Cinta Terhalang (Sheilla), BAB 5

 Bab 5: Cinta dan Derita

Malam itu, Sheilla duduk di pinggir tempat tidurnya, memandang jendela yang terbuka lebar. Angin malam berhembus lembut, tetapi hatinya terasa berat. Setiap kali dia berpikir tentang Aidan, senyumnya menghilang, digantikan oleh kekhawatiran dan rasa sakit yang mendalam. Apakah cinta mereka yang tulus akan terhalang oleh status sosial? Pikiran itu menghantuinya tanpa henti.

Hari-hari berlalu, dan tekanan dari orang tuanya semakin intens. Setiap kali mereka berbicara tentang calon suami, hatinya bergetar. Dia merasa terjebak di antara harapan orang tuanya dan cintanya pada Aidan. Di dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan terus berputar: Apakah cinta yang mereka bangun selama ini cukup kuat untuk menghadapi dinding pemisah yang tinggi ini?

Saat menjelang tidur, Sheilla teringat momen-momen indah bersama Aidan. Tawa mereka, diskusi mendalam, dan kehangatan yang dia rasakan saat berada di sampingnya. Tetapi momen-momen itu kini terasa seperti kenangan yang akan sirna. Dalam gelap kamarnya, air mata Sheilla mengalir tanpa henti. Dia merasakan derita yang menyakitkan ketika membayangkan kemungkinan perpisahan.

Pagi harinya, Sheilla mencoba untuk bangkit dari rasa sedihnya. Namun, ketika ia berpapasan dengan Aidan di kampus, semua rasa sakit itu kembali muncul. Aidan tersenyum lebar, tetapi saat melihat ekspresi wajah Sheilla, senyumnya sedikit memudar.

“Hey, ada apa? Kau terlihat tidak segar,” tanya Aidan, mendekatinya dengan khawatir.

Sheilla berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa kosong. “Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah,” jawabnya, berusaha menutupi perasaannya.

Namun, Aidan tidak bisa menahan rasa curiga. “Sheilla, kau tahu bahwa kau bisa berbicara padaku. Kita bisa menghadapi ini bersama,” kata Aidan, menggapai tangannya.

Mendengar itu, Sheilla merasa terjepit. Di satu sisi, ia ingin membagikan beban ini kepada Aidan, tetapi di sisi lain, ia tidak ingin membebani Aidan dengan keraguan dan ketakutannya. “Aku… aku hanya berpikir tentang masa depan,” ucapnya pelan.

“Bisa tolong beri tahu aku apa yang ada di pikiranmu?” Aidan mendesak, mencoba membuka pintu untuk diskusi yang lebih dalam.

Sheilla menarik napas dalam-dalam. “Aku hanya merasa bingung. Orang tuaku sangat ingin aku menikah dengan seseorang yang mapan. Mereka tidak akan pernah menerima hubungan kita jika kita tidak sejalan dalam hal itu,” ungkapnya dengan suara bergetar.

Aidan terdiam, merasakan beratnya kata-kata Sheilla. “Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu, Sheilla. Tapi aku juga tidak ingin kau merasa tertekan karena cinta kita. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi semua ini?” tanyanya, menatapnya dengan harapan.

Mendengar ungkapan Aidan, Sheilla merasakan hatinya terbakar. Ia ingin berjuang, tetapi rasa takut akan kehilangan orang yang dicintainya membuatnya ragu. “Mungkin kita perlu memberi jarak pada hubungan ini,” kata Sheilla, suaranya bergetar.

Aidan terkejut, seolah tertampar. “Apa maksudmu? Kita hanya akan menyerah? Kita baru saja memulai perjalanan ini,” ungkap Aidan, rasa sakit terlihat di wajahnya.

“Aku tidak ingin membuatmu menderita, Aidan. Mungkin dengan memberi jarak, kita bisa berpikir lebih jelas. Mungkin ini cara terbaik untuk kita berdua,” jawab Sheilla, air mata mulai menggenang di matanya.

Aidan menghela napas, berusaha menahan emosinya. “Sheilla, jika kita memilih untuk berpisah, aku akan merindukanmu setiap detik. Tapi jika itu yang kau inginkan, aku akan menghormatinya,” katanya, suaranya penuh kepedihan.

Setelah perbincangan itu, Sheilla merasa seolah dunia di sekelilingnya runtuh. Dia tahu keputusan ini adalah bentuk pelindung bagi Aidan, tetapi juga menghancurkan hatinya sendiri. Cinta yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan kini menjadi sumber derita. Saat Aidan beranjak pergi, Sheilla merasakan kesedihan yang mendalam, seolah sebuah bagian dari dirinya telah hilang.

Di rumah, dia merenung tentang semua yang telah terjadi. Dinding pemisah antara mereka bukan hanya terbuat dari harapan orang tua, tetapi juga dari ketakutan dan keraguan dalam dirinya sendiri. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk menghancurkan semua penghalang ini?

Setiap malam, Sheilla terjaga, memikirkan langkah selanjutnya. Dia ingin melawan untuk cinta mereka, tetapi bagaimana dia bisa melawan harapan orang tuanya tanpa kehilangan segalanya? Derita dan keraguan menyelimuti hidupnya, dan ia tahu bahwa dia harus menemukan cara untuk menjembatani kedua dunia ini.

Dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir, Sheilla menyadari bahwa jalan di depannya akan sulit. Namun, satu hal yang pasti: dia tidak akan menyerah pada cinta yang telah tumbuh dengan indah di antara mereka. Dalam hatinya, ia berharap, semoga suatu hari, cinta dan kebahagiaan bisa bersatu tanpa ada dinding pemisah di antara mereka

Tidak ada komentar untuk "Cinta Terhalang (Sheilla), BAB 5"