Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 7-8
Bab 7: Jalan Sunyi
Jalan
setapak di tepi hutan itu basah oleh embun pagi. Suara dedaunan yang bergesekan
tertiup angin membentuk irama sunyi yang menenangkan. Rafi berjalan pelan di
antara rimbunnya pohon pinus, jauh dari keramaian pesantren, menyendiri—seperti
yang belakangan ini ia rasa perlu ia lakukan.
Ia
baru saja selesai dari wirid subuh di masjid pesantren. Tapi hati kecilnya membisikkan
sesuatu yang aneh pagi itu: “Pergilah sebentar. Temuilah sunyi.”
Ia
tak tahu pasti mengapa. Tapi langkahnya terasa ringan. Seolah alam
mengantarnya. Ia terus berjalan hingga suara-suara pesantren menghilang
sepenuhnya, berganti dengan gumaman sungai kecil dan cuitan burung yang saling
bersahutan.
Di
sebuah batu besar di pinggir aliran air, Rafi duduk. Ia menutup matanya.
Hatinya terasa tenang. Tapi justru dalam ketenangan itulah muncul sebuah
kegelisahan yang ia sendiri tak pahami.
“Apa yang sebenarnya kucari selama ini?”
Pertanyaan
itu kembali muncul, seperti gema yang tak pernah selesai. Ia merasa sudah jauh
dari hidup lamanya. Sudah banyak ia tinggalkan. Tapi mengapa masih ada ruang
kosong yang belum terisi?
Ia
membuka mushaf kecil yang selalu ia bawa dan membaca satu ayat secara acak.
Tangannya berhenti pada Surah Al-Ankabut, ayat 69:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh,
Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.”
Air
matanya jatuh pelan. Ia mengusap wajahnya. Ia sadar, jalan menuju Allah memang
bukan jalan ramai. Bukan jalan megah. Tapi jalan sunyi. Jalan yang kadang hanya
ia tempuh sendiri.
Jurnal Pagi, 06:30 WIB
“Aku
mulai memahami… bahwa tak semua perjalanan harus ditemani manusia. Ada
jalan-jalan yang hanya bisa kulewati bersama Allah. Dan pada jalan-jalan
itulah, cinta diuji: apakah aku mencintai karena banyaknya yang memuji, atau
karena benar-benar ingin dekat dengan-Nya.”
Sepulang
dari perenungannya itu, Rafi merasa ada ketetapan baru dalam hatinya. Ia ingin
lebih banyak diam. Bukan untuk menjauh dari manusia, tapi untuk lebih sering
mendengar suara langit.
Beberapa
hari kemudian, ia meminta izin kepada Kyai Umar untuk menjalani khalwat (menyepi) selama tiga hari di ruang kecil yang
ada di belakang masjid.
Kyai
Umar mengangguk. “Khalwat adalah jalan sunyi. Tapi bukan untuk melarikan diri
dari dunia. Melainkan untuk melihat dunia dengan mata hati.”
Rafi
membawa hanya mushaf, buku catatan, dan sedikit makanan. Di ruang kecil itu, ia
menghabiskan hari-harinya dengan shalat, membaca, dan menangis.
Pada
malam pertama khalwatnya, ia menuliskan sesuatu dengan tangan gemetar:
Jurnal Malam, 01:17 WIB
“Ya
Allah, malam ini aku hanya bersama-Mu. Tidak ada suara lain. Tidak ada lampu.
Hanya Engkau dan aku. Izinkan aku menyampaikan semua yang tak pernah terucap.
Rindu yang tak pernah aku pahami. Luka yang selama ini aku sembunyikan. Dan
harapan yang diam-diam selalu kupeluk.”
Di
malam kedua, ia terbangun menjelang Tahajud. Suara hujan rintik di atap kayu
menambah sunyi yang menggigit. Ia duduk, memeluk lutut, menangis lagi.
“Ya
Allah… aku rindu. Tapi aku bahkan belum tahu bagaimana cara merindukan-Mu
dengan benar. Aku sering mengatakan cinta, tapi mungkin hatiku belum jujur. Aku
minta tolong… ajari aku mencintai-Mu. Dengan sebenar-benarnya cinta.”
Air
matanya jatuh tak tertahan. Ia merasa seperti anak kecil yang tidak tahu harus
berbuat apa, selain menangis dan meminta.
Hari
ketiga, saat khalwat hampir selesai, Rafi membuka mushaf dan membaca ayat-ayat
tentang para nabi. Ia berhenti di kisah Nabi Ibrahim, saat beliau meninggalkan
kota, ayahnya, dan kaumnya… demi satu hal: Tuhan.
Dan
itulah jalan sunyi yang sesungguhnya—jalan pengorbanan total, karena cinta yang
total.
Jurnal Sore, 17:55 WIB
“Mereka
yang dicintai Allah selalu diuji dengan kesendirian. Tapi bukan kesendirian
yang menyiksa… melainkan kesendirian yang menyucikan. Aku ingin menjadi bagian
dari mereka, ya Allah. Meskipun berat. Meskipun sepi.”
Setelah
tiga hari khalwat, Rafi keluar dari ruang itu dengan wajah berbeda. Ada sorot
yang baru di matanya. Bukan kebahagiaan yang meledak, tapi kedamaian yang
dalam.
Kyai
Umar menyambutnya dengan senyum. “Bagaimana rasanya?” tanya beliau.
Rafi
menjawab dengan suara serak, “Sunyi itu bukan musuh, Kyai. Ia ternyata
jembatan. Jembatan menuju hati yang sebenarnya.”
Kyai
mengangguk. “Jalan sunyi adalah tempat terbaik untuk mendengar suara Tuhan.
Karena di sanalah suara dunia tidak bisa mengganggu.”
Hari-hari
berikutnya, Rafi menjalani aktivitas pesantren seperti biasa, tapi dengan hati
yang berbeda. Ia tidak lagi tergesa, tidak lagi gelisah. Ia telah menerima
bahwa perjalanannya tidak perlu selalu ramai. Ia sudah berdamai dengan sunyi.
Bab 8: Guru Kehidupan
Hari
itu hujan turun lembut di pelataran pesantren. Air membasahi tanah perlahan,
menimbulkan aroma segar yang menenangkan. Rafi duduk di teras depan ruang tamu
pesantren, memandangi titik-titik air yang jatuh dari ujung genteng. Pikirannya
melayang pada satu sosok—seseorang yang selama ini mendampingi langkah
sunyinya: Kyai Umar.
Sudah
hampir sebulan lebih ia tinggal di tempat itu, dan semakin hari, ia merasa
kedekatannya dengan sang kyai semakin dalam. Tidak hanya karena
nasihat-nasihatnya yang bijak, tapi karena cara hidupnya yang sederhana dan
penuh makna.
“Orang seperti ini… adalah guru kehidupan,” bisik
Rafi dalam hati.
Kyai
Umar bukan seseorang yang sering berceramah panjang lebar. Ia lebih banyak
diam, tapi setiap geraknya mengandung pelajaran. Ia menyapu halaman setiap pagi
tanpa diminta. Ia makan bersama santri di atas tikar lusuh, tanpa merasa
tinggi. Ia menyapa siapa saja dengan senyum, termasuk anak-anak kecil desa yang
datang hanya untuk bermain.
Suatu
sore, Rafi memberanikan diri untuk bertanya langsung.
“Kyai,
bagaimana caranya menjalani hidup seperti Kyai? Selalu tenang, sederhana…
seolah tidak pernah gelisah?”
Kyai
Umar tersenyum pelan. Lalu menjawab, “Karena aku tahu, hidup ini bukan untuk
mengumpulkan, tapi untuk mengikhlaskan.”
Rafi
mengernyit. “Mengikhlaskan?”
“Iya,
Nak. Orang yang sibuk mengumpulkan akan selalu takut kehilangan. Tapi orang
yang belajar mengikhlaskan, akan selalu punya ruang untuk menerima.”
Kata-kata
itu menusuk hati Rafi seperti pisau tajam yang menguliti perlahan.
Ia
merenung sepanjang malam. Ia sadar, selama ini hidupnya adalah tentang
‘mengumpulkan’—pengakuan, harta, pengaruh, bahkan ilmu. Tapi belum tentu ia
siap melepaskan semua itu jika diminta. Dan kini ia bertemu seseorang yang
hidupnya seolah tidak memiliki apa-apa, namun damainya tak bisa dibeli.
Jurnal Malam, 22:41 WIB
“Kyai
Umar adalah cermin hidup. Bukan karena ucapannya, tapi karena caranya berjalan
dalam hidup. Ia tidak mengejar, ia tidak menuntut. Tapi justru dari
ketenangannya, aku menemukan arah.”
Hari-hari
berikutnya, Rafi mulai mendekatkan diri pada sang Kyai. Bukan untuk belajar
kitab semata, tapi untuk belajar hidup.
Ia
ikut membersamai sang Kyai saat menyambangi warga desa yang sakit. Ia
menyaksikan Kyai Umar memijat kaki nenek tua dengan sabar, sambil membaca doa
pelan-pelan. Ia membantu Kyai membagi beras ke rumah-rumah miskin, tanpa
membawa kamera atau publikasi. Semuanya dilakukan diam-diam, seolah tak perlu
dunia tahu.
“Kenapa
Kyai tidak mau publikasi kegiatan amal ini?” tanya Rafi suatu hari.
Kyai
menjawab lembut, “Karena amal itu hanya cantik di mata Allah, bukan di layar
manusia.”
Jawaban
itu kembali membuat Rafi terdiam. Betapa jauh dirinya dari kesadaran itu. Ia
dulu senang dipuji saat membantu. Bahkan tak jarang, ia sendiri yang
mengunggahnya ke media sosial.
Satu
malam, Rafi mendapati Kyai Umar duduk sendiri di musholla, menangis. Ia ragu
mendekat, tapi rasa penasarannya lebih besar. Perlahan ia berjalan ke dalam.
“Kyai…
kenapa menangis?”
Kyai
mengangkat wajahnya yang basah. “Aku hanya sedang meminta ampun. Hidup ini
terlalu singkat untuk disibukkan oleh yang sia-sia. Tapi seringkali aku masih
lalai…”
Rafi
terpana. Bahkan seorang yang bijak seperti Kyai Umar masih merasa penuh dosa.
Sedangkan dirinya dulu begitu angkuh, seolah amal kecilnya sudah cukup untuk
merasa baik.
Malam
itu, ia sujud lebih lama dari biasanya.
Jurnal Dini Hari, 03:01 WIB
“Aku
belum menjadi murid yang baik. Tapi aku telah menemukan guru terbaik: guru yang
mengajarkan bukan hanya dengan ilmu, tapi dengan sikap. Guru yang tidak
meninggi saat mengajar, tapi merendah agar mudah didekati. Guru yang tidak
memaksakan dirinya untuk dikagumi, tapi justru membuatmu mencintainya tanpa
syarat.”
Beberapa
hari kemudian, saat Rafi membantu menanam bibit cabai bersama santri dan Kyai
di kebun belakang, ia bertanya pelan,
“Kyai…
mengapa Kyai tidak pernah marah pada santri yang malas?”
Kyai
tersenyum sambil menancapkan bibit.
“Karena
mungkin aku pun pernah seperti mereka. Siapa tahu besok, mereka lebih baik
dariku. Tugas kita hanya menanam. Yang menumbuhkan… hanya Allah.”
Jawaban
itu kembali menampar Rafi. Ia teringat masa lalunya yang sering menghakimi. Ia
mudah sekali menganggap orang malas, bodoh, atau tidak bernilai. Tapi ia lupa,
dulu pun dirinya datang ke pesantren ini dengan hati yang kacau.
Malam
itu, Rafi merenungi peran Kyai Umar dalam hidupnya. Ia sadar, perjalanannya
bukan hanya soal mengenal Allah, tapi juga mengenal manusia yang menjadi jalan
menuju-Nya.
“Allah
tidak turun dari langit untuk menuntunku. Tapi Dia mengirimkan seseorang… yang
menunjukkan wajah kasih-Nya di bumi.”
Jurnal Malam, 23:11 WIB
“Kyai
Umar bukan sekadar guru. Ia adalah teladan. Dan lewat dirinya, aku belajar…
bahwa menjadi dekat dengan Allah bukan berarti menjadi asing bagi manusia.
Justru, semakin seseorang mengenal Tuhannya, semakin ia menjadi rahmat bagi
sekelilingnya.”
Pada
suatu subuh, setelah shalat berjamaah, Kyai Umar memeluk Rafi pelan dan
berkata,
“Teruslah
belajar. Tapi jangan hanya belajar dari kitab. Belajarlah dari hati. Karena
hati yang jujur… akan selalu membawa seseorang lebih dekat kepada Allah.”
Rafi
menangis dalam pelukan itu. Ia merasa seperti anak yang baru menemukan sosok
ayah spiritualnya—yang membimbing bukan dengan kekuasaan, tapi dengan cinta.
Dan
ia tahu, selama hidupnya, ia akan mengenang Kyai Umar bukan hanya sebagai guru
agama, tapi sebagai guru kehidupan.
Tidak ada komentar untuk "Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 7-8"
Posting Komentar