CINTA TERHALANG ( SHEILLA), BAB 3

 Bab 3: Tanda Tanya

Hari-hari indah yang dihabiskan Sheilla bersama Aidan mulai terbayangi oleh keraguan. Meski cinta mereka semakin dalam, suara-suara dari luar—terutama orang tuanya—mulai mengganggu pikirannya. Sheilla tahu betul harapan orang tuanya; mereka ingin agar dia menikah dengan seseorang yang mapan secara ekonomi, seseorang yang dapat memberikan kehidupan yang nyaman.

Saat ia pulang ke rumah, suasana di meja makan terasa berbeda. Makan malam yang biasanya penuh canda tawa kini diwarnai oleh ketegangan. Ayahnya, seorang pengusaha sukses, memulai pembicaraan dengan nada serius. “Sheilla, kami ingin membicarakan masa depanmu,” katanya, menatapnya dengan tatapan tajam.

Jantung Sheilla berdebar. “Masa depan, Ayah? Apa maksudnya?” tanyanya, berusaha untuk terdengar tenang.

“Iya. Kami ingin agar kamu mulai berpikir tentang calon suami. Usia kamu sudah cukup matang untuk mempertimbangkan hal ini,” jawab sang Ayah, disertai anggukan dari ibunya.

Pernyataan itu seperti petir di siang bolong. Sheilla merasa napasnya tercekat. Dia teringat Aidan, pemuda yang selama ini menyemarakkan harinya. Ia tahu bahwa Aidan tidak memenuhi kriteria yang diharapkan orang tuanya. “Ayah, aku masih ingin fokus belajar. Ada banyak waktu untuk memikirkan hal ini,” jawabnya, berusaha menangkis pembicaraan.

“Aku mengerti, tetapi waktu terus berjalan. Kami ingin yang terbaik untukmu, Sheilla. Lihatlah sekelilingmu. Banyak pemuda yang memiliki potensi baik, mereka juga dari kalangan yang tepat,” kata ibunya, menambahkan tekanan pada bahunya.

Setiap kata yang diucapkan orang tuanya membuatnya semakin gelisah. Dia mulai merasa tertekan, dan kegelisahan itu mengganggu pikirannya saat berada di kampus. Meskipun di luar tampak bahagia bersama Aidan, hatinya tidak bisa sepenuhnya tenang.

Ketika bertemu dengan Aidan di kafe favorit mereka, suasana hati Sheilla jauh dari ceria. Aidan memperhatikan perubahan sikapnya dan bertanya, “Sheilla, ada apa denganmu? Kau terlihat tidak seperti biasanya.”

Sheilla menghela napas dalam-dalam, berusaha merangkai kata-kata. “Aku… aku hanya merasa bingung, Aidan. Sepertinya ada banyak hal yang harus dipikirkan,” jawabnya, menatap secangkir kopi yang sudah dingin.

“Apa yang mengganggumu? Kau bisa cerita padaku,” Aidan menawarkan dengan nada lembut.

Setelah beberapa saat hening, Sheilla memutuskan untuk membuka diri. “Orang tuaku mulai menanyakan tentang masa depanku, tentang calon suami. Aku tahu mereka berharap aku menikah dengan seseorang yang mapan, dan itu membuatku merasa tertekan.”

Aidan terdiam sejenak. “Aku mengerti. Itu pasti sulit untukmu. Tapi ingat, kamu tidak sendiri. Aku ada di sini untuk mendukungmu,” katanya, mencoba memberikan kenyamanan.

“Aku tahu, tetapi ada bagian dari diriku yang merasa bahwa hubungan kita mungkin tidak akan disetujui mereka. Dan itu membuatku bertanya-tanya, apakah aku harus terus melanjutkan ini?” ujar Sheilla, suaranya bergetar.

Mendengar hal itu, Aidan merasakan beban yang berat di hatinya. Dia tahu betapa sulitnya situasi ini bagi Sheilla. “Sheilla, cinta kita bukan hanya tentang persetujuan orang lain. Kita harus mempertimbangkan apa yang kita rasakan satu sama lain. Apakah kamu masih mencintaiku?” tanyanya, menatap dalam-dalam ke mata Sheilla.

Sheilla terdiam sejenak, merenungkan pertanyaannya. “Aku mencintaimu, Aidan. Tetapi…,” jawabnya dengan nada penuh keraguan.

“Tapi?” Aidan mendesak, ingin mendengar kejujuran dari Sheilla.

“Tapi aku takut akan konsekuensinya. Apakah kita benar-benar bisa menghadapi semua ini?” ucapnya, air mata mulai menggenang di matanya.

Aidan meraih tangannya, memberikan dukungan yang tulus. “Kita harus percaya bahwa cinta ini cukup kuat untuk mengatasi rintangan. Jika kita saling mendukung, kita bisa melewati semuanya. Jangan biarkan ketakutan menguasaimu.”

Mendengar kata-kata Aidan, Sheilla merasa sedikit lebih tenang, tetapi keraguan masih menghantuinya. Dalam hati, ia ingin percaya pada cinta mereka, tetapi suara-suara dari luar terus menerus mengganggu pikiran.

Selama beberapa minggu berikutnya, hubungan mereka terus berlanjut dengan kebahagiaan dan ketegangan. Mereka semakin sering bertemu, berbagi impian dan harapan, tetapi di balik kebahagiaan itu, Sheilla merasa terus-menerus dibayangi oleh tekanan dari keluarganya. Setiap momen indah bersama Aidan terasa seperti pedang bermata dua—membawa kebahagiaan sekaligus keraguan.

Dalam pikirannya, Sheilla tahu bahwa jalan ke depan tidak akan mudah. Namun, satu hal yang pasti: perasaannya terhadap Aidan tidak bisa disangkal. Ia harus menemukan cara untuk mengatasi semua tanda tanya yang ada di benaknya, untuk memilih jalan yang akan membuatnya bahagia.

Tidak ada komentar untuk "CINTA TERHALANG ( SHEILLA), BAB 3"