CINTA TERHALANG, BAB 7

 Bab 7: Pilihan Sulit

Sheilla duduk di tepi ranjangnya, menatap jendela. Di luar, hujan rintik-rintik menciptakan suasana melankolis, mencerminkan perasaannya yang berkecamuk. Di satu sisi, ada keinginan kuat dalam dirinya untuk mengikuti impian dan hasratnya—menjadi seniman. Namun, di sisi lain, ia merasakan beratnya harapan orang tuanya yang ingin melihatnya mengejar karir yang lebih "aman" dan "terhormat" di bidang kedokteran.

Setiap kali Sheilla berusaha membayangkan masa depannya sebagai seorang seniman, ia merasakan kegembiraan. Karya-karyanya, penuh warna dan emosi, membawanya ke dunia di mana ia bisa mengekspresikan diri tanpa batas. Namun, bayangan orang tuanya yang berharap agar ia mengenakan jas putih dan berjuang di rumah sakit selalu membayangi.

Ia ingat percakapan terakhirnya dengan ibunya. "Sheilla, ini bukan hanya tentangmu. Kami ingin yang terbaik untuk masa depanmu," ujar ibunya, nada penuh harap mengalun dalam suaranya. Kalimat itu terus berputar dalam benaknya. Seolah-olah tanggung jawab sebagai anak menjadi beban yang harus dipikul. Ia merasa terjebak antara keinginan untuk membahagiakan orang tua dan hasrat untuk menemukan jati dirinya.

 Di sekolah, teman-temannya mendukung impiannya. Mereka mengagumi karya seni yang ia buat dan seringkali mengingatkannya bahwa hidup ini terlalu singkat untuk tidak mengejar apa yang dicintai. Namun, saat mendengar pujian itu, Sheilla merasa bersalah. Apakah ia berhak mendapatkan dukungan itu sementara orang tuanya menginginkannya di jalur yang berbeda?

 Sheilla berusaha berdamai dengan dirinya sendiri. Ia mulai melukis lebih sering, menggunakan kanvas untuk merilis emosi yang terpendam. Setiap goresan kuas seolah membawa sedikit beban dari hatinya, tetapi setiap kali ia selesai, rasa cemas kembali menyergap. Bagaimana jika semua ini sia-sia? Bagaimana jika ia gagal dan mengecewakan orang tuanya?

Suatu malam, saat ia menyelesaikan lukisan yang penuh dengan warna cerah, Sheilla melihat refleksinya di kaca. Ia bertanya pada diri sendiri: "Apa yang benar-benar aku inginkan?" Pertanyaan itu membuatnya merenung. Di dalam hatinya, ia tahu jawabannya, tetapi mengatakannya keras-keras terasa seperti pengkhianatan.

Dalam waktu yang sama, berita tentang teman sekelas yang diterima di fakultas seni menghujani pikirannya. Teman itu berbagi betapa bahagianya ia bisa mengejar impiannya. Sheilla merasakan campuran bahagia dan cemburu. Ia ingin merasakan euforia itu, tetapi rasa takutnya menghalangi.

Akhirnya, Sheilla memutuskan untuk berbicara dengan orang tuanya. Ia tahu ini adalah langkah yang sulit, tetapi ia harus mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Dengan gemetar, ia mengumpulkan keberanian dan mengajak mereka duduk bersama.

"Ibu, Ayah," ucapnya pelan, "aku ingin berbicara tentang masa depanku." Ia merasakan detak jantungnya semakin cepat. "Aku tahu kalian ingin aku menjadi dokter, tapi aku merasa lebih hidup saat melukis."

Kedua orang tuanya saling memandang, wajah mereka menunjukkan campuran kekhawatiran dan kebingungan. Sheilla melanjutkan, "Aku ingin mengejar seni. Ini yang membuatku bahagia."

Silence mengisi ruangan. Sheilla merasa seperti waktu terhenti. Ia tahu pilihan ini bisa mengubah segalanya, tetapi dalam hatinya, ia berharap untuk diterima.

Pada akhirnya, pilihan yang sulit ini adalah momen penting dalam hidup Sheilla. Ia harus berani delving ke dalam dirinya sendiri dan menghadapi kemungkinan bahwa tidak semua harapan harus dipenuhi. Mungkin, ultimate kebahagiaan datang dari menjalani hidup sesuai keinginan hati, bukan hanya memenuhi ekspektasi orang lain.

Tidak ada komentar untuk "CINTA TERHALANG, BAB 7"