CINTA TERHALANG, BAB 9

 Bab 9: Cinta yang Teruji

Keesokan harinya, kabar mengejutkan datang menghampiri Sheilla. Orang tuanya telah mengatur pertemuan dengan calon suami pilihan mereka, seseorang yang mereka anggap tepat untuk masa depan putri mereka. Sheilla merasa dunia seakan runtuh. Pikiran tentang Aidan yang tulus dan cinta yang mereka bangun semakin mengabur, digantikan oleh ketakutan akan kehilangan.

Di sisi lain, Aidan merasakan getaran aneh dalam hatinya. Dia mendengar kabar itu dari Sheilla, dan meskipun berusaha untuk tidak memperlihatkan emosinya, kepedihan itu menghujam kuat. Ia tahu betul betapa pentingnya keluarga bagi Sheilla, dan ia tidak ingin menjadi penghalang dalam hidupnya. Namun, melihat bagaimana orang tua Sheilla memaksakan keinginan mereka membuat hatinya hancur.

Pada hari pertemuan, Sheilla berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan dirinya. Ia memilih gaun sederhana, tetapi yang terasa paling nyaman. Setiap kali ia melihat refleksinya, bayangan Aidan melintas di pikirannya. "Apa yang akan terjadi padaku?" tanyanya pada diri sendiri. "Apakah aku akan bisa menyampaikan perasaanku tanpa hancur?"

Di ruang tamu, calon suami itu tiba. Namanya Rian, seorang pemuda yang tampak sempurna dalam pandangan orang tua Sheilla. Dia memiliki segalanya—latar belakang yang baik, pendidikan yang tinggi, dan pekerjaan yang menjanjikan. Sheilla tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa tertekan saat mereka berkenalan.

"Senang bertemu denganmu, Sheilla," ucap Rian dengan senyuman percaya diri. "Aku sudah mendengar banyak tentangmu."

Sheilla hanya bisa tersenyum kembali, tetapi hatinya kosong. Ketegangan semakin terasa ketika orang tuanya mulai mengobrol hangat dengan Rian, seolah-olah mereka telah menemukan calon menantu yang sempurna. Sheilla berusaha ikut terlibat dalam percakapan, tetapi pikirannya melayang pada Aidan. Apa yang sedang dilakukannya saat ini? Apakah dia merasa putus asa seperti dirinya?

Sementara itu, Aidan berada di kafe favorit mereka, duduk sendirian dengan secangkir kopi. Dia menatap jendela, melihat hujan yang mulai turun. Setiap tetes yang jatuh seakan mewakili hatinya yang remuk. Ia teringat akan momen-momen indah yang ia habiskan bersama Sheilla, tertawa, bercanda, dan saling berbagi mimpi. Semua itu kini terasa seperti kenangan yang jauh.

Namun, Aidan tahu ia tidak bisa menyerah. Cintanya pada Sheilla bukanlah hal yang bisa diabaikan. Dalam hatinya, ia percaya bahwa cinta yang sejati akan mengatasi segala rintangan. Dia meraih ponselnya, mempertimbangkan untuk menghubungi Sheilla dan menyemangatinya. Namun, dia juga tahu bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat.

Di rumah, suasana pertemuan semakin membingungkan bagi Sheilla. Ia merasa tertekan antara harapan orang tuanya dan perasaannya yang sebenarnya. Dalam hati, ia berdoa agar Aidan dapat mengerti keadaannya. Saat Rian mulai berbicara tentang rencananya untuk masa depan, Sheilla merasa semakin tidak nyaman.

 

"Aku ingin mengajakmu berkeliling ke tempat-tempat yang bagus, dan kita bisa merencanakan hidup bersama," kata Rian. Ucapannya terasa manis, tetapi tidak ada kedalaman di baliknya. Sheilla hanya bisa tersenyum kaku.

Di sisi lain, Aidan memutuskan untuk tidak hanya duduk diam. Dia ingin menunjukkan bahwa dia serius dengan perasaannya kepada Sheilla. Dia mengambil napkin dan mulai menulis surat. Dengan hati-hati, ia menuangkan semua perasaannya, menggambarkan betapa berharganya Sheilla baginya dan bagaimana ia tidak akan pernah berhenti memperjuangkan cinta mereka.

"Saat aku melihatmu, aku melihat masa depan yang penuh warna. Kita bisa menghadapi dunia ini bersama, meskipun banyak rintangan di depan," tulisnya dengan penuh harapan. Setelah selesai, ia menyelipkan surat itu ke dalam amplop dan bergegas menuju rumah Sheilla.

Di rumah, Sheilla berjuang untuk memfokuskan pikirannya pada percakapan yang berlangsung. Rasa bersalah terus menyiksanya. Ketika Rian melanjutkan pembicaraannya, Sheilla tidak bisa menahan diri untuk memikirkan Aidan. Apakah dia sedang berjuang untuk mempertahankan cinta mereka?

Saat Aidan tiba di rumah Sheilla, ia merasakan ketegangan yang menyelimuti udara. Dengan hati berdebar, ia mengetuk pintu. Ketika Sheilla membuka pintu, semua kata-kata yang ingin ia sampaikan terasa meluap-luap dalam hatinya. Dia hanya berharap Sheilla merasakan cinta yang sama.

Pertemuan ini akan menguji seberapa kuat cinta mereka. Sheilla, terjebak antara harapan dan realita, harus segera mengambil keputusan yang akan menentukan arah hidupnya. Di satu sisi, ada Rian dengan segala impian dan harapan orang tuanya, dan di sisi lain, ada Aidan—cinta sejatinya yang siap memperjuangkan mereka berdua.

Tidak ada komentar untuk "CINTA TERHALANG, BAB 9"