TEMANKU, BERCADAR. BAB 17 Ujian dari dalam Diri

 

Bab 17: Ujian dari dalam Diri


"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri."
(QS. Ar-Ra’d: 11)

Hari-hari sebagai wakil ketua Rohis mulai terasa berat.

Bukan karena tugas yang bertumpuk. Bukan juga karena rapat yang sering pulang sore. Tapi karena sesuatu yang lebih sulit: suara dalam diriku sendiri.

Suara itu kadang muncul setelah acara usai dan semua orang pulang. Saat aku sendiri di ruang Rohis yang sepi.

“Apa kamu cukup pantas jadi pemimpin?”
“Apa kamu nggak hanya meniru Zahra?”
“Apa kamu benar-benar tulus, atau hanya ingin terlihat baik?”

Aku mencoba menepisnya, tapi lama-lama pertanyaan itu membesar. Mengganggu. Mengikis semangatku sedikit demi sedikit.

Satu sore, setelah briefing kecil untuk program pekanan, aku tertinggal sendiri di ruang Rohis. Zahra harus pulang cepat karena ibunya sakit. Alya sedang ijin ujian tambahan.

Aku duduk menatap dinding kosong, lalu menutup wajah dengan kedua tangan.

“Kenapa justru setelah aku menerima tanggung jawab ini... aku merasa rapuh?”

Pikiran itu terus berputar. Aku mulai membandingkan diriku dengan Zahra. Ia tenang, sabar, tutur katanya selalu lembut. Sedangkan aku? Masih sering bingung memilih kata, mudah gugup, dan kadang... malah merasa lelah sendiri.

Keesokan harinya, saat diskusi kajian, aku mendapati diriku sulit fokus. Beberapa teman mulai bertanya hal-hal yang dulu biasa aku jawab, tapi kali ini malah membuatku bungkam.

“Ada apa, Nay?” tanya Alya ketika kami hanya berdua di mushola.

Aku menunduk. “Aku capek, Alya. Bukan capek fisik. Tapi kayak... capek sama pikiranku sendiri.”

Alya menatapku lekat. “Kamu mulai ragu sama dirimu sendiri?”

Aku mengangguk.

Dia tersenyum pelan. “Nay... kamu ingat nggak, kita pernah bahas tentang ‘dakwah itu bukan untuk sempurna’?”

Aku mengangguk lagi.

“Justru orang-orang seperti kamu yang paling layak jadi pelayan dakwah. Karena kamu tahu, bahwa kamu bukan siapa-siapa. Kamu berjuang bukan karena kamu besar. Tapi karena kamu tahu Allah Maha Besar.”

Malam itu, aku membuka mushaf dengan tangan yang sedikit gemetar. Membaca satu ayat yang terasa seperti tamparan sekaligus pelukan:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)

Aku menyadari, mungkin selama ini aku sibuk memperbaiki luar—acara, poster, pengumuman, rapat. Tapi aku lupa memperbaiki dalam. Aku lupa duduk sendirian hanya untuk bicara dengan Allah. Aku lupa bahwa rasa takut, minder, dan gelisah... hanya bisa sembuh jika aku menyerahkannya pada-Nya.

Keesokan harinya, aku datang lebih awal ke sekolah. Duduk di mushola sebelum bel masuk. Tidak membuka laptop. Tidak menulis to-do list. Tapi sujud lama-lama.

“Ya Allah...
Aku tahu aku bukan Zahra. Aku tahu aku penuh kekurangan.
Tapi aku ingin tetap berjalan di jalan ini.
Bukan karena aku kuat. Tapi karena aku yakin, Engkaulah yang menguatkan.”

Air mata jatuh satu-satu.

Dan entah kenapa, setelah itu... hatiku terasa lebih ringan.

Hari itu, aku memimpin kajian ringan tentang Tazkiyatun Nafs—pensucian jiwa. Dengan suara yang masih bergetar, aku berkata di hadapan teman-teman:

“Kadang, musuh terbesar kita bukan orang yang membenci dakwah. Tapi diri kita sendiri yang belum yakin kalau Allah cukup untuk mendukung kita.
Dan hari ini... aku ingin belajar meyakini itu kembali.”

Semua diam. Beberapa tersenyum. Beberapa menunduk dan mengusap mata.

Zahra, yang baru datang lima menit sebelum kajian usai, memelukku setelah acara selesai.

“Aku tahu kamu kuat bukan karena kamu selalu yakin. Tapi karena kamu tetap melangkah meski sedang ragu.”

Hari-hari berikutnya, aku mulai belajar mencintai peran ini dengan cara yang lebih sehat. Aku tak memaksakan semuanya harus sempurna. Aku belajar menerima jika ada hal tak berjalan sesuai rencana. Aku belajar memberi jeda. Mengisi ulang niat. Menyendiri untuk bermuhasabah.

Dan di setiap langkah itu, aku sadar satu hal:

Ternyata, ujian terberat bukan dari luar. Tapi dari dalam hati yang merasa tak layak, dan lupa bahwa Allah-lah yang membuat segalanya menjadi layak.

Bersambung....

Tidak ada komentar untuk "TEMANKU, BERCADAR. BAB 17 Ujian dari dalam Diri"