PENJUANG SUBUH, Bab 3: Ayyub, Sahabat Sejati
Bab 3: Ayyub, Sahabat Sejati
"Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain bagaikan bangunan
yang saling menguatkan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Pagi
berikutnya, Arkan kembali melangkahkan kaki ke Masjid Al-Hikmah. Meski masih
ada rasa kantuk dan tubuhnya seolah menuntut untuk tetap tidur, tekad di dalam
hatinya lebih kuat dari godaan itu. Ia ingat pesan Ustadz Rahmat: "Allah melihat usahamu, bukan hasil akhirnya."
Setelah
shalat Subuh berjamaah, Arkan mendekat ke halaqah kecil yang digelar di teras
masjid. Ada lima pemuda lain yang duduk melingkar di atas sajadah. Mereka
berbicara pelan, tertawa sesekali, namun tetap menjaga adab.
Ustadz
Rahmat menyapanya, "Arkan, duduklah. Hari ini kita belajar sedikit tafsir
surat Al-Fajr."
Dengan hati-hati, Arkan duduk di samping seorang pemuda berwajah ceria, memakai
kaus bergambar huruf Arab sederhana bertuliskan "Iqra."
“Nama
saya Ayyub,” kata pemuda itu sambil mengulurkan tangan.
“Arkan,” balas Arkan, menjabat tangan itu erat.
Ada
sesuatu dalam diri Ayyub yang membuat Arkan merasa nyaman. Wajahnya cerah,
senyumnya tulus, dan matanya penuh semangat.
Saat
halaqah dimulai, Ustadz Rahmat membacakan ayat:
"Demi fajar, dan malam-malam yang sepuluh..."
(QS. Al-Fajr: 1-2)
Arkan
mendengarkan dengan takzim. Setiap kata terasa menembus hatinya, seakan
membangunkannya lebih dalam dari sekadar bangun tidur — membangunkannya dari
kelalaian yang telah lama membelenggu.
Usai
halaqah, Ayyub mengajak Arkan duduk di pelataran masjid yang mulai disinari
cahaya keemasan fajar.
"Aku dulu juga susah banget bangun Subuh," kata Ayyub sambil tertawa
kecil.
Arkan tersenyum, merasa tidak sendiri.
"Serius,
Bro," lanjut Ayyub, "Dulu alarm bunyi lima kali pun aku tetap tidur.
Tapi setelah aku paham betapa mulianya Subuh, aku mulai lawan rasa malas itu.
Rasanya kayak... kayak perang melawan diriku sendiri."
Arkan
mengangguk. Ia merasakan hal yang sama.
"Kalau boleh tahu, kenapa kamu akhirnya bisa istiqamah?" tanyanya.
Ayyub
menatap langit yang mulai memerah, lalu menjawab pelan, "Karena aku ingin
menjadi saksi atas diriku sendiri di hadapan Allah. Aku nggak mau ketika
Malaikat Raqib dan Atid mencatat, catatanku kosong saat fajar."
Kata-kata
itu menghantam Arkan. Ia sadar, selama ini ia hidup hanya untuk dirinya sendiri
— tidur seenaknya, bangun sesuka hati, tanpa menyadari bahwa setiap detik
adalah kesaksian.
Mereka
berbicara lama di bawah sinar mentari pagi. Tentang kegagalan mereka bangun
Subuh di masa lalu, tentang betapa nikmatnya tidur, tapi lebih nikmat lagi
berdiri di hadapan Allah saat banyak manusia masih terlelap.
Ayyub
menceritakan cita-citanya: menjadi hafiz Qur'an dan mengajar anak-anak di desa
terpencil.
"Bukan buat pamer," kata Ayyub cepat-cepat, "Tapi karena aku
tahu... ayat-ayat Allah ini terlalu indah untuk aku simpan sendiri."
Arkan
merasa kagum. Ia sendiri bahkan belum hafal satu juz pun.
Namun, melihat semangat Ayyub, ia merasa dorongan kuat untuk memperbaiki
dirinya.
Ayyub
menepuk bahu Arkan sambil tersenyum lebar.
"Tenang, Bro. Kita semua mulai dari nol. Yang penting, kita mulai. Yang
penting, kita nggak berhenti."
Hari
itu, di teras Masjid Al-Hikmah yang sederhana, lahirlah persahabatan sejati.
Bukan sekadar teman bermain atau bersenda gurau. Tapi sahabat yang saling
mengingatkan dalam kebaikan, sahabat yang saling menguatkan untuk meraih ridha
Allah.
Sejak
hari itu, Subuh Arkan tak pernah lagi terasa sepi. Selalu ada Ayyub yang
mengirimkan pesan sebelum tidur:
"Bro, jangan kalah sama selimut. Sampai ketemu di masjid,
pejuang fajar!"
Pesan
sederhana, tapi menguatkan.
Tidak ada komentar untuk "PENJUANG SUBUH, Bab 3: Ayyub, Sahabat Sejati"
Posting Komentar