PEJUANG SUBUH, Bab 10: Nasehat Ustadz Rahmat
Bab 10: Nasehat Ustadz Rahmat
"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Pagi
itu, angin berembus pelan membawa aroma basah dari tanah yang semalam diguyur
hujan. Arkan berjalan sendirian menuju masjid. Ia tahu, beberapa sahabatnya tak
akan datang pagi ini. Ayyub sedang ke luar kota mengikuti pelatihan hafiz, Rafi
lembur mengerjakan proyek kampus, Amir baru saja sakit.
Masjid
sunyi. Hanya ada tiga orang tua yang mengisi saf depan. Arkan memilih duduk di
saf kedua, menatap kosong sajadah di depannya. Entah kenapa, semangat yang
biasanya membuncah di Subuh terasa menurun pagi ini. Ia merasa... sepi.
Shalat
pun dimulai dan selesai tanpa halaqah. Saat ia hendak bangkit pulang, terdengar
langkah ringan dari arah belakang.
“Arkan,”
panggil suara lembut yang tak asing. Ia menoleh.
Ternyata Ustadz Rahmat.
Arkan
tersenyum dan berdiri menyambut. “Ustadz sudah sehat?”
“Alhamdulillah,
cukup untuk bisa duduk di sini lagi,” jawabnya sambil duduk bersila di atas
sajadah.
Tanpa
basa-basi, Ustadz mengajak Arkan duduk bersamanya. Mata sang Ustadz tampak
lebih dalam dari biasanya, dan senyumnya penuh makna.
“Aku
dengar semangat para pejuang sedang diuji?” tanyanya pelan.
Arkan
tertunduk. “Iya, Ustadz. Banyak yang sibuk. Banyak yang lelah. Aku juga...
jujur saja, rasanya seperti kehilangan arah. Kami berjuang, tapi makin lama
makin sedikit. Kadang bertanya... untuk apa semua ini, kalau akhirnya hanya
segelintir yang bertahan?”
Ustadz
Rahmat mengangguk, tak langsung menjawab. Ia memandang ke langit yang mulai
memerah, lalu berkata, “Tahukah kamu, Arkan... siapa yang pertama kali
membangun Ka’bah?”
“Ibrahim,
‘alaihissalam,” jawab Arkan mantap.
“Sendirian.
Di tengah padang tandus. Tak ada jamaah. Tak ada pengikut. Tapi ia tetap
mendirikan rumah Allah — bukan untuk manusia melihatnya, tapi untuk Allah
menyaksikannya.”
Arkan
terdiam. Kata-kata itu terasa menusuk langsung ke jantung hatinya.
“Kalau
Ibrahim hanya bekerja karena ada yang melihat,” lanjut Ustadz, “mungkin ia tak
akan mulai membangun apa pun. Tapi ia membangun karena Allah, bukan karena
manusia.”
Ustadz
menatap Arkan dalam-dalam. “Begitu juga kamu, Nak. Apa pun yang kamu bangun —
komunitas, semangat, gerakan, masjid penuh — kalau bukan karena Allah, maka
akan lelah, akan runtuh, akan kecewa.”
Arkan
menahan napas. Kalimat itu menghentikan gelisahnya seketika.
“Subuh
bukan soal ramai,” lanjut Ustadz, “Subuh adalah soal siapa yang bertahan. Dan
keikhlasan adalah bahan bakar satu-satunya yang membuat seseorang bertahan
lama.”
Mereka
duduk cukup lama. Arkan menceritakan semua yang ia rasakan — mulai dari
kekosongan saf, kembalinya sahabat-sahabatnya ke kesibukan dunia, sampai rasa
takut bahwa perjuangannya tak lagi bergema.
“Ustadz...
apa gunanya berdakwah kecil seperti ini kalau akhirnya hanya sedikit yang
berubah?” tanyanya lirih.
Ustadz
tersenyum, lalu berkata:
“Dakwah
bukan soal mengubah semua orang. Tapi soal kamu sendiri tidak berubah menjadi
lelah.”
“Kalau
kamu bisa menyelamatkan satu jiwa dari Subuh yang terus tertidur, itu lebih
baik dari dunia dan isinya. Dan kalau kamu tak bisa menyelamatkan siapa pun,
tapi kamu sendiri selamat — itu pun kemenangan.”
Air
mata Arkan mengalir perlahan. Ia merasa dibersihkan dari dalam. Semua beban,
semua kekecewaan, seakan meleleh di bawah matahari pagi yang mulai naik.
Sebelum
mereka berpisah, Ustadz memberi pesan terakhir:
“Jangan
ukur sukses dakwah dari jumlah yang datang. Ukur dari seberapa jujur niatmu
tetap tertambat pada Allah. Kamu akan kuat, Arkan. Karena kamu sudah tahu arah.
Kini tinggal menjaga niat.”
Hari
itu, Arkan menulis satu catatan baru di jurnal pribadinya:
“Aku
bukan siapa-siapa. Tapi aku mau jadi seseorang yang Allah kenal — karena
Subuhku, bukan karena followers-ku. Aku ingin hadir bukan karena dilihat, tapi
karena dipanggil.”
Ia
tak lagi menanti saf penuh. Ia tak lagi gelisah melihat teman-temannya absen.
Ia hanya ingin satu hal: terus hadir di Subuh, karena Allah memanggilnya.
Dan
sejak hari itu, langkah Arkan tak pernah goyah. Ia belajar, ia mengajar, ia
terus menjadi pelita — meski hanya menerangi satu orang. Karena bagi seorang
pejuang sejati, satu langkah lillah... lebih berarti dari seribu langkah untuk
dunia
Tidak ada komentar untuk "PEJUANG SUBUH, Bab 10: Nasehat Ustadz Rahmat"
Posting Komentar