Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 19-20
Bab 19: Kasih yang Diberi
Rafi tidak lagi hidup untuk dirinya
sendiri.
Hari-hari yang dulu penuh pencarian
kini berubah menjadi hari-hari untuk memberi. Hatinya tak lagi resah karena
mencari cinta, sebab ia telah menemukan sumber cinta sejati. Dan ketika hati
telah penuh, ia pun mengalirkan kasih itu kepada sekelilingnya — sebagai
cahaya, sebagai tangan yang terulur, sebagai pelukan yang tak banyak bicara
tapi banyak makna.
Ia tidak menjadi tokoh besar. Namanya
tidak dikenal media. Ia tidak berdiri di panggung-panggung luas atau menjadi
pembicara viral di internet. Tapi di mata orang-orang di sekitarnya, Rafi
adalah pribadi yang berbeda. Ia meneduhkan. Ia menguatkan. Ia memberi.
Di komplek perumahan tempat ia
tinggal, banyak anak-anak muda. Beberapa masih mencari arah hidup, beberapa
kehilangan harapan. Rafi sering kali mengajak mereka duduk di teras rumah
selepas maghrib. Tak ada ceramah. Hanya teh hangat, roti goreng buatan Nanda,
dan obrolan yang membumi.
Suatu malam, Yuda — tetangganya yang
masih kuliah — berkata lirih, “Bang, kadang gue bingung, ngapain sih hidup?
Rasanya kosong terus…”
Rafi tak menjawab dengan ayat
panjang atau dalil banyak. Ia hanya menatap Yuda, lalu berkata, “Mungkin karena
kamu belum mulai memberi.”
“Memberi?”
“Iya. Coba deh bantuin tetanggamu
yang janda tua itu bersih-bersih rumah. Coba beliin makan buat bapak ojek di
depan gang. Lihat deh rasanya kayak apa. Kadang hidup itu jadi penuh bukan
karena kita mendapat, tapi karena kita memberi.”
Yuda diam, mencerna. Dan sejak malam
itu, ia mulai sering terlihat membantu sana-sini. Bukan karena ingin pamer,
tapi karena ia menemukan bahwa kasih itu bisa menyembuhkan — bukan hanya orang
lain, tapi juga dirinya sendiri.
Rafi juga membentuk komunitas kecil
bersama Nanda. Mereka menamainya Langkah Kecil. Tujuannya sederhana:
menjadi wadah untuk menyalurkan bantuan kepada siapa pun yang membutuhkan,
tanpa ribut, tanpa pamer, tanpa struktur birokrasi yang rumit.
Mereka membuka dapur umum tiap hari
Jumat. Mengirimkan sembako diam-diam ke rumah-rumah yang tidak pernah meminta.
Mereka juga membuka kelas bimbingan belajar gratis bagi anak-anak di sekitar.
Nanda sering menjadi pengajar
matematika, sementara Rafi mendampingi anak-anak dalam hal akhlak dan motivasi.
“Kenapa gratis, Bang?” tanya seorang
kenalan.
“Karena kasih sayang Tuhan juga
nggak pernah pakai tarif.”
Dalam setiap kesempatan, Rafi
berusaha menanamkan nilai-nilai kebaikan — bukan lewat banyak kata, tapi lewat
tindakan nyata. Ia sadar, manusia lebih mudah meniru perbuatan ketimbang
mendengar nasihat. Maka ia membiarkan dirinya menjadi teladan diam-diam.
Jika ada tetangga sakit, ia yang
pertama datang. Jika ada masalah dalam lingkungan, ia mencoba menjadi penengah.
Bahkan jika ada anak muda terjerumus dalam pergaulan salah, Rafi tak langsung
menghakimi.
Ia pernah berkata kepada Nanda,
“Semua orang butuh kasih. Bahkan mereka yang paling menyebalkan, barangkali
justru yang paling haus akan cinta.”
Pada suatu malam, saat Rafi hendak
pulang dari masjid, ia melihat seorang remaja duduk termenung di pinggir jalan.
Wajahnya kusut, matanya sembab. Rafi menghampiri.
“Masih ada yang bisa didengarkan,
Nak,” kata Rafi lembut.
Anak itu menoleh perlahan. Namanya
Aldi, anak yatim yang tinggal dengan pamannya yang keras. Ia kabur dari rumah
karena merasa tidak dipedulikan.
Tanpa banyak tanya, Rafi mengajak
Aldi ke rumah. Ia memberi makan, mendengar ceritanya, lalu mengantar kembali ke
rumah pamannya sambil berbicara dari hati ke hati.
Sejak saat itu, Aldi sering datang
ke rumah Rafi. Kadang hanya duduk, kadang membantu menyapu halaman. Ia merasa
diterima, disayang, bukan karena prestasi atau kelakuannya — tapi karena
keberadaannya dihargai.
Banyak yang bertanya kepada Rafi,
“Apa sih rahasianya bisa setenang itu? Nggak pernah marah, nggak pernah emosi?”
Rafi hanya tersenyum. “Karena aku
belajar bahwa marah sering kali muncul dari ketakutan kehilangan. Tapi kalau
kita tahu semua milik Allah, apa yang mau ditakutkan? Kalau hidup ini untuk
memberi, maka tidak ada yang perlu dipertahankan selain keikhlasan.”
Ketika hati dipenuhi kasih, emosi
tak mudah menguasai. Dan ketika hidup menjadi ladang berbagi, maka tiap detik
menjadi ibadah.
Kasih yang ia beri bukan hanya dalam
bentuk materi. Tapi juga dalam perhatian, dalam waktu, dalam pengertian. Rafi
belajar bahwa kehadiran adalah hadiah terbaik yang bisa diberikan pada orang
lain.
Ia tidak lagi tergesa. Tidak lagi mengejar
ambisi kosong. Ia melambat, bukan karena lelah, tapi karena ingin benar-benar
hadir. Saat bersama orang tua, ia mendengarkan. Saat bersama istri, ia
menemani. Saat bersama tetangga, ia menghargai.
Dalam suatu pertemuan keluarga,
pamannya yang dulu sempat meremehkannya berkata, “Rafi, kamu sekarang jadi
orang yang disegani ya.”
Rafi hanya tersenyum, “Saya tidak
ingin disegani, Pak. Cukup diterima. Itu lebih dari cukup.”
Karena baginya, hidup bukan tentang
membuktikan siapa dirinya, tapi tentang memberi manfaat kepada sebanyak mungkin
orang.
Di puncak kehidupannya, Rafi tidak
duduk di kursi mewah atau mengendarai mobil mahal. Tapi ia duduk di tikar
kecil, dikelilingi anak-anak yang belajar membaca. Dan ia mengendarai sepeda ke
masjid dengan hati yang ringan.
Ia tak punya banyak tabungan, tapi
hatinya kaya. Ia tak punya banyak pujian, tapi doanya selalu tenang.
“Bang, hidup kayak gini cukup?”
tanya seorang sahabat lama yang datang berkunjung.
Rafi menjawab, “Kalau hatimu penuh,
maka segelas air pun terasa seperti pesta.”
Dan memang, ia hidup dalam pesta:
pesta keberkahan. Karena kasih yang ia beri, kembali padanya dalam bentuk
ketenangan, cinta, dan doa dari banyak hati.
Di ujung malam, saat semuanya
tertidur, Rafi kadang termenung di teras rumah. Ia menatap bintang dan berkata
dalam hati:
“Ya Allah… aku bukan orang hebat.
Tapi jika satu saja dari yang kutanam bisa tumbuh menjadi pohon kebaikan… itu
sudah cukup bagiku.”
Karena kasih yang diberi, sejatinya
bukan untuk menjadikan diri lebih tinggi. Tapi untuk menjadi jembatan bagi
cahaya Tuhan mengalir ke dunia.
Dan saat kasih itu mengalir —
diam-diam, tanpa pamrih — maka hidup pun menjadi ladang yang hijau. Bukan
karena suburnya dunia, tapi karena tumbuhnya cinta dari hati yang rela memberi.
Bab 20: Cinta yang Abadi
Malam itu sunyi. Angin berbisik
pelan di antara daun-daun, membawa dingin yang menyentuh kulit Rafi, tetapi
tidak membuatnya menggigil. Ia berdiri di teras kecil rumahnya, memandangi
langit yang gelap dengan taburan bintang-bintang cemerlang — seperti lukisan
Tuhan yang tak pernah pudar.
Dalam keheningan itu, hatinya terasa
penuh, tak hanya dengan udara malam yang segar, tetapi dengan segala cinta yang
telah mengalir sepanjang hidupnya. Cinta yang ia cari sejak lama bukan lagi
sesuatu yang mengawang-awang, bukan pula semata rasa yang menggebu-gebu. Cinta
itu kini kokoh, damai, dan abadi.
Rafi menarik napas dalam. Ia tahu,
perjalanan hidupnya bukanlah tanpa luka. Ada saat-saat gelap, saat hatinya
pernah remuk, saat ia pernah hampir menyerah. Namun semua itu telah menjadikan
dia seperti malam ini: tenang dan utuh.
Dalam hatinya, Rafi mengenang semua
momen itu: saat ia belajar menerima ujian, saat ia belajar berharap dan
berserah, saat ia belajar merindukan dan mencintai Tuhan dengan tulus.
Ia ingat betapa ia pernah terjatuh
dalam kegelisahan dunia, bagaimana ia merasa kehilangan arah, dan bagaimana
perlahan cahaya cinta Ilahi membimbingnya keluar dari lorong kelam itu.
Kini, cinta itu bukan lagi sebuah
kata abstrak. Ia adalah nafasnya, langkahnya, dan kehidupannya.
Rafi menatap ke atas, ke langit luas
yang tak terbatas. Bintang-bintang berkilauan, seolah menjadi saksi perjalanan
hidupnya. Ia tersenyum kecil.
"Cinta yang aku cari ternyata
bukan di dunia," bisiknya pelan, "melainkan di hati yang berserah dan
penuh syukur."
Ia menyadari bahwa cinta sejati
bukan hanya milik manusia yang saling mencinta, tapi juga cinta yang lahir dari
hubungan dengan Sang Pencipta. Cinta yang memampukan manusia untuk terus
memberi tanpa pamrih, untuk menerima tanpa keluhan, dan untuk berjalan meski
jalan itu berliku dan penuh duri.
Malam semakin dalam. Rafi merasakan
rindu yang tak terucapkan. Ia rindu untuk terus dekat dengan Tuhan. Rindu untuk
selalu berada dalam naungan kasih-Nya yang tiada batas.
Ia mengambil mushaf Al-Qur’an yang
tergeletak di dekat pintu dan membawanya ke teras. Membuka halaman-halaman yang
biasa ia baca saat hening malam.
Setiap ayat yang dibacanya seperti
bisikan lembut yang menenangkan jiwanya. Dalam setiap huruf, ia menemukan
kekuatan dan pengharapan.
Malam itu, Rafi berdoa lebih lama
dari biasanya. Ia berdoa bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk semua orang
yang pernah hadir dalam hidupnya — keluarga, sahabat, bahkan mereka yang pernah
menyakitinya.
"Aku mohon, ya Allah,
berikanlah mereka cinta-Mu yang abadi, seperti yang Engkau beri padaku,"
ia berbisik.
Waktu seakan berhenti sejenak. Rafi
merasakan kedamaian yang begitu dalam. Ia mengerti bahwa cinta yang abadi bukan
hanya tentang memiliki, tetapi tentang menyerahkan seluruh diri pada kehendak
Ilahi.
Cinta itu adalah pelabuhan terakhir
bagi setiap jiwa yang lelah. Dan di pelabuhan itulah Rafi berlabuh dengan hati
yang penuh rasa syukur.
Ia memejamkan mata, membiarkan
kesunyian malam menyelimuti, membawa hatinya lebih dekat pada Tuhan.
Rafi teringat perkataan gurunya
dahulu, bahwa cinta sejati adalah ketika manusia tidak lagi meminta, tetapi
memberi; tidak lagi berharap balasan, tetapi rela berkorban; dan tidak lagi
takut kehilangan, tetapi percaya sepenuhnya.
Kini, semua itu telah menjadi
kenyataan dalam hidup Rafi. Ia bukan lagi pemuda yang mencari-cari makna di
luar sana. Ia sudah menemukan makna itu dalam hatinya sendiri.
Dan makna itu adalah cinta yang
abadi.
Di tengah keheningan malam, Rafi
juga menengok perjalanan hidupnya yang penuh liku.
Ia pernah merasa sendiri, pernah
kehilangan arah, dan pernah terjatuh berkali-kali. Tapi ia tidak pernah
berhenti berusaha.
Setiap ujian adalah pelajaran,
setiap luka adalah tanda bahwa ia hidup dan terus berproses.
Dan kini, dalam setiap langkahnya,
ia berjalan dengan keyakinan bahwa cinta dan syukur adalah kunci utama menuju
kedamaian.
Rafi tersenyum mengingat semua orang
yang telah menemani perjalanannya. Keluarga yang selalu mendukung, sahabat yang
setia, dan istri yang menjadi cahaya hatinya.
Mereka adalah anugerah yang tak
ternilai. Ia tahu, tanpa mereka, ia tidak akan sampai di titik ini.
Ia berjanji dalam hati untuk terus
menjaga kasih sayang itu, bukan hanya untuk mereka, tetapi untuk setiap insan
yang ia temui.
Malam semakin larut. Rafi kembali ke
dalam rumah, menyalakan lampu kecil di meja kerja. Ia duduk, menuliskan
beberapa bait kata di jurnal kecilnya — sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan
untuk merekam perjalanan hati.
“Cinta yang abadi bukanlah tentang
keberadaan yang fana, melainkan tentang jiwa yang berserah, yang rela memberi,
dan yang tidak pernah berhenti berharap pada kasih Ilahi.”
Ia mengakhiri tulisan itu dengan
sebuah doa:
"Ya Allah, jadikan aku hamba
yang selalu mencintai-Mu dengan sepenuh hati, yang tidak pernah lelah memberi
kasih kepada sesama, dan yang selalu bersyukur dalam segala keadaan."
Keesokan paginya, Rafi memulai hari
dengan senyum. Ia tahu, setiap hari adalah anugerah baru untuk menghidupkan
cinta itu. Untuk menjadi cahaya bagi orang lain. Untuk menebarkan kasih tanpa
henti.
Ia berjalan ke masjid dengan langkah
ringan. Di sana, ia bertemu dengan wajah-wajah cerah yang telah menjadi bagian
hidupnya.
“Assalamu’alaikum, Rafi,” sapa
seorang anak kecil dengan riang.
“Wa’alaikum salam, Nak,” jawab Rafi
hangat.
Ia merasa diberkati, bukan karena ia
diberi, tapi karena ia bisa memberi.
Dalam setiap detik hidupnya yang
sederhana, Rafi menjalani makna cinta yang sesungguhnya.
Cinta yang abadi.
Yang tidak akan pudar oleh waktu,
tidak akan hilang oleh jarak, dan tidak akan musnah oleh apapun.
Cinta yang mengikat hati manusia
pada Sang Pencipta.
Cinta yang membuat hidup menjadi
bermakna.
Di ujung cerita ini, Rafi berdiri
lagi di teras malam. Kali ini, ia tidak hanya memandang langit, tetapi juga
memandang masa depan dengan penuh harapan.
Ia tahu, perjalanan hidup masih
panjang. Akan ada tantangan dan ujian baru.
Namun ia yakin, selama hatinya penuh
dengan cinta, rindu, dan syukur, ia siap menghadapi apapun.
“Terima kasih, ya Allah,” bisiknya.
“Untuk cinta-Mu yang abadi. Untuk hidup yang penuh makna. Untuk kesempatan
menjadi pribadi yang lebih baik setiap hari.”
Dan di bawah langit yang sama, Rafi
melangkah maju dengan jiwa yang damai — seorang pria yang telah menemukan cinta
sejatinya.
Tidak ada komentar untuk "Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 19-20"
Posting Komentar