Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 11-12

 Bab 11: Simpati Ilahi

Hujan turun pelan-pelan seperti air mata yang jatuh dari langit. Tidak deras, namun cukup untuk membasahi bumi dan menyelimuti kota kecil tempat Rafi tinggal dengan selimut abu-abu yang dingin. Duduk di teras rumah tua peninggalan almarhum ayahnya, Rafi memandangi rintik hujan yang menari di ujung daun. Di hadapannya, secangkir teh meluapkan aroma hangat yang kontras dengan dinginnya cuaca. Tapi hangat itu belum sanggup mencairkan beku di dadanya.

Selama beberapa bulan terakhir, hidupnya seperti dilanda badai bertubi-tubi. Ia kehilangan pekerjaan setelah perusahaan tempatnya bekerja selama tujuh tahun memutuskan untuk melakukan efisiensi besar-besaran. Tak lama berselang, ibunya yang sudah lama sakit, berpulang ke rahmatullah. Sebuah kehilangan yang mengiris jiwanya. Dan seakan belum cukup, kekasihnya yang telah menemaninya sejak bangku kuliah, memutuskan hubungan karena merasa lelah hidup dalam ketidakpastian.

Di tengah keterpurukan itu, Rafi sempat merasa kosong. Ia tak tahu harus marah kepada siapa. Dunia terasa tak adil, dan Tuhan terasa jauh. Ia mempertanyakan, “Mengapa aku yang mendapat semua ini? Apa yang telah kulakukan sampai pantas menerima ujian sebesar ini?”

Namun hari-hari berjalan terus, dan waktu — meski tidak menyembuhkan segalanya — perlahan melunakkan luka. Rafi mulai belajar menerima. Ia mulai melangkah ke masjid kecil di dekat rumahnya, bukan karena ingin menunjukkan kesalehan, tapi karena hatinya membutuhkan tempat berpaut. Setiap sujud yang ia lakukan, terasa seperti pengakuan: bahwa ia lemah, bahwa ia tidak mampu mengendalikan hidupnya sepenuhnya, dan bahwa ia membutuhkan sesuatu yang lebih besar dari dirinya untuk tetap bertahan.

Dari sana, ia mulai merasakan simpati yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Bukan simpati manusia, tapi simpati Ilahi. Bukan dalam bentuk jawaban atas semua pertanyaannya, tapi dalam bentuk ketenangan yang tak berasal dari dunia ini. Dalam sunyi malam, di antara lantunan doa-doanya yang terbata, ia mendapati ruang dalam hatinya yang perlahan-lahan terasa lapang.

Ia mulai menyadari bahwa penderitaan bukanlah hukuman. Bahwa Tuhan tidak sedang murka. Justru dalam penderitaan, Tuhan sedang mendidiknya, menguatkan akarnya agar tidak mudah tumbang di kemudian hari. Ia teringat pada sebuah hadis yang pernah ia baca: “Sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum, maka Dia mengujinya.” Dulu ia membacanya sambil lalu, sekarang ia mulai mengerti maknanya.

Hatinya tak lagi dipenuhi kemarahan. Ia berhenti menyalahkan hidup. Ia bahkan mulai belajar bersyukur — bukan karena segala kesulitan itu enak dijalani, tapi karena ia tahu, setiap luka mengajarkannya sesuatu yang tak bisa diajarkan oleh kenyamanan.

Di masa-masa seperti ini, ia pun menemukan kembali hal-hal sederhana yang dulu ia abaikan. Kicau burung di pagi hari. Senyum anak kecil tetangganya. Sapaan hangat dari penjual sayur yang lewat setiap subuh. Dan tentu saja, doa-doa diam-diam dari sahabat lamanya yang masih sesekali menghubungi, menanyakan kabar. Semua itu, meski kecil, terasa seperti pelukan dari semesta. Seperti Tuhan berbicara kepadanya lewat kejadian-kejadian biasa.

Rafi juga mulai menulis. Sebuah jurnal sederhana tempat ia menumpahkan pikirannya setiap hari. Di situ, ia tak perlu berpura-pura kuat. Ia bisa jujur tentang kesedihan, ketakutan, dan juga harapan-harapannya. Tulisan-tulisannya bukan untuk dibaca orang lain, tapi untuk dirinya sendiri — sebagai cara untuk berdamai dengan masa lalu dan menata masa depan.

Satu malam, ketika hujan kembali turun, Rafi membaca ulang tulisannya beberapa minggu yang lalu. Ia terkejut. Ternyata ia sudah sejauh ini. Dulu ia merasa dunia runtuh, kini ia mampu melihat cahaya di balik reruntuhan itu. Dulu ia merasa Tuhan diam, sekarang ia sadar bahwa Tuhan selalu hadir — hanya saja tidak dalam bentuk yang ia harapkan.

Pagi harinya, ia keluar rumah dan menatap langit. Awan masih menggantung, tapi di ufuk timur mulai tampak semburat jingga. Ada janji hari baru. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rafi tersenyum — bukan senyum yang dipaksakan, tapi senyum yang lahir dari kedamaian batin.

Ia tahu hidup tak akan serta-merta menjadi mudah. Ia tahu akan ada ujian lain yang datang. Tapi kali ini, ia merasa lebih siap. Ia tak lagi berjalan sendirian. Ia membawa serta simpati Ilahi yang telah menyentuh hatinya. Ia percaya, bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkannya — hanya sedang mengajaknya berbicara lewat cara yang berbeda.

Beberapa hari kemudian, Rafi menerima kabar bahwa sebuah komunitas menulis yang pernah ia ikuti membuka kesempatan bagi penulis untuk menerbitkan karya antologi. Awalnya ia ragu. Tapi ia ingat bahwa tulisan-tulisannya telah menjadi jembatan antara hatinya dan Tuhannya. Maka ia memutuskan untuk mengirimkan salah satu tulisannya — yang bercerita tentang kehilangan dan penerimaan.

Ia tidak berharap banyak. Tapi yang penting baginya bukan diterima atau tidak, melainkan keberaniannya untuk kembali bermimpi. Untuk pertama kalinya, ia menatap masa depan dengan harapan, bukan ketakutan. Dan itu saja sudah merupakan kemenangan besar.

Hari demi hari, langkah demi langkah, Rafi membangun kembali hidupnya. Bukan hidup yang sempurna, tapi hidup yang jujur. Ia bekerja paruh waktu sebagai editor lepas, mengajar anak-anak mengaji di mushola, dan tetap menulis. Di sela kesibukannya, ia masih suka duduk di teras rumah, menikmati hujan sambil menyesap teh hangat.

Di sana, dalam kesederhanaan itulah ia menemukan kebahagiaan yang hakiki — bukan dari banyaknya harta atau pencapaian, tapi dari kemampuan hatinya untuk bersyukur dan menerima. Ia telah belajar, bahwa dalam setiap luka, ada rahmat. Dalam setiap air mata, ada simpati Ilahi yang mengalir pelan, menenangkan jiwa.

Dan seperti hujan yang jatuh dari langit, simpati itu tidak selalu datang dengan gemuruh. Kadang ia hadir dalam diam, dalam sepi, dalam momen-momen sederhana. Tapi ketika hati sudah mampu menerimanya, maka hidup tak lagi terasa seperti beban, melainkan anugerah.


Bab 12: Mengharap Rahmat

Dalam sepi yang bersahaja, ketika malam menutup hari dengan lembut dan bintang-bintang mulai bermunculan malu-malu di langit, Rafi duduk bersila di atas sajadahnya. Angin malam meniup pelan lewat celah jendela, membawa aroma tanah basah dan bunga melati dari halaman. Suasana rumahnya sunyi, hanya detik jam dan suara serangga malam yang menemani.

Ia telah menyelesaikan shalat tahajud, namun belum beranjak dari tempatnya. Tangan yang tadi terangkat dalam doa kini tertelungkup di atas lutut. Ia menunduk dalam diam. Ada keheningan yang dalam, bukan hampa, tapi penuh. Penuh dengan kesadaran bahwa dirinya bukan siapa-siapa, dan di hadapan Tuhan, ia tak memiliki daya selain menyerah sepenuhnya.

Rafi tidak lagi berdoa dengan kata-kata yang panjang. Tidak lagi memohon secara rinci seperti dahulu. Ia hanya ingin dekat, hadir sepenuhnya. Dalam sujud terakhirnya, ia menemukan kelegaan yang tak bisa diberikan dunia. Ia merasa seperti seorang anak kecil yang lelah, lalu bersandar di pelukan ayahnya — aman, tenang, diterima tanpa syarat.

Hari-hari yang telah ia lalui mengajarkannya banyak hal. Tentang kehilangan, tentang perjuangan, dan yang paling dalam: tentang pengharapan. Ia menyadari bahwa rahmat Tuhan tidak datang hanya karena ia berusaha. Rahmat datang saat ia berhenti menggenggam segala sesuatu dan mulai membuka tangannya — menyerahkan semuanya kepada Tuhan, dan percaya sepenuhnya.

Ia ingat masa-masa ketika ia terus mengejar kepastian hidup, memaksakan kehendak, dan menggantungkan harapan pada manusia. Tapi semua itu rapuh. Ia dikecewakan, ditinggalkan, bahkan dihancurkan oleh harapan-harapan palsu yang ia ciptakan sendiri. Dan baru setelah semuanya runtuh, barulah ia mendengar suara yang selama ini teredam oleh ambisinya sendiri: suara Tuhan, suara cinta yang paling murni.

Ia belajar bahwa cinta Ilahi tidak hadir ketika hati masih penuh dengan dunia. Cinta-Nya menunggu, sabar dan lembut, hingga manusia benar-benar berserah. Bukan pasrah karena tak punya pilihan, tapi berserah karena sadar bahwa hanya kepada-Nya-lah tempat bergantung segala sesuatu.

Beberapa hari kemudian, Rafi memutuskan untuk mengunjungi pesantren kecil di kaki gunung, tempat ia dulu pernah mondok semasa SMA. Ia belum pernah kembali sejak lulus. Hatinya tergerak. Entah kenapa, ia merasa harus kembali ke tempat itu — mungkin untuk menenangkan diri, atau mungkin karena ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan di sana.

Perjalanan ke sana memakan waktu tiga jam dengan angkutan umum, ditambah satu jam berjalan kaki dari jalan besar menuju pesantren yang tersembunyi di balik hutan pinus. Tapi lelahnya perjalanan terbayar lunas ketika ia tiba. Udara bersih, suara gemericik sungai kecil, dan tawa santri yang sedang bermain bola di lapangan membuat hatinya hangat.

Kiai Mahfudz, pengasuh pesantren yang dulu sering menegur Rafi karena suka bolos tahajud, masih sehat. Wajahnya kini dipenuhi keriput, tapi sorot matanya tetap tajam dan bijak. Saat melihat Rafi, beliau tersenyum lebar, memeluknya seperti anak yang pulang setelah lama merantau.

“Wahai Rafi,” ujar beliau sambil menepuk bahunya, “aku tahu suatu hari kau akan kembali. Kau punya hati yang gelisah — dan hati yang gelisah itu selalu mencari Tuhan.”

Rafi hanya tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia tak menyangka betapa besar pengaruh tempat ini dalam pembentukan jiwanya.

Selama tiga hari, Rafi tinggal di sana. Ia membantu mencuci piring di dapur, mengajar anak-anak mengaji, dan ikut pengajian malam bersama santri. Waktu seolah melambat. Tidak ada hiruk pikuk dunia luar, tidak ada media sosial, tidak ada ambisi. Hanya ketenangan, kesederhanaan, dan doa.

Pada malam terakhirnya di pesantren, Kiai Mahfudz memintanya duduk di serambi masjid setelah salat Isya. Di sana, ditemani cahaya lampu temaram dan suara jangkrik, mereka berbincang.

“Kau tahu, Rafi,” ujar Kiai, “cinta Tuhan itu tidak seperti cinta manusia. Tuhan mencintaimu bahkan saat kau berpaling. Bahkan saat kau lupa berdoa. Tapi rahmat-Nya akan turun saat kau benar-benar mengharap. Bukan sekadar meminta, tapi menyadari bahwa kau tak punya apa-apa tanpa-Nya.”

Rafi menunduk, menyimak setiap kata.

“Rahmat itu seperti embun,” lanjut sang kiai. “Ia turun diam-diam, tak terlihat, tapi tiba-tiba kau merasa segar saat menyentuhnya. Begitulah Tuhan menenangkan hati. Kau mungkin tidak menyadari kapan perubahan itu datang, tapi tahu-tahu, luka itu sudah tak lagi perih.”

Malam itu, Rafi tidak menangis. Tidak seperti sebelumnya, ketika ia menangis karena sakit atau kesedihan. Kali ini, ia menangis karena sesuatu yang sulit dijelaskan — tangisan yang muncul dari hati yang merasa dicintai walau penuh cacat. Ia merasa seperti diselimuti rahmat, meski ia tahu ia belum pantas. Dan di situlah, justru ia merasa paling dicintai.

Keesokan harinya, saat fajar menyingsing, Rafi berpamitan. Ia kembali ke kotanya, tapi hatinya telah berubah. Ia tidak membawa banyak hal dari pesantren, hanya tas kecil berisi pakaian, beberapa buku tua, dan selembar nasihat dari Kiai Mahfudz yang ditulis di sehelai kertas: “Teruslah berharap, tapi bukan pada dunia. Gantungkan hatimu hanya pada Yang Maha Pemurah.”

Beberapa bulan berlalu. Komunitas yang ia dan Nanda rintis semakin berkembang. Ia semakin aktif berbagi tulisan-tulisan reflektif di media sosial. Kadang, ada yang membalas dengan komentar, “Tulisan ini seperti sedang bicara langsung kepadaku,” atau “Terima kasih, saya jadi merasa tidak sendirian.” Dan setiap membaca komentar-komentar itu, Rafi tersenyum — karena ia tahu, bukan dia yang menenangkan hati mereka, melainkan cinta Tuhan yang lewat melalui tulisannya.

Di waktu luangnya, Rafi juga mulai rutin mengisi pengajian kecil di mushola, membawakan tema-tema ringan seperti sabar, syukur, dan tawakal. Ia tak pernah memposisikan diri sebagai guru, hanya sebagai teman bercerita yang sedang belajar bersama. Dan di sana, ia menemukan makna hidup: memberi bukan karena merasa lebih tahu, tapi karena ingin menyalurkan apa yang dulu ia cari saat dirinya sedang gelap.

Setiap malam, sebelum tidur, Rafi masih duduk di atas sajadahnya. Kini, doanya semakin sederhana. Ia tidak meminta banyak, hanya satu: agar hatinya terus berharap kepada Tuhan, dan agar Tuhan tidak pernah mencabut rahmat-Nya dari jiwanya, sekecil apa pun.

Dan seperti embun yang turun tanpa suara, rahmat itu selalu datang. Kadang dalam bentuk ketenangan, kadang dalam bentuk orang-orang baik yang hadir, dan kadang dalam bentuk ujian baru yang justru menguatkan. Tapi kali ini, Rafi tidak takut. Ia tahu, selama ia berharap dan berserah, ia tak pernah sendirian.

Tidak ada komentar untuk "Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 11-12"