Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 5-6
Bab 5: Hadiah Tak Sempurna
Sore
itu, matahari perlahan turun, menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Rafi
duduk di bawah pohon mangga tua di halaman pesantren. Di depannya terbuka
sebuah mushaf kecil, namun pandangannya tidak sedang membaca. Ia melamun,
matanya menerawang ke arah langit yang mulai meredup.
Sudah
lebih dari dua minggu ia tinggal di tempat itu. Ia merasa lebih tenang dari
sebelumnya, lebih jernih dalam berpikir, dan lebih ringan menjalani hidup. Tapi
di balik ketenangan itu, ada satu pertanyaan yang masih mengganjal di hatinya:
“Apakah semua ini sudah cukup untuk disebut cinta?”
Ia
pernah membaca bahwa mencintai Tuhan bukan hanya tentang air mata dan ibadah.
Tapi tentang pengorbanan. Tentang pemberian yang tulus tanpa harap kembali. Dan
itu yang membuatnya gelisah. Ia merasa selama ini masih terlalu “menghitung”.
Shalat
dilakukan karena ingin tenang. Zikir karena ingin bahagia. Membaca Al-Qur’an
agar hati damai. Semuanya kembali pada dirinya. Padahal… bukankah cinta itu
tentang memberi, bukan hanya menerima?
Di
malam harinya, ia mendekati Kyai Umar di beranda masjid. Angin malam sejuk, dan
suara jangkrik terdengar jelas.
“Kyai…
saya merasa ibadah saya belum benar-benar murni. Saya merasa seperti sedang
memberikan hadiah kepada Allah… tapi hadiah itu tidak sempurna. Tidak indah.
Tidak berharga.”
Kyai
Umar tersenyum lembut, lalu menjawab:
“Hadiah
yang paling indah bukan yang dibungkus mewah. Tapi yang diberikan dengan tulus,
meskipun sederhana.”
“Tapi
saya masih merasa belum pantas.”
“Dan
justru karena merasa belum pantas, itu tandanya kamu sudah lebih dekat
pada-Nya.”
Rafi
terdiam. Jawaban itu menghangatkan hatinya, tapi sekaligus membuatnya ingin
menangis. Ia masih ingat betapa banyak dosa yang ia lakukan di masa lalu.
Betapa sering ia lalai. Dan kini, ia seperti datang membawa persembahan pada
Tuhan, tapi tangan yang membawa itu masih kotor.
Keesokan
harinya, pesantren kedatangan tamu: anak-anak yatim dari desa sekitar. Mereka
datang untuk ikut program santunan dan belajar mengaji. Rafi diminta membantu
membimbing beberapa dari mereka.
Seorang
anak lelaki bernama Fahri menarik perhatiannya. Umurnya mungkin baru delapan
tahun, kurus, dengan mata yang sangat dalam. Ia tidak banyak bicara, tapi
selalu mendengarkan dengan serius. Saat Rafi bertanya padanya, “Apa
cita-citamu, Fahri?” Anak itu menjawab pelan:
“Aku ingin masuk surga, Kak.”
Jawaban
itu menghantam Rafi. Sesederhana itu. Sejernih itu. Ia teringat masa kecilnya
sendiri, saat ia pun pernah bercita-cita demikian. Tapi seiring bertambahnya
usia, cita-cita itu digantikan oleh gelar, jabatan, dan pengakuan dunia.
Malamnya,
Rafi kembali menulis di jurnal:
Jurnal Malam, 22:33 WIB
“Ya
Allah, aku tahu… hadiahku belum sempurna. Ibadahku belum ikhlas. Cintaku belum
tulus. Tapi aku ingin Engkau tahu: aku sedang belajar. Aku sedang memperbaiki
niat. Aku sedang mencoba membungkus persembahanku dengan air mata, dengan
rindu, dan dengan malu.”
Beberapa
hari kemudian, Kyai Umar memberikan nasihat dalam pengajian malam.
“Ketahuilah…
ketika kamu memberikan sesuatu kepada Allah, jangan lihat nilainya. Lihat
hatimu saat memberi. Sedikit amal dengan hati yang bersih, lebih mulia daripada
banyak amal dengan niat tercemar.”
Rafi
menunduk. Hatinya terasa disentil. Ia mulai sadar bahwa selama ini ia terlalu
sibuk mengejar bentuk—panjangnya shalat malam, jumlah zikir, halaman yang
dibaca. Tapi ia lupa pada ruh di dalamnya.
Sejak
malam itu, ia mengubah pendekatannya. Ia tak lagi memaksakan ibadah untuk
memenuhi “target”, tapi berusaha hadir sepenuhnya di setiap sujud. Ia berusaha
menyapa Allah dengan hatinya, bukan sekadar gerak tubuh.
Suatu
malam, ia menulis lagi di jurnalnya, kali ini dengan tinta yang nyaris habis:
Jurnal Malam, 01:55 WIB
“Ya
Allah… terimalah hadiahku yang tak sempurna ini. Aku tahu, mungkin tidak indah
di mata-Mu. Tapi aku tak punya apa-apa lagi selain ini. Hatiku yang luka,
jiwaku yang penuh cela, langkahku yang tertatih… hanya ini yang bisa kuberikan.
Maukah Engkau menerimanya?”
Ia
terdiam lama setelah menulis itu. Matanya basah, bukan karena sedih, tapi
karena merasa kecil di hadapan Tuhan yang Maha Besar. Ia belajar mencintai bukan
dengan rasa memiliki, tapi dengan rasa ingin memberi.
Pagi
harinya, setelah Subuh, ia berbicara dengan Kyai Umar di pinggir kolam.
“Kyai…
apakah Allah akan menerima persembahan hamba-Nya yang penuh dosa?”
Kyai
menatap kolam yang tenang, lalu menjawab:
“Jika
engkau membawa hatimu yang hancur dan meletakkannya di hadapan-Nya dengan
jujur, maka itu lebih berharga daripada ribuan rakaat yang dilakukan dengan
sombong.”
Jawaban
itu membuat Rafi terdiam. Ia merasa seperti baru saja menemukan kunci pintu
yang selama ini ia ketuk tanpa hasil.
Jurnal Sore, 17:00 WIB
“Aku
takkan pernah tahu apakah hadiahku akan diterima. Tapi aku akan terus
memperbaikinya, mengemasnya, dan mengantarkannya dengan air mata dan doa.
Karena cinta yang sejati adalah ketulusan tanpa syarat.”
Hari-hari
berikutnya, Rafi mulai membantu lebih banyak di pesantren. Ia mulai menikmati
memberi, bukan hanya kepada Allah, tapi kepada sesama. Ia membantu para santri
kecil mengaji, membersihkan halaman, bahkan memandikan kambing.
Dalam
memberi, ia merasa hatinya pun menerima sesuatu: ketulusan, kesederhanaan, dan
cinta yang murni.
Dan
ia mulai mengerti, bahwa:
Bab 6: Telaga Kauthar
Langit
sore mulai berwarna merah keemasan. Di ufuk barat, matahari perlahan tenggelam,
meninggalkan bias cahaya yang membalut bukit-bukit kecil di sekitar pesantren.
Rafi duduk di tepi kolam air jernih di samping musholla. Ia mencelupkan
tangannya ke dalam air, menyaksikan riaknya mengalun pelan, memantulkan
wajahnya yang terlihat lebih tenang dibanding sebulan lalu.
Sudah
hampir sebulan ia tinggal di pesantren itu. Waktu berjalan seperti
mengalir—tanpa hiruk pikuk, tanpa kemacetan, tanpa distraksi. Tapi ada yang
berbeda. Ia merasa… bersih. Belum sepenuhnya suci, tapi hatinya tidak lagi
berat seperti sebelumnya.
Namun,
malam tadi, ia mengalami mimpi yang mengusik. Mimpi itu datang begitu kuat,
seperti bisikan dari langit.
Dalam
mimpinya, ia berada di sebuah padang tandus, berjalan sendirian, haus,
kelelahan. Ia melihat banyak orang di kejauhan berkumpul di sekitar sesuatu. Ia
mendekat, dan menemukan sebuah telaga yang airnya bening berkilauan. Dari
telaga itu, seseorang yang wajahnya bersinar menyendok air dan memberikannya kepada
orang-orang.
Saat
Rafi hendak minum, tiba-tiba suara berkata: "Belum
saatnya. Bersihkan hatimu dahulu. Air ini hanya untuk mereka yang benar-benar
rindu."
Ia
terbangun dengan peluh dingin, dan hatinya bergetar. Ia tahu… itu bukan mimpi
biasa.
Pagi
harinya, setelah Subuh, Rafi menceritakan mimpinya kepada Kyai Umar.
Kyai
itu tersenyum tenang. “Kamu tahu itu telaga siapa?”
Rafi
mengangguk pelan. “Telaga Kauthar…”
“Telaga
itu dijanjikan kepada Nabi Muhammad dan orang-orang yang mencintainya, yang
hatinya bersih, yang hidupnya bukan hanya untuk dunia.”
Rafi
menunduk. “Lalu… kenapa dalam mimpi itu aku tidak boleh minum?”
“Karena
mungkin hatimu masih menyimpan kotoran kecil yang belum kamu bersihkan.”
Rafi
merenung sepanjang hari. Ia tahu ia telah berubah. Tapi ia juga sadar, masih
ada rasa cinta dunia yang belum sepenuhnya ia lepaskan. Masih ada keinginan
untuk diakui, masih ada ego yang ingin terlihat baik, bahkan dalam ibadah.
Malam
harinya, ia menyendiri di pinggir kolam lagi. Ia menatap air yang tenang, dan
berkata dalam hati:
“Ya
Allah, aku ingin menjadi tamu-Mu di telaga Kauthar. Tapi jika hatiku belum
pantas, ajarkan aku cara memurnikannya…”
Ia
teringat bahwa air telaga Kauthar lebih putih dari susu, lebih manis dari madu,
dan lebih harum dari minyak kasturi. Tapi lebih dari itu, telaga itu adalah
lambang kasih sayang Allah kepada Rasul-Nya, dan kepada umat yang benar-benar
setia.
Rafi
menulis malam itu:
Jurnal Malam, 02:04 WIB
“Air
telaga Kauthar tidak bisa diminum oleh mereka yang haus dunia. Hanya mereka
yang benar-benar melepaskan, yang akan diizinkan meneguknya. Ya Allah,
kosongkan hatiku dari dunia… dan penuhilah ia hanya dengan cinta-Mu.”
Beberapa
hari kemudian, pesantren mengadakan kajian malam tentang Surah Al-Kauthar. Ustadz
yang membawakan menjelaskan bahwa ayat itu bukan sekadar tentang telaga, tapi
tentang anugerah besar yang Allah berikan
pada Nabi Muhammad.
“Inna a’thainaka al-Kauthar”
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.”
Ustadz
itu melanjutkan:
“Nikmat
terbesar bukanlah dunia. Tapi hati yang penuh cinta dan rindu kepada Allah dan
Rasul-Nya. Kauthar adalah simbol kelimpahan—kelimpahan rahmat, kasih, dan
kesucian.”
Rafi
mendengarkan dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa selama ini masih terlalu
banyak meminta, terlalu sedikit bersyukur. Ia selalu ingin merasakan cinta
Ilahi, tapi lupa bahwa cinta pun butuh dibayar dengan pengorbanan, keikhlasan,
dan kesetiaan.
Di
hari Jumat, Kyai Umar memintanya menyampaikan tausiyah kecil kepada para
santri. Awalnya ia ragu, merasa belum pantas. Tapi Kyai itu hanya berkata,
“Sampaikan apa yang kamu rasakan. Bukan apa yang kamu tahu.”
Rafi
pun berdiri di hadapan santri-santri muda dengan suara gemetar.
“Sahabat-sahabatku…
beberapa malam lalu aku bermimpi tentang telaga Kauthar. Tapi aku belum
diizinkan minum. Aku sadar… cinta itu tidak cukup hanya dengan air mata dan
doa. Tapi harus dengan hati yang benar-benar bersih, tulus, dan sabar…”
Beberapa
santri menunduk, terharu.
Rafi
melanjutkan, “Dan aku sedang belajar… bahwa jalan menuju cinta Allah adalah
dengan membersihkan diri, melepas dunia, dan mencintai Nabi-Nya setulus hati.”
Setelah
tausiyah itu, banyak santri datang menghampiri, memeluk, bahkan menangis. Rafi
merasa… ia bukan lagi hanya seorang pencari. Tapi juga seseorang yang bisa
menyalurkan cahaya yang ia terima, meski hanya sedikit.
Jurnal Malam, 23:40 WIB
“Ya
Allah… izinkan aku minum dari telaga-Mu. Tapi jika belum waktunya, ajarkan aku
cara menjadi orang yang pantas berdiri di tepinya. Ajarkan aku mencintai
Rasul-Mu… bukan hanya dengan kata, tapi dengan laku.”
Sejak
malam itu, Rafi mulai menambah satu amalan baru: bershalawat setiap malam. Ia
membaca shalawat sambil meneteskan air mata, membayangkan wajah Rasulullah yang
penuh kasih, yang selalu memikirkan umatnya.
Dalam
sujudnya, ia berdoa:
“Ya
Rasulullah… aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin menjadi umatmu yang engkau
kenal. Aku ingin berdiri di dekatmu saat engkau menyendok air dari telaga
Kauthar.”
Tidak ada komentar untuk "Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 5-6"
Posting Komentar