PEJUANG SUBUH, Bab 9: Subuh yang Sepi
Bab 9: Subuh yang Sepi
"Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka
mengubah keadaan diri mereka sendiri."
(QS. Ar-Ra'd: 11)
Udara
pagi masih dingin. Tapi ada yang berbeda dari suasana masjid Al-Hikmah hari
itu. Arkan datang seperti biasa — bahkan lebih awal dari sebelumnya — tapi saf
yang biasanya diisi para pejuang fajar tampak kosong. Hanya beberapa orang tua
dan Ayyub yang terlihat duduk di saf pertama.
Tak
ada suara langkah tergesa dari Rafi. Tak ada sapaan jenaka dari Amir. Bahkan
Faiz, si anak SMP yang selalu antusias, tak terlihat batang hidungnya.
Arkan
duduk di saf kedua, menatap sekeliling. Sunyi.
Usai
shalat, ia tetap duduk. Tak ada halaqah hari ini. Ustadz Rahmat sedang sakit,
dan hanya meninggalkan pesan singkat di grup WhatsApp komunitas:
"Jaga semangat kalian, meski saya tak hadir. Allah selalu
hadir."
Arkan
membuka ponselnya, menelusuri grup Pejuang Subuh. Sepi. Tak ada notifikasi baru
sejak dua hari lalu. Ia menggulir pesan-pesan lama: obrolan penuh semangat,
jadwal halaqah, stiker motivasi, tawa, bahkan candaan. Sekarang, hening.
Setelah
Subuh itu, Arkan pulang dengan langkah berat. Bukan karena lelah fisik — tapi
lelah hati.
Hari-hari
berikutnya, keadaan tak membaik. Anggota komunitas mulai jarang datang. Satu
per satu sibuk dengan urusannya masing-masing.
Rafi sedang mempersiapkan lomba desain kampus. Amir kembali larut dalam dunia
malam. Faiz tengah menghadapi ujian sekolah. Bahkan Ayyub pun kadang datang
terlambat.
"Maaf,
Bro," kata Ayyub pada suatu pagi, "semalam ada tamu dari pesantren,
aku kecapekan banget."
Arkan
hanya tersenyum. Ia tak ingin menghakimi. Tapi ia tahu betul: semangat itu
mudah menyala, tapi lebih mudah padam kalau tidak dijaga.
Ia
teringat kembali semangat Hana. Namun sejak kesehatannya menurun, Hana tidak
selalu bisa hadir. Kadang datang, kadang tidak. Tapi di setiap kehadirannya,
semangatnya tetap utuh. Sayangnya, yang lain tidak sekuat itu.
Suatu
malam, Arkan merenung sendiri di kamar. Lampu dimatikan. Pintu dikunci. Dalam
kesunyian, ia berbicara pada dirinya sendiri:
"Kenapa semua mulai menjauh? Apa semangat ini hanya euforia
sesaat?"
Ia
ingin marah. Tapi kepada siapa? Tidak ada yang salah dengan mereka. Mereka
hanya manusia — lemah, sibuk, dan mudah lupa.
Namun ada yang lebih membuat Arkan takut: bagaimana jika dirinya pun ikut
melemah?
Keesokan
paginya, Arkan tetap ke masjid. Saf makin sedikit. Tapi ia tak gentar. Ia
datang bukan untuk ramai-ramai. Ia datang untuk Allah.
Usai
shalat, ia menuliskan satu catatan di buku kecilnya:
“Jangan
tunggu ramai untuk menjadi benar. Jangan tunggu banyak orang untuk menjadi
teguh. Karena Allah menghitung langkahmu, bukan jumlah temanmu.”
Siang
itu, ia menemui Ayyub di taman belakang masjid.
“Ayyub,
menurutmu... apa gunanya kita terus berjuang kalau akhirnya semua mundur?”
Ayyub
menghela napas panjang. “Kalau kita berjuang karena manusia, kita akan berhenti
saat mereka pergi. Tapi kalau karena Allah... kita tetap melangkah, meski
sendiri.”
Arkan
menunduk. Ayyub benar. Perjuangan ini bukan kompetisi popularitas. Ini jihad
pribadi. Dan dalam jihad, kalah dan menang bukan diukur dari jumlah pengikut,
tapi dari seberapa teguh hati tetap lurus kepada Allah.
“Dulu,
Nabi Ibrahim pun sendiri saat semua menolak dakwahnya,” tambah Ayyub. “Tapi ia
tak mundur.”
Arkan
tersenyum. Hatinya mulai tenang kembali.
Malam
itu, ia menulis di grup komunitas:
“Teman-teman
Pejuang Subuh, tak apa jika kalian sedang sibuk. Tapi izinkan aku mengingatkan
dengan cinta: jangan terlalu jauh dari Subuh. Karena di situlah Allah menanti
kita dalam damai.”
“Bila
semangat kalian padam, lihatlah Hana. Bila waktu kalian sempit, lihatlah orang
tua yang tetap datang. Bila kalian merasa sendiri, ingatlah... kalian sedang
ditatap Allah di waktu fajar.”
Tak
banyak yang membalas. Tapi keesokan paginya, satu per satu mulai muncul lagi.
Rafi
datang lebih awal dari biasanya. Amir kembali hadir, meski wajahnya terlihat
lelah. Faiz mengirim pesan, “Hari ini aku gak bisa ke masjid, tapi aku shalat
Subuh di rumah. Insya Allah Jumat aku balik.”
Dan
pagi itu, saf masjid tak penuh. Tapi cukup untuk kembali menghangatkan hati.
Arkan
menatap ke depan. Di dinding belakang masjid, banner “Pejuang Subuh” masih
terpasang. Tak sobek, tak pudar. Seperti semangatnya — mungkin melemah, tapi
tak pernah mati.
Ia
tahu, ini bukan fase terakhir. Akan ada musim dingin lain, akan ada hari-hari
sepi berikutnya. Tapi selama ia tetap berdiri di saf itu, ia tahu: ia belum
kalah.
Karena
seorang pejuang sejati bukan yang hadir di saat ramai...
Tapi yang tetap bertahan, di saat saf mulai menyempit.
Tidak ada komentar untuk "PEJUANG SUBUH, Bab 9: Subuh yang Sepi"
Posting Komentar