PEJUANG SUBUH, Bab 4: Godaan Duniawi
Bab 4: Godaan Duniawi
Malam itu, kamar Arkan temaram, hanya diterangi cahaya dari layar laptop yang memantulkan warna-warna cerah. Tangannya bergerak lincah, matanya fokus pada layar, mulutnya kadang menggumamkan komentar, tertawa, atau mengumpat kecil. Ia sedang bermain gim online bersama teman-temannya.
Di
sudut meja, Al-Qur’an kecil yang sempat dibaca pagi tadi kini terabaikan,
tertutup sebagian oleh bungkus camilan. Ponsel di sebelahnya menunjukkan pukul
23.57, namun Arkan belum menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti.
“Lanjut
satu ronde lagi?” tulis salah satu temannya di kolom chat.
“Gas!” jawab Arkan cepat, tanpa berpikir panjang.
Malam
terus bergulir. Suara tawa dan ledakan virtual dari gim seakan menutup
suara-suara lain — suara hati, suara tanggung jawab, dan suara panggilan Allah
yang diam-diam mulai ditinggalkannya.
Padahal,
baru beberapa hari lalu, Arkan dan Ayyub berbincang panjang tentang istiqamah,
tentang Subuh yang menenangkan, dan tentang cita-cita menjadi pribadi yang
lebih dekat kepada Allah. Tapi malam ini, semuanya terasa jauh.
Ketika
jam menunjukkan pukul 02.17, barulah ia menutup laptop. Kepalanya berat,
matanya perih, namun ia puas.
“Lumayan... naik ranking,” gumamnya sambil meregangkan punggung.
Ia
rebah di kasur tanpa sempat membaca doa tidur. Sekejap mata tertutup, dan
tubuhnya terbenam dalam kantuk yang berat.
Alarm
Subuh meraung. Pukul 04.30.
Tapi telinga Arkan tak merespons. Ia hanya berguling, mematikan alarm tanpa
sadar.
Saat
matahari sudah tinggi dan burung-burung mulai ramai berkicau, barulah Arkan terbangun.
Matanya mengerjap pelan, lalu panik melihat jam.
“Ya
Allah... udah jam tujuh...” desisnya.
Ia
terduduk. Rasa bersalah menghantam dadanya seperti gelombang besar. Segala niat
baik yang ia tanam beberapa hari terakhir terasa hancur seketika.
Ia
duduk terdiam. Tak sanggup mengambil wudhu. Tak sanggup melihat wajahnya di
cermin.
Hari
itu, Arkan lebih banyak diam. Ia tidak membalas pesan Ayyub yang menanyakan
keberadaannya. Ia juga tidak muncul di masjid untuk halaqah rutin.
Sore
harinya, ia duduk di bangku taman kecil di dekat rumah. Pandangannya kosong.
"Kenapa aku gampang banget goyah... padahal baru beberapa hari
lalu aku merasa begitu kuat," batinnya.
Dalam
keheningan itu, seorang anak kecil berlari-lari sambil membawa mushaf kecil. Ia
berhenti di dekat Arkan, membuka halaman, lalu mulai menghafal keras-keras,
suaranya terdengar jelas:
"Wama hayatud dunya illa mataa’ul ghurur..."
"Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang
menipu." (QS. Al-Hadid: 20)
Arkan
menoleh. Anak itu mungkin hanya tujuh tahun. Tapi ucapannya — atau lebih
tepatnya ayat yang ia lantunkan — menampar hatinya.
Air
matanya jatuh. Satu, dua, lalu semakin deras. Ia merasa seperti anak kecil yang
kembali kehilangan arah.
Malam
itu, ia menelepon Ayyub.
“Bro... aku jatuh,” katanya lirih.
Ayyub
tidak menjawab dengan ceramah panjang. Ia hanya berkata:
“Kalau jatuh, berarti kamu sedang berjalan. Yang penting, jangan diam terlalu
lama di bawah.”
Ucapan
itu seperti cahaya kecil di ujung lorong. Arkan mengangguk, meski Ayyub tak
bisa melihat.
“Besok aku balik ke masjid,” katanya pelan.
“Insya Allah, aku tunggu di saf depan,” jawab Ayyub.
Keesokan
paginya, alarm Arkan kembali berbunyi. Matanya masih berat. Tapi malam tadi, ia
sudah tidur lebih awal. Ia sudah letakkan laptopnya di lemari dan memutus
koneksi internet sebelum jam 10.
Dengan
tubuh lelah tapi tekad yang kuat, ia bangun.
Bismillah, bisiknya.
Air
wudhu yang dingin membasuh rasa bersalah di hatinya. Satu per satu, rasa
gelisah larut bersama air yang mengalir. Ia mengenakan pakaian terbaiknya, lalu
keluar rumah dengan langkah yang ringan.
Masjid
Al-Hikmah terlihat seperti biasa. Tapi pagi itu, bagi Arkan, masjid itu terasa
seperti rumah setelah lama tersesat. Di teras, Ayyub sudah menunggunya.
Tanpa banyak kata, mereka hanya bertukar senyum, dan masuk bersama ke dalam
masjid.
Hari
itu, Arkan sadar bahwa godaan dunia memang tak pernah hilang. Tapi bukan
berarti ia harus terus kalah. Allah selalu membuka pintu bagi mereka yang mau
kembali.
Dan ia memilih kembali. Untuk Subuh. Untuk dirinya. Untuk Allah.
Tidak ada komentar untuk "PEJUANG SUBUH, Bab 4: Godaan Duniawi"
Posting Komentar