CINTA DALAM DILEMA, BAG. 11

 Bab 11: Cinta Bersemai

 

Hari-hari berlalu, dan Rizki merasa seolah waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Setiap detik tanpa Aisha terasa berat, dan perasaannya semakin membara di dalam hati. Meskipun ia telah memutuskan untuk memberi jarak, sulit baginya untuk menahan diri. Setiap kali ia melihat Aisha di sekolah, hatinya bergetar, dan senyum manisnya seolah menyedot seluruh perhatian Rizki.

 

Di tengah kesibukan belajar dan aktivitas sekolah, perasaan itu tumbuh tanpa bisa ia kendalikan. Rizki berusaha menyibukkan diri dengan kegiatan lain, berpartisipasi dalam klub fotografi dan berlatih untuk ujian mendatang. Namun, bayangan Aisha terus menghantuinya, merayu dan menggoda perasaannya yang terdalam. Setiap kali ia mendengar tawa Aisha, hatinya bergetar, dan kerinduan itu semakin sulit untuk ditahan.

 

Suatu sore, saat Rizki sedang mengerjakan tugas di taman, ia melihat Aisha duduk sendiri di bangku, mengamati langit senja yang indah. Warna oranye dan merah yang membentang di langit membuatnya terpesona, tetapi yang lebih membuatnya terpesona adalah Aisha itu sendiri. Ia terlihat begitu damai, dan Rizki merasa hatinya tergerak untuk mendekatinya. Namun, rasa bersalah kembali menyergapnya.

 

“Aku tidak boleh,” bisiknya pada dirinya sendiri. Namun, semakin ia mencoba untuk menjauh, semakin kuat tarikannya untuk mendekat. Akhirnya, dorongan itu mengalahkan akal sehatnya. Rizki berjalan perlahan menuju Aisha, berusaha untuk menampakkan senyuman meskipun hatinya bergejolak.

 

“Hey,” sapanya, mencoba terdengar santai. Aisha menoleh, dan senyumnya membuat jantung Rizki berdegup kencang. “Apa yang kau lakukan di sini sendirian?”

 

“Aku hanya menikmati pemandangan. Ini saat yang indah untuk berpikir,” jawab Aisha, matanya bersinar dengan kehangatan. Rizki merasakan kedamaian dalam pertemuan itu, tetapi di sisi lain, ia juga merasakan gelombang emosi yang semakin sulit untuk ditahan.

 

Mereka mulai berbicara, berbagi cerita tentang hari mereka. Rizki berusaha untuk tidak menunjukkan betapa dalamnya perasaannya, tetapi setiap tawa Aisha menggetarkan hatinya. “Kau tahu, aku merindukan kita,” kata Aisha tiba-tiba, membuat Rizki terhenyak. “Merindukan kebersamaan kita.”

 

Rizki menunduk, menyesali pilihan yang telah ia buat. “Aku juga, Aisha. Tapi kita harus berhati-hati,” jawabnya, berusaha keras menahan diri. “Sofia…”

 

Aisha menghela napas, dan Rizki bisa melihat betapa beratnya beban itu di pundaknya. “Aku tahu, dan aku menghormati itu. Tapi, Rizki, perasaanku padamu tidak bisa diabaikan.” Suaranya penuh kerinduan, dan Rizki merasakan serangan kerinduan yang mendalam.

 

Dengan mata penuh harap, Aisha melanjutkan, “Apa kita benar-benar bisa terus begini? Atau kita akan terus hidup dalam kebohongan?”

 

Rizki terdiam, berpikir keras. Ia ingin menjawab dengan jujur, tetapi rasa bersalahnya masih mengikatnya. Ia merasa terjebak dalam dilema antara hati dan logika. Namun, melihat Aisha yang penuh harapan di depannya, semua argumen logis terasa tidak berarti.

 

“Mungkin kita harus memberi diri kita kesempatan,” Rizki akhirnya berkata, suaranya bergetar. “Tapi kita harus tetap berhati-hati. Kita tidak bisa menyakiti Sofia.” Dia berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang, meskipun dalam hatinya api cinta membara.

 

Aisha tersenyum, tetapi ada kesedihan dalam senyumnya. “Aku mengerti. Kita akan mencari cara untuk menjalaninya. Dengan perlahan.” Ada kelegaan yang dirasakan Rizki mendengar kata-kata itu. Meskipun keputusan mereka tidak mudah, setidaknya mereka bisa melangkah bersama.

 

Malam itu, setelah pertemuan singkat mereka, Rizki pulang dengan perasaan campur aduk. Meskipun mereka tidak bisa sepenuhnya terbebas dari perasaan bersalah, ia merasa ada harapan baru yang lahir di antara mereka. Perasaannya untuk Aisha semakin dalam, dan ia menyadari bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, tetapi tumbuh alami seperti bunga yang mekar.

 

Dalam beberapa minggu ke depan, Rizki dan Aisha mulai berusaha menjaga hubungan mereka dengan lebih hati-hati. Mereka menghabiskan waktu bersama di tempat-tempat yang sepi, berbagi cerita dan impian, sementara tetap berusaha menjaga jarak dari Sofia. Setiap momen yang mereka lalui bersama adalah harta berharga, tetapi perasaan bersalah terus mengintai, membayangi kebahagiaan mereka.

 

Suatu hari, saat mereka duduk di kafe kecil di sudut kota, Aisha menggenggam tangan Rizki. “Rizki, aku ingin kita bisa jujur pada Sofia. Dia berhak tahu,” katanya, tatapannya serius. Rizki merasa perutnya mual mendengar kalimat itu. Ia tahu Aisha benar, tetapi ia takut akan konsekuensinya.

 

“Belum saatnya,” jawabnya, suara berat. “Aku tidak ingin melukai dia. Kita harus mencari waktu yang tepat.” Rizki berusaha membela pendapatnya, meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus bersembunyi.

 

Namun, seiring waktu berlalu, Rizki merasa bahwa semakin lama mereka menyembunyikan perasaan ini, semakin besar beban yang harus mereka tanggung. Ia mulai meragukan keputusannya untuk tidak memberi tahu Sofia. Rasa bersalah semakin menggerogoti hatinya, membuat setiap momen bersama Aisha terasa lebih pahit daripada manis.

 

Saat berdua, Rizki dan Aisha sering kali saling menatap, merasakan cinta yang tumbuh di antara mereka, tetapi selalu ada bayang-bayang Sofia yang mengintai. Dalam hati, Rizki berjanji untuk segera mencari cara untuk mengatasi situasi ini, agar cinta yang mereka miliki bisa tumbuh tanpa beban dan tanpa rasa bersalah. Ia tahu, jika tidak segera diselesaikan, cinta ini mungkin akan menjadi racun yang perlahan-lahan merusak semua yang ada.

 

“Suatu hari, kita akan berbicara dengan Sofia,” Rizki akhirnya mengatakan kepada Aisha, penuh tekad. “Kita tidak bisa terus seperti ini.”

 

Aisha mengangguk, harapan kembali bersinar di matanya. “Ya, kita akan melakukannya. Bersama-sama.” Rizki merasakan kekuatan dalam kata-kata Aisha, dan ia tahu bahwa cinta mereka, meskipun tersembunyi, bisa menjadi kekuatan yang mampu mengatasi semua rintangan. Namun, jalan di depan masih panjang dan penuh ketidakpastian.



Bersambung....

Tidak ada komentar untuk "CINTA DALAM DILEMA, BAG. 11"