CINTA TERHALANG, BAB 8
Bab 8: Menghadapi Orang Tua
Hari itu terasa lebih menegangkan daripada biasanya bagi
Sheilla. Setelah berhari-hari berjuang dengan perasaannya, ia akhirnya
memutuskan untuk berbicara dengan orang tuanya tentang Aidan. Selama ini, ia
merasakan ada sesuatu yang terpendam di dalam dirinya, dan sekarang adalah
waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Ia tahu ini akan menjadi pertemuan
yang sulit, tetapi ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang.
Malam itu, Sheilla mengumpulkan keberanian. Di ruang tamu,
orang tuanya sedang menonton televisi. Suasana tampak tenang, tetapi Sheilla
merasakan ketegangan yang menyelimuti hatinya. Ia menarik napas dalam-dalam,
berusaha menenangkan diri sebelum memulai percakapan. “Ibu, Ayah, ada sesuatu
yang ingin aku bicarakan,” katanya pelan.
Kedua orang tuanya menoleh, tampak penasaran. “Apa itu,
Sayang?” tanya ibunya dengan nada lembut, meskipun raut wajahnya menunjukkan
sedikit kekhawatiran.
“Ibu, Ayah,” Sheilla melanjutkan, “aku ingin membicarakan
tentang Aidan.” Saat namanya disebut, wajah ayahnya seketika berubah.
“Aidan? Itu anak yang kau kenal di sekolah?” Ayahnya
mengerutkan dahi. “Kamu tahu bahwa kami tidak setuju dengan hubungan ini.”
Sheilla merasakan jantungnya berdebar. “Tapi aku merasa ada
sesuatu yang spesial di antara kami. Aidan selalu mendukungku, dia mengerti
siapa diriku. Aku sangat mencintainya.”
Ibunya menggelengkan kepala. “Sheilla, cinta tidak cukup
untuk membangun masa depan. Kamu harus berpikir jernih. Aidan bukan orang yang
tepat untukmu,” katanya, berusaha menahan emosi.
Sheilla merasa kekecewaan meluap-luap. “Ibu, aku mengerti
bahwa kalian ingin yang terbaik untukku, tetapi aku juga punya hak untuk
memilih siapa yang aku cintai. Aidan bukan orang jahat. Dia baik dan
bertanggung jawab.”
Ayahnya berdiri, tampak marah. “Sheilla, kami tidak akan
membiarkanmu terjerumus dalam hubungan yang tidak jelas. Apa kamu tidak
memikirkan masa depanmu? Kami sudah merencanakan segala sesuatunya untukmu!”
“Saya tidak ingin hidup sesuai rencana yang kalian buat!”
Sheilla berteriak, merasa putus asa. “Aku ingin mengejar kebahagiaanku sendiri.
Mengapa kalian tidak bisa mengerti?”
Ada keheningan yang menyesakkan di ruang tamu. Sheilla
merasakan air mata mengalir di pipinya. Ia ingin berteriak, tetapi semua
kata-kata terasa terjebak di tenggorokannya. “Cinta itu penting, dan Aidan
adalah orang yang membuatku bahagia,” ia melanjutkan, suaranya bergetar.
Orang tuanya saling memandang, kebingungan dan kekhawatiran
mencampuri ekspresi mereka. “Sheilla, kau masih muda. Kamu belum bisa melihat
gambaran besar dari hidup ini,” ibunya berkata lembut, berusaha mengingatkan
putrinya akan realitas.
“Justru aku ingin mengatur hidupku sendiri! Aku bukan anak
kecil lagi. Dan jika kalian terus menolak Aidan, aku tidak tahu apa yang akan
terjadi pada kita,” kata Sheilla, merasa tertekan oleh perasaan tak terduga
ini.
Ayahnya kembali berbicara, suaranya tegas. “Kalau itu
pilihanmu, kami tidak bisa mendukungnya. Kami harap kamu bisa memahami bahwa
keputusan ini diambil demi kebaikanmu.”
Kata-kata itu seperti palu yang menghantam jiwanya. Sheilla
merasakan kepedihan yang mendalam. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Dia
merasa terjebak dalam dua dunia—cinta yang tulus dan harapan orang tua. “Ini
bukan tentang kalian. Ini tentang hidupku!” ia berseru, tetapi hatinya semakin
berat.
“Kalau begitu, pikirkan baik-baik,” kata ibunya, suaranya
penuh kesedihan. “Kami tidak ingin melihatmu tersakiti.”
Sheilla mengangguk, tetapi di dalam hatinya, rasa sakit
terus menggerogoti. Dia tahu bahwa orang tuanya hanya berusaha melindunginya,
tetapi penolakan mereka terhadap Aidan membuatnya merasa sendirian. “Aku butuh
waktu untuk berpikir,” ujarnya pelan, sebelum pergi ke kamarnya.
Di dalam kegelapan kamarnya, Sheilla merenung. Semua
kenangan indah bersamanya dan Aidan berputar di pikirannya. Ia teringat akan
tawa, perbincangan hangat, dan dukungan Aidan saat ia merasa terpuruk. Cinta
mereka bukan hanya sebuah fantasi; itu adalah sesuatu yang nyata dan berharga.
Sheilla menyandarkan kepala di bantal, mencoba menahan air
mata. Mengapa semua ini terasa begitu sulit? Ia tahu bahwa cinta sejatinya
harus diperjuangkan, tetapi ia juga tidak ingin menghancurkan hubungan dengan
orang tuanya. Dalam dilema ini, satu hal menjadi jelas: ia harus membuat
keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Saat malam menjelang, Sheilla bertekad untuk berbicara
dengan Aidan. Ia ingin mengungkapkan semua perasaannya, termasuk ketidakpastian
dan kebimbangannya. Ini adalah cinta yang teruji, dan ia tahu bahwa setiap
hubungan menghadapi rintangan. Namun, apakah cinta mereka cukup kuat untuk
menghadapinya?
Tidak ada komentar untuk "CINTA TERHALANG, BAB 8"
Posting Komentar