HANYA SATU PERSINGGAHAN, BAB 4-6

 Bab 4: Nasihat Maryam

Setelah percakapan yang memilukan dengan Aidil, Zahra merasa hidupnya seperti kehilangan arah. Hatinya penuh luka, dan pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Dalam kesendiriannya, Zahra sering termenung di kamar, memandang keluar jendela, mencoba mencari makna di balik semua yang terjadi.

Namun, hari itu, Maryam, sahabat karibnya sejak kecil, datang berkunjung. Maryam adalah seseorang yang dikenal Zahra sebagai sosok bijak dan penuh pengertian. Wajah Maryam selalu memancarkan ketenangan, dan kehadirannya sering kali menjadi pelipur lara bagi Zahra.

“Zahra, aku dengar tentang apa yang terjadi dengan Aidil. Kamu baik-baik saja?” tanya Maryam sambil menggenggam tangan Zahra.

Zahra hanya mengangguk pelan, berusaha menahan air mata yang ingin jatuh. “Aku merasa bodoh, Maryam. Aku sudah memberikan banyak perhatian dan harapan pada seseorang yang bahkan tidak tahu apa yang dia inginkan.”

Maryam menatap Zahra dengan penuh kasih. “Kamu nggak bodoh, Zahra. Apa yang kamu lakukan adalah wajar. Kamu mencintai dengan tulus. Tapi kadang, cinta yang tulus saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan kejelasan niat dari kedua belah pihak.”

Zahra terdiam, merenungkan kata-kata Maryam. Ia merasa ada kebenaran di dalamnya, tetapi hatinya masih sulit untuk menerima.

Setelah beberapa saat berbincang, Maryam mengajak Zahra keluar rumah. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke kebun kecil di pinggiran desa. Pohon-pohon rindang dan angin sepoi-sepoi memberikan suasana yang menenangkan.

“Zahra, aku ingin mengingatkanmu sesuatu yang mungkin kamu sudah tahu, tapi kadang kita lupa saat sedang terluka,” ujar Maryam sambil berhenti di bawah pohon besar. “Allah adalah sebaik-baik perencana. Mungkin sekarang kamu merasa sakit, tapi percayalah, di balik ini semua ada hikmah yang sedang Dia siapkan untukmu.”

Zahra menatap Maryam dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Tapi kenapa harus sesakit ini, Maryam? Kenapa aku harus merasakan kehilangan setelah aku begitu berharap?”

Maryam tersenyum lembut. “Karena Allah ingin kamu lebih bergantung kepada-Nya, bukan kepada manusia. Kadang kita terlalu berharap pada makhluk, padahal seharusnya kita berharap hanya kepada-Nya. Ketika sesuatu yang kita cintai diambil, itu adalah tanda bahwa Allah ingin mengarahkan hati kita kembali kepada-Nya.”

Zahra terdiam, mencoba mencerna kata-kata sahabatnya. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu sibuk memikirkan Aidil hingga melupakan hubungan terpenting dalam hidupnya—hubungannya dengan Sang Pencipta.

Sepulangnya dari kebun, Maryam mengajak Zahra untuk shalat berjamaah di rumah. Setelah selesai shalat, Maryam mengeluarkan sebuah Al-Qur’an kecil dari tasnya dan membacakan beberapa ayat yang berbicara tentang kesabaran dan keikhlasan.

“Zahra, kamu tahu kan, bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya? Dia selalu dekat. Kita hanya perlu mendekatkan diri kita kepada-Nya.”

Zahra mengangguk pelan. “Tapi bagaimana caranya, Maryam? Kadang aku merasa sulit untuk benar-benar ikhlas dan berserah.”

Maryam tersenyum. “Ikhlas itu memang bukan hal yang mudah, Zahra. Tapi kita bisa mulai dengan hal-hal kecil. Perbanyak dzikir, baca Al-Qur’an, dan sering-seringlah berdoa. Jangan lupa juga untuk meminta kepada Allah agar diberikan kekuatan dan ketenangan hati. Pelan-pelan, kamu akan merasakan perubahan.”

Kata-kata Maryam memberikan sedikit ketenangan di hati Zahra. Ia merasa seperti menemukan harapan baru di tengah kegelapan yang selama ini menyelimuti hatinya.

Hari-hari berikutnya, Zahra mulai menjalani saran Maryam. Setiap pagi, setelah shalat Subuh, ia meluangkan waktu untuk membaca Al-Qur’an dan merenungkan maknanya. Ia juga mulai menuliskan doanya di sebuah buku kecil, berharap itu bisa menjadi pengingat akan perjalanan spiritualnya.

Pada suatu malam, Zahra duduk di balkon rumahnya, kali ini bukan dengan hati yang gelisah, tetapi dengan hati yang lebih tenang. Ia menatap langit yang bertabur bintang dan mengingat nasihat Maryam.

“Ya Allah,” bisiknya, “jika Aidil bukan yang terbaik untukku, maka jauhkanlah dia dari hatiku. Berikanlah aku kekuatan untuk menerima takdir-Mu dengan ikhlas, dan gantilah rasa sakit ini dengan ketenangan dari-Mu.”

Doa itu terasa seperti beban yang dilepaskan dari dadanya. Zahra merasa lebih ringan, seolah-olah ia baru saja menyerahkan semua kekhawatiran dan kesedihannya kepada Sang Pemilik Hati.

Maryam terus mendampingi Zahra dalam proses ini. Mereka sering berbagi cerita dan nasihat, dan Maryam selalu memastikan bahwa Zahra tidak merasa sendirian. “Zahra, setiap luka adalah cara Allah mendidik kita. Yang penting adalah bagaimana kita belajar dari luka itu dan menjadi pribadi yang lebih baik,” ujar Maryam suatu hari.

Zahra mulai melihat perubahan dalam dirinya. Ia menjadi lebih sabar dan lebih sadar akan pentingnya memiliki hubungan yang kuat dengan Allah. Rasa sakit karena Aidil memang belum sepenuhnya hilang, tetapi ia tidak lagi membiarkan rasa sakit itu menguasainya.

Di dalam hatinya, Zahra tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Namun, ia merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Dengan dukungan Maryam dan keyakinan kepada Allah, Zahra yakin bahwa ia akan menemukan kebahagiaan sejati, meskipun jalannya mungkin tidak mudah.

Langit yang mendung mulai menunjukkan tanda-tanda cerah. Zahra tersenyum, merasa bahwa ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya—babak di mana ia akan belajar untuk mencintai dirinya sendiri dan mencintai Allah dengan sepenuh hati


Bab 5: Cahaya dalam Kegelapan

Hari itu, Zahra menerima undangan dari Maryam untuk menghadiri kajian di masjid dekat rumah mereka. Awalnya Zahra ragu, tetapi desakan Maryam membuatnya akhirnya setuju.

“Zahra, ini bukan kajian biasa,” kata Maryam dengan antusias. “Ustaz Hanafi yang akan mengisi. Beliau sering memberikan perspektif baru yang membuka mata hati.”

Zahra hanya mengangguk. Dalam hatinya, ia berharap kehadirannya di kajian ini bisa memberikan kedamaian yang sedang ia cari.

Masjid itu penuh sesak oleh jamaah, tetapi suasananya tetap tenang. Ustaz Hanafi, seorang pria paruh baya dengan sorot mata teduh dan suara lembut namun tegas, duduk di depan mimbar. Setelah membaca doa pembuka, ia mulai berbicara tentang tema malam itu: “Menemukan Hikmah di Tengah Kesulitan.”

“Hidup ini seperti sebuah perjalanan,” ujar Ustaz Hanafi dengan suara yang menggema di ruangan. “Kadang kita berjalan di jalan yang lurus dan mulus, tetapi ada kalanya kita terjatuh di jalan berbatu. Kita merasa kehilangan arah, terluka, bahkan bertanya-tanya, ‘Mengapa Allah membiarkan ini terjadi?’ Tetapi ingatlah, setiap kesulitan yang Allah berikan selalu mengandung hikmah di dalamnya.”

Zahra yang awalnya hanya mendengarkan sambil lalu, mulai merasa tersentuh. Kata-kata Ustaz Hanafi seolah berbicara langsung kepadanya.

“Ketika kita merasa bahwa dunia ini terlalu gelap,” lanjutnya, “itu adalah waktu yang tepat untuk mencari cahaya. Dan cahaya itu adalah Allah. Allah tidak pernah meninggalkan kita, tetapi sering kali kitalah yang menjauh dari-Nya.”

Zahra menundukkan kepalanya, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Ia merasa seperti sedang diingatkan akan sesuatu yang selama ini ia abaikan.

Setelah kajian selesai, Maryam menarik tangan Zahra untuk bertemu langsung dengan Ustaz Hanafi. Awalnya Zahra merasa enggan, tetapi dorongan Maryam membuatnya maju.

“Ustaz, ini sahabat saya, Zahra. Dia sedang menghadapi masa sulit,” kata Maryam memperkenalkan.

Ustaz Hanafi tersenyum ramah. “Apa kabar, Zahra? Semoga Allah selalu memberikan kekuatan untukmu.”

Zahra mengangguk pelan. “Terima kasih, Ustaz. Saya merasa banyak yang hilang dalam hidup saya belakangan ini.”

Ustaz Hanafi menatapnya dengan penuh perhatian. “Kadang Allah mengambil sesuatu dari kita untuk menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih baik. Mungkin bukan sekarang, tetapi di waktu yang telah Dia tentukan. Yang penting adalah bagaimana kita menjaga hati kita tetap dekat dengan-Nya.”

Zahra terdiam sejenak. “Tapi bagaimana jika rasa sakit itu begitu besar, Ustaz? Bagaimana jika saya merasa sulit untuk melupakan?”

Ustaz Hanafi tersenyum. “Rasa sakit adalah bagian dari proses penyembuhan. Ingatlah bahwa setiap air mata yang kamu teteskan dalam kesabaran akan menjadi saksi di hadapan Allah. Jika kamu merasa sulit untuk melupakan, jangan fokus pada melupakan. Fokuslah pada membangun kembali dirimu dan memperkuat hubunganmu dengan Allah. Dengan begitu, hatimu akan lebih mudah menerima.”

Kata-kata itu bagaikan embun di tengah kegersangan hati Zahra. Ia merasa ada harapan baru yang mulai tumbuh di dalam dirinya.

Sepulang dari kajian, Zahra tidak langsung tidur. Ia duduk di meja belajarnya, membuka buku catatan yang selama ini ia gunakan untuk menuliskan doa-doanya. Kali ini, ia menulis sebuah resolusi baru:

Ya Allah, aku ingin memperbaiki diriku. Aku ingin menjadi hamba-Mu yang lebih baik. Berikanlah aku kekuatan untuk melangkah di jalan-Mu dan cahaya untuk menerangi hatiku yang gelap.

Ia menutup buku itu dengan perasaan lega. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa bahwa ia memiliki tujuan baru.

Hari-hari berikutnya, Zahra mulai lebih aktif menghadiri kajian-kajian lain. Ia juga memperbanyak waktu untuk merenung dan berdialog dengan Allah melalui doa dan dzikir. Dalam salah satu kajian, Ustaz Hanafi memberikan nasihat yang kembali menggugah hatinya.

“Ketika kamu merasa hidupmu berat, jangan lupa untuk bersyukur,” ujar Ustaz Hanafi. “Bersyukur bukan hanya tentang hal-hal besar yang kita miliki, tetapi juga tentang hal-hal kecil yang sering kita anggap biasa. Bersyukur adalah kunci untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati.”

Zahra mulai mempraktikkan nasihat itu. Setiap pagi, ia menuliskan tiga hal yang ia syukuri, meskipun sederhana. Misalnya, udara segar yang ia hirup, makanan yang tersedia di meja, atau bahkan senyum dari seorang tetangga.

Lambat laun, rasa sakit di hatinya mulai berkurang. Zahra merasa bahwa ia tidak lagi berjalan dalam kegelapan, tetapi sedang menuju cahaya. Perjalanan ini memang tidak mudah, tetapi ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Allah selalu bersamanya, dan ia memiliki sahabat seperti Maryam yang terus mendukungnya.

Suatu hari, setelah kajian, Ustaz Hanafi mendekati Zahra. “Zahra, bagaimana kabarmu sekarang?” tanyanya.

Zahra tersenyum. “Alhamdulillah, Ustaz. Saya merasa lebih baik. Saya mulai belajar untuk menerima dan bersyukur.”

Ustaz Hanafi mengangguk. “Itulah awal dari kebahagiaan, Zahra. Ingatlah, setiap ujian yang Allah berikan adalah tanda cinta-Nya kepada kita. Dia ingin kita menjadi hamba yang lebih kuat dan lebih dekat kepada-Nya.”

Zahra mengucapkan terima kasih kepada Ustaz Hanafi atas semua nasihatnya. Ia merasa bahwa perjalanan spiritualnya baru saja dimulai, tetapi ia yakin bahwa ia sedang berada di jalan yang benar.

Langit yang dulu terasa gelap kini mulai memancarkan cahaya. Zahra tidak lagi merasa takut, karena ia tahu bahwa Allah adalah pelindung dan penuntunnya. Dengan keyakinan baru ini, Zahra siap menghadapi apa pun yang akan datang di masa depan.


Bab 6: Kesadaran yang Tertunda

Hari itu, Zahra duduk di sebuah kedai kopi kecil dekat kampus lamanya. Ia memilih meja di sudut, tempat ia bisa menikmati ketenangan tanpa banyak gangguan. Hatinya sudah lebih tenang setelah berbagai kajian yang ia hadiri bersama Maryam, tetapi ada sesuatu yang masih menggantung di pikirannya—hubungannya dengan Aidil. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang perlu dihadapi.

Sore itu, seolah takdir, Aidil menghubunginya. “Zahra, bisakah kita bertemu? Ada hal penting yang ingin aku bicarakan,” katanya melalui telepon. Suaranya terdengar serius, bahkan sedikit berat.

Zahra menghela napas panjang. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa siap. “Baik, Aidil. Katakan di mana dan kapan?”

Aidil memilih tempat yang cukup jauh dari pusat kota, sebuah taman kecil yang sering mereka kunjungi beberapa bulan lalu. Zahra tiba lebih dulu dan duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang. Sinar matahari senja menembus dedaunan, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di tanah.

Aidil datang tak lama kemudian. Ia mengenakan kemeja biru muda yang digulung hingga siku, tampak rapi seperti biasanya. Namun, ada raut gugup di wajahnya yang tak bisa ia sembunyikan.

“Terima kasih sudah datang, Zahra,” katanya membuka percakapan. Zahra hanya mengangguk, menunggu kelanjutannya.

Aidil menarik napas dalam. “Zahra, aku ingin berbicara jujur. Aku rasa ini waktunya aku mengatakan yang sebenarnya, meskipun aku tahu ini mungkin akan menyakitimu.”

Hati Zahra mulai berdebar. Ia merapikan kerudungnya, mencoba terlihat tenang meskipun pikirannya berkecamuk.

“Aku sadar, selama ini hubungan kita tidak pernah benar-benar jelas,” lanjut Aidil. “Aku yang salah karena tidak memberikan kepastian. Dan setelah banyak berpikir, aku merasa bahwa kamu bukanlah orang yang aku cari untuk masa depanku.”

Kata-kata itu jatuh seperti batu besar di hati Zahra. Meski sudah menduganya, mendengar langsung dari mulut Aidil tetaplah menyakitkan. Namun, ia mencoba untuk tetap tenang. Ia mengingat nasihat Ustaz Hanafi: Kesabaran adalah kunci dalam menghadapi ujian.

“Apa yang membuatmu merasa seperti itu?” tanya Zahra pelan, berusaha tidak menunjukkan luka hatinya.

Aidil menunduk sejenak, lalu menatapnya. “Kita memiliki nilai dan tujuan hidup yang berbeda. Aku butuh seseorang yang bisa berjalan seiring denganku dalam mengejar apa yang aku impikan. Kamu adalah wanita yang baik, Zahra, bahkan terlalu baik untukku. Tapi aku merasa, jika kita terus bersama, kita hanya akan saling menyakiti.”

Zahra terdiam. Kata-kata Aidil mengungkapkan kejujuran yang pahit, tetapi ia tidak bisa menyangkal kebenarannya. Selama ini, hubungan mereka memang terasa seperti sebuah perjalanan tanpa arah. Aidil tidak pernah benar-benar menunjukkan niat serius, dan Zahra, dalam diam, selalu berharap lebih.

“Aku mengerti, Aidil,” akhirnya Zahra berkata. Suaranya tenang meskipun hatinya bergolak. “Terima kasih sudah jujur. Mungkin memang ini yang terbaik untuk kita berdua.”

Aidil tampak terkejut dengan reaksi Zahra yang begitu dewasa. “Kamu tidak marah?” tanyanya.

Zahra tersenyum tipis. “Aku pernah marah, kecewa, bahkan mempertanyakan diriku sendiri. Tapi sekarang aku sadar, mungkin Allah punya rencana yang lebih baik untuk kita masing-masing. Jika aku bukan untukmu, maka aku yakin ada seseorang di luar sana yang lebih tepat untukku, dan begitu juga sebaliknya.”

Kata-kata Zahra membuat Aidil terdiam. Ia merasa bahwa Zahra sudah jauh lebih kuat daripada terakhir kali mereka berbicara dari hati ke hati. Aidil merasa bersalah, tetapi ia tahu bahwa kejujuran adalah pilihan yang benar.

“Zahra, aku berharap yang terbaik untukmu. Kamu layak mendapatkan seseorang yang benar-benar bisa menghargai dan mencintaimu dengan sepenuh hati,” kata Aidil sebelum mereka berpisah.

Zahra hanya mengangguk. Ia menatap punggung Aidil yang berjalan menjauh, merasa bahwa babak hidupnya dengan Aidil telah resmi berakhir. Ada rasa lega yang perlahan menggantikan kesedihan di hatinya.

Malam itu, Zahra merenung di kamarnya. Ia membuka buku catatannya dan menuliskan doa:

Ya Allah, jika ini adalah keputusan terbaik, maka aku ikhlas. Berikanlah aku kekuatan untuk melanjutkan hidupku tanpa rasa dendam atau penyesalan. Tunjukkanlah jalan yang Engkau ridhai untukku.

Zahra menutup buku itu dengan hati yang lebih ringan. Ia merasa bahwa pertemuannya dengan Ustaz Hanafi dan Maryam bukanlah kebetulan. Semua itu adalah bagian dari rencana Allah untuk membantunya menemukan kedamaian.

Hari-hari berikutnya, Zahra fokus pada dirinya sendiri. Ia mulai mengikuti kelas-kelas keterampilan baru, seperti memasak dan kaligrafi, sesuatu yang sudah lama ingin ia lakukan tetapi selalu ia tunda. Ia juga memperbanyak waktu bersama keluarga, menyadari bahwa cinta dan dukungan terbesar sebenarnya ada di rumahnya sendiri.

Maryam, seperti biasa, selalu ada untuk mendukungnya. “Zahra, aku bangga padamu. Kamu sudah melalui ini dengan sangat baik,” kata Maryam saat mereka berjalan-jalan di taman suatu sore.

“Terima kasih, Maryam. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak ada di sisiku,” balas Zahra sambil tersenyum.

Maryam menggenggam tangan Zahra. “Kita semua punya perjalanan masing-masing, Zahra. Yang penting adalah bagaimana kita belajar dan tumbuh dari setiap pengalaman.”

Zahra mengangguk. Ia merasa bahwa hidupnya sedang menuju arah yang lebih baik. Meski perjalanan bersama Aidil berakhir, Zahra tahu bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Ia percaya bahwa Allah telah menyiapkan sesuatu yang jauh lebih indah di masa depan.

Langit yang dulu kelabu kini mulai memancarkan warna biru cerah. Zahra melangkah maju dengan keyakinan baru, meninggalkan masa lalu tanpa penyesalan, hanya rasa syukur atas semua pelajaran yang telah ia terima.


Tidak ada komentar untuk "HANYA SATU PERSINGGAHAN, BAB 4-6"