PEJUANG SUBUH, Bab 6: Komunitas Pejuang Subuh
Bab 6: Komunitas Pejuang Subuh
Hari-hari
Subuh Arkan kini terasa berbeda. Ada semangat baru dalam setiap langkahnya
menuju masjid, ada tujuan yang lebih dari sekadar menunaikan kewajiban. Ia
tidak sendiri — setiap pagi, Ayyub sudah menunggunya, dan sesekali, beberapa
wajah baru turut meramaikan saf.
Suatu
pagi, setelah halaqah singkat bersama Ustadz Rahmat, suasana terasa lebih
hangat dari biasanya. Jamaah tak langsung bubar. Beberapa pemuda terlihat
berkumpul di teras masjid, membicarakan sesuatu dengan penuh semangat. Ayyub
melambai ke arah Arkan, menyuruhnya mendekat.
"Arkan,
sini!" serunya.
Arkan
melangkah cepat, lalu duduk bersama mereka. Ada empat pemuda lain yang belum
terlalu ia kenal. Salah satunya mengenakan jaket komunitas dakwah kampus,
satunya lagi membawa jurnal kecil berisi catatan. Yang lainnya tampak seperti
anak SMA, tapi wajahnya penuh semangat.
Ustadz
Rahmat duduk bersila di tengah lingkaran. Wajahnya tenang seperti biasa, namun
hari itu, ada semacam getaran di nadanya.
"Saya
sudah lama bermimpi," katanya, "agar masjid ini tak hanya menjadi
tempat shalat. Tapi menjadi titik awal kebangkitan para pemuda."
Para
pemuda menatapnya penuh perhatian.
"Lihat
sekeliling kalian," lanjut Ustadz, "Banyak anak muda terseret ke arus
malas, gadget, begadang, bahkan lupa shalat. Tapi kalian, yang hadir Subuh
seperti ini, adalah cahaya. Dan cahaya, kalau disatukan, bisa menjadi api yang
membakar kegelapan."
Sunyi
sesaat.
Lalu
Ayyub angkat bicara, "Kita bentuk gerakan, Ustadz. Gerakan kecil tapi
istiqamah. Yang ngajak anak muda bangun Subuh, ke masjid, belajar Qur’an."
"Setuju!"
seru pemuda bersuara lantang, yang memperkenalkan diri sebagai Rafi.
Ustadz
Rahmat mengangguk. "Apa nama gerakan ini?"
Semua
diam. Masing-masing mencoba memikirkan nama yang sederhana tapi bermakna.
Ayyub
menatap Arkan, seolah meminta pendapat.
Arkan
menunduk sejenak, lalu berkata pelan, "Pejuang Subuh."
Semua
menoleh.
Ustadz
Rahmat tersenyum, matanya bersinar. "Masya Allah. Itulah kita. Para
pejuang yang bangkit ketika dunia masih terlelap. Pejuang yang melawan kantuk,
dingin, dan malas demi Allah."
Dan
sejak hari itu, terbentuklah Komunitas Pejuang Subuh —
sekelompok pemuda yang bukan hanya menaklukkan waktu, tapi juga hawa nafsu
dalam dirinya.
Setiap
Subuh, setelah shalat, mereka berkumpul. Ada yang membaca Al-Qur’an bersama,
ada yang berdiskusi tentang akhlak, tentang adab, bahkan tentang masalah
pribadi yang menghambat mereka untuk istiqamah.
Mereka
juga menyusun agenda dakwah kecil.
Rafi membuat desain poster digital bertuliskan:
“Masjid bukan cuma tempat shalat. Tapi tempat bangkit.”
(Gabung Pejuang Subuh. Setiap hari. Masjid Al-Hikmah.)
Poster
itu disebar ke grup WhatsApp pemuda kampung dan ditempel di papan pengumuman
masjid. Hasilnya? Beberapa pemuda mulai hadir, meski masih malu-malu.
Salah
satunya adalah Amir, teman SMA Arkan yang dikenal sebagai “anak tongkrongan.”
Saat pertama kali hadir, ia datang dengan hoodie lusuh dan ekspresi
kebingungan.
“Gue
coba doang,” katanya waktu itu, “Siapa tahu dapet ketenangan.”
Dan
ia benar. Pagi itu, Amir duduk di saf belakang, mendengarkan lantunan ayat
dengan mata yang berkaca-kaca. Seusai shalat, ia berkata pada Arkan, “Subuh ini...
beda banget, bro.”
Komunitas
itu terus tumbuh. Tidak besar, tapi mengakar. Setiap anggotanya punya peran.
Ayyub mengurus halaqah Qur’an. Rafi mengelola media sosial mereka. Arkan
mendampingi para anggota baru. Dan setiap Jumat, Ustadz Rahmat mengisi kajian
khusus bertajuk "Pejuang di Saat Dunia
Tertidur."
Arkan
merasakan bahwa masjid kini benar-benar menjadi rumah kedua. Bukan hanya tempat
ia menyentuhkan dahi ke sajadah, tapi juga tempat ia membangun jiwa dan
menemukan keluarga baru.
Suatu
sore, Arkan duduk bersama ibunya di halaman rumah. Ia bercerita tentang
komunitas kecil itu. Tentang Ayyub, Rafi, Amir, dan para pemuda lain yang
sedang berjuang sepertinya.
Ibunya
tersenyum sambil mengelus kepala Arkan.
“Dulu Ibu minta kamu jadi anak shalih. Sekarang kamu bantu anak lain jadi
shalih juga. Itu lebih dari cukup, Nak.”
Arkan
mengangguk pelan, menahan haru.
Ia
tahu, perjuangannya baru saja dimulai. Tapi kini ia tak sendiri. Ia berjalan
bersama orang-orang yang sama-sama mengejar cahaya, di waktu ketika dunia masih
gelap.
Dan
mereka semua tahu:
Subuh bukan akhir dari malam. Tapi awal dari kebangkitan.
Tidak ada komentar untuk "PEJUANG SUBUH, Bab 6: Komunitas Pejuang Subuh"
Posting Komentar