begitu cepat, dan kami tidak tahu bagaimana menjelaskannya.” Suaranya penuh harap, tetapi Rizki bisa merasakan getaran kesedihan di dalamnya.

 

“Aku tidak tahu harus berkata apa,” Sofia akhirnya menjawab, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku merasa ditinggalkan. Kenapa kalian tidak memberitahuku lebih awal?”

 

Rizki merasa hancur melihat sahabatnya begitu terluka. “Kami sangat menyesal, Sofia. Kami tidak ingin menyakiti perasaanmu. Kami benar-benar peduli padamu,” ia mencoba menyampaikan rasa penyesalan yang mendalam.

 

“Aku butuh waktu untuk mencerna semua ini,” Sofia akhirnya berkata, suaranya penuh kesedihan. “Aku merasa seperti aku kehilangan dua orang sekaligus.” Rizki merasakan hatinya remuk mendengar kata-kata itu.

 

Ketika Sofia pergi, suasana di antara Rizki dan Aisha menjadi berat. Mereka berdua terdiam, mengingatkan betapa sulitnya jalan yang mereka pilih. “Apakah kita melakukan hal yang benar?” tanya Aisha, suaranya hampir tidak terdengar. Rizki menatap ke tanah, merasa bingung.

 

“Aku tidak tahu. Aku berharap kita bisa memperbaiki semuanya,” jawab Rizki, suaranya penuh ketidakpastian. Namun, di dalam hati, ia merasakan bahwa pernyataan jujur ini adalah langkah pertama menuju kebebasan.

 

Hari-hari berikutnya menjadi sulit bagi ketiganya. Rizki merasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Setiap kali ia bertemu dengan Sofia, ada rasa canggung yang tidak bisa dihindari. Namun, ia juga merasakan adanya kesempatan untuk membangun kembali hubungan mereka, meskipun proses itu tidak akan mudah.

 

Di sisi lain, hubungan antara Rizki dan Aisha semakin erat. Mereka saling mendukung satu sama lain, berusaha untuk saling memahami perasaan masing-masing. Setiap kali Rizki melihat Aisha, ia merasakan bahwa cinta mereka tumbuh lebih kuat, tetapi selalu ada rasa bersalah yang menyertai setiap langkah.

 

Suatu malam, saat mereka duduk di teras galeri setelah jam kerja, Aisha mengajak Rizki untuk berbicara lebih dalam. “Rizki, bagaimana jika kita berusaha lebih keras untuk mendukung Sofia? Mungkin kita bisa menjadikannya sebagai bagian dari hidup kita yang baru,” usulnya, harapannya terpancar jelas.

 

Rizki mengangguk, merasa ada benang merah dalam usulan itu. “Ya, aku ingin membangun kembali hubungan kita. Aku tidak ingin kehilangan Sofia sebagai sahabatku. Kita harus menunjukkan bahwa kita peduli padanya, meskipun kita berada dalam situasi yang sulit.”

 

Dari malam itu, mereka mulai mencoba menjalin komunikasi dengan Sofia lagi. Meskipun sulit, mereka berusaha untuk mendengarkan perasaannya dan menunjukkan bahwa mereka tidak berniat untuk meninggalkannya. Perlahan, Rizki mulai merasakan dinding yang memisahkan mereka mulai runtuh, meskipun tetap ada retakan yang harus diperbaiki.

 

Dengan waktu, Rizki memahami bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang tanggung jawab dan pengertian. Ia bertekad untuk meruntuhkan semua dinding yang menghalangi mereka, menjadikan cinta sebagai jembatan, bukan penghalang. Dalam perjalanan ini, Rizki berjanji untuk tidak hanya mencintai Aisha, tetapi juga untuk menjaga persahabatannya dengan Sofia, meskipun dalam kondisi yang rumit.

 

Dengan tekad baru dan cinta yang tulus, Rizki siap menghadapi tantangan di depan. Ia tahu bahwa meruntuhkan dinding tidak akan mudah, tetapi bersama Aisha, mereka dapat menemukan cara untuk menciptakan harmoni di antara cinta dan tanggung jawab. Dan di sinilah perjalanan mereka dimulai, dalam upaya untuk merangkul semua perasaan dengan keberanian dan kejujuran.



Bersambung....

Tidak ada komentar untuk "CINTA DALAM DILEMA. BAG. 13"