TEMANKU, BERCADAR. BAB 16 Kembali dengan Luka yang Sembuh

 

Bab 16: Kembali dengan Luka yang Sembuh

"Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."
(QS. Al-Insyirah: 6)

Pagi itu, angin berembus lembut di halaman sekolah. Sinar matahari menerobos sela dedaunan, menimbulkan bayangan cantik di lantai-lantai koridor. Aku dan Alya baru saja selesai mengecek papan pengumuman kegiatan Rohis saat terdengar suara langkah yang sangat kukenal.

Aku menoleh cepat.

“Zahra...?”

Dia berdiri di ujung lorong, mengenakan seragam lengkap dan cadar abu-abu lembut. Matanya tampak bercahaya. Bukan cahaya kesedihan seperti sebelumnya, tapi ketenangan—seperti seseorang yang sudah berdamai dengan badai besar.

Aku dan Alya langsung menghampiri dan memeluknya erat.

“Alhamdulillah... kamu kembali,” ucap Alya sambil berkaca-kaca.

Zahra tersenyum. “Aku nggak akan pergi lama-lama. Aku cuma perlu waktu... untuk menyembuhkan luka, dan menguatkan niat.”

Kami duduk di bawah pohon rindang dekat mushola, tempat favorit kami dulu.

“Kondisimu gimana sekarang?” tanyaku pelan.

Zahra menarik napas panjang. “Ayah belum sepenuhnya setuju. Tapi... beliau mulai luluh. Waktu aku jatuh sakit, beliau yang paling sibuk. Dan saat aku mulai pulih, aku banyak ajak beliau ngobrol, bukan berdebat. Aku bilang, aku tetap anaknya, meski bercadar. Aku tetap menghormati beliau, meski penampilanku beda.”

Alya mengangguk. “Dan akhirnya...?”

“Beliau berkata, ‘Ayah belum bisa paham, tapi kalau ini buat kamu jadi lebih baik, ayah ikhlaskan.’” Mata Zahra berkaca. “Dan itu... cukup bagiku.”

Kami bertiga terdiam, lalu tersenyum.

“Zah... sekolah banyak berubah waktu kamu pergi,” kataku.

Zahra menatap penasaran. “Berubah gimana?”

“Kami adain ‘Gerakan Salam Kebaikan’ seminggu penuh. Banyak siswa yang ikut. Bahkan guru juga,” jawab Alya antusias.

Zahra memejamkan mata sejenak. “Masya Allah... kalian luar biasa. Ini bukan tentang aku. Tapi tentang semangat kebaikan yang tetap hidup. Dan itu yang paling indah.”

Di ruang Rohis, kami mengadakan rapat kecil. Banyak anggota yang kaget dan senang melihat Zahra kembali. Tapi yang lebih mengejutkan adalah saat dia berkata:

“Teman-teman, aku sudah pikirkan ini. Aku ingin Nayla jadi wakil ketua Rohis. Dan suatu saat, mungkin menggantikan aku sebagai ketua.”

Ruangan hening.

Aku tercekat. “Zah... aku?”

Zahra mengangguk tenang. “Kamu sudah membuktikan bisa. Kamu bukan sekadar pendaftar kegiatan. Kamu penggerak. Kamu penyambung cahaya.”

Aku menunduk. Rasanya campur aduk. Antara bangga, takut, dan tidak percaya diri.

Alya menyentuh lenganku. “Kalau bukan kamu, siapa lagi?”

Aku menatap Zahra. “Aku belum sebaik kamu...”

Zahra tersenyum. “Dan aku juga belum sebaik kamu kira. Tapi kita belajar bersama. Ingat, yang Allah lihat bukan sempurnanya hasil, tapi niat dan kesungguhan kita.”

Hari-hari setelah itu, Zahra mulai membimbingku lebih dekat. Ia mengajarkanku bagaimana mengelola kegiatan Rohis, membuat susunan acara, sampai berbicara di depan orang banyak.

“Jangan takut kalau kamu gemetar di depan umum,” katanya. “Justru itu tandanya kamu sadar, bahwa tugas ini besar. Dan Allah akan bantu kalau kamu niatkan lillah.”

Aku mulai terbiasa memberi sambutan di acara kajian. Aku belajar mendengarkan lebih banyak, memberi keputusan, dan... mendampingi teman-teman yang sedang proses hijrah.

Dan anehnya... aku mulai menyukai peran ini.

Bukan karena terlihat ‘aktif’. Tapi karena aku tahu, setiap langkah kecil dalam dakwah—meski tak terlihat oleh banyak orang—selalu terlihat oleh Allah.

Suatu sore, Zahra menemaniku menempel poster kajian “Hijrah Tanpa Drama” di papan pengumuman.

“Zah...” aku membuka suara. “Kalau kamu nggak kembali ke sekolah, apa aku tetap akan berjalan sejauh ini?”

Zahra diam sejenak. “Mungkin iya. Tapi mungkin juga tidak. Karena setiap orang butuh cahaya pertama untuk mulai melihat arah.”

Aku menatap matanya.

“Kamu cahaya itu, Nay. Dan sekarang... kamu jadi cahaya untuk orang lain.”

Malam itu, sebelum tidur, aku membuka mushaf dan membaca surat Al-Insyirah. Sampai tiba di ayat:

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”

Aku tersenyum.

Dan untuk pertama kalinya, aku menulis di jurnal tanpa rasa ragu:

“Ya Allah, terima kasih karena telah kirimkan Zahra dalam hidupku. Karena dari dirinya, aku belajar bahwa menjadi baik itu bukan perkara tiba-tiba... tapi perkara berani bertahan di jalan kebaikan, bahkan ketika kita ingin menyerah.”

Bersambung....

Tidak ada komentar untuk "TEMANKU, BERCADAR. BAB 16 Kembali dengan Luka yang Sembuh"