Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 9-10
Bab 9: Membersihkan Diri
Angin
sore berembus pelan, menyapu pelataran pesantren dengan aroma tanah basah sisa
hujan siang tadi. Rafi berdiri menghadap cermin kecil di kamar santri,
memandangi wajahnya sendiri. Di balik janggut tipis dan kulit yang mulai
menghitam oleh matahari, ia menatap dua mata yang tampak jauh lebih dalam dari
sebelumnya. Tapi di kedalaman itu, ia melihat bayang-bayang: luka, dosa, dan
beban masa lalu yang belum tuntas.
Sudah
hampir dua bulan ia tinggal di pesantren ini. Ia telah belajar banyak: tentang
sabar, tentang ikhlas, tentang mencintai Allah secara perlahan dan sederhana.
Namun, ada satu hal yang belum ia lakukan: membersihkan
diri secara jujur—bukan hanya lahiriah, tapi batin yang kotor
oleh dosa-dosa lama.
Malam
itu, setelah Isya, ia mendekati Kyai Umar di beranda musholla.
“Kyai…
saya ingin bertanya sesuatu.”
Kyai
menoleh dengan lembut. “Silakan, Rafi.”
“Bagaimana
cara memaafkan diri sendiri? Saya bisa menangis saat sujud, saya bisa merintih
dalam doa. Tapi ada bagian dalam hati saya yang masih merasa kotor.
Seolah-olah… saya belum layak.”
Kyai
Umar menatap langit sejenak, lalu berkata pelan, “Dosa itu seperti noda. Ada
yang hilang hanya dengan air, ada yang perlu digosok keras. Tapi semua bisa
bersih… kalau kamu bersungguh-sungguh membersihkannya.”
Rafi
terdiam. Ia merasa kata-kata itu sederhana, tapi penuh makna.
Jurnal Malam, 22:39 WIB
“Aku
telah mencoba mendekat pada-Mu, ya Allah. Tapi hari ini aku sadar… aku belum
datang dalam keadaan bersih. Aku masih membawa kotornya masa lalu, dosaku yang dulu,
kelalaianku yang lama. Jika Kau izinkan… malam ini aku ingin mulai membersihkan
semuanya.”
Beberapa
hari setelah itu, Rafi meminta izin untuk bermunajat sendirian di malam hari.
Ia ingin benar-benar jujur kepada Allah. Malam itu, di dalam musholla kecil,
hanya ada dirinya, sajadah, dan air mata.
Ia
duduk bersila, memejamkan mata. Lalu ia berbicara—bukan dengan suara keras,
tapi dalam hati yang terbuka lebar:
“Ya
Allah, aku datang kepada-Mu dengan hati yang robek. Aku membawa masa lalu yang
tidak layak. Aku pernah melalaikan shalat, menghina orang tua, meninggalkan
kebenaran karena kesombongan. Aku pernah merasa tidak butuh Engkau. Aku pernah
mencintai dunia lebih dari-Mu…”
Tangisnya
pecah. Dada Rafi sesak oleh rasa malu dan bersalah. Ia sujud, membenamkan
wajahnya ke sajadah, dan berkata dengan lirih:
“Ampuni
aku… ampuni aku…”
Ia
tak meminta surga. Ia tak berani. Ia hanya meminta ampun. Dan di saat itu, ia
merasa hatinya seperti disiram oleh sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Hangat.
Lembut. Membasuh.
Jurnal Dini Hari, 02:44 WIB
“Malam
ini, aku tidak hanya menangis. Aku tidak hanya berdoa. Aku mengaku. Aku menyerahkan seluruh diriku. Dan aku
merasa, untuk pertama kalinya, aku sedikit lebih ringan.”
Esok
harinya, Rafi bertemu dengan Ustadz Saif, salah satu guru muda di pesantren
yang dikenal tegas tapi bijak. Rafi ingin berdiskusi lebih dalam tentang taubat yang sesungguhnya.
Ustadz
itu berkata, “Taubat bukan hanya soal menyesal. Tapi soal mengubah arah. Orang
yang bertaubat harus seperti orang yang berbalik arah 180 derajat—dari maksiat
menuju taat.”
Rafi
mengangguk, namun wajahnya tetap muram. “Tapi saya takut akan jatuh lagi.”
“Jangan
takut jatuh. Takutlah jika kamu tidak mau bangkit. Allah mencintai hamba yang
jatuh lalu bangkit berkali-kali.”
Perkataan
itu menyentuh hatinya. Ia sadar, bahwa bersih bukan berarti tidak pernah kotor,
tapi selalu berusaha untuk tidak menetap dalam kotoran itu.
Sejak
malam itu, Rafi membuat sebuah langkah konkret: meminta
maaf. Ia menelepon ibunya. Suara ibunya terdengar lemah tapi
penuh haru.
“Rafi…
kamu sehat, Nak?”
“Maafkan
Rafi, Bu… Rafi sudah terlalu lama jauh. Bukan hanya secara fisik, tapi juga
hati.”
Ibunya
menangis. “Ibu sudah lama menunggu saat ini.”
Rafi
pun menelepon kakaknya yang dulu sempat ia sakiti karena masalah warisan. Ia
kirim pesan pada sahabat lama yang pernah ia abaikan. Ia minta maaf satu per
satu. Dan setiap kata “maaf” yang keluar dari bibirnya, ia merasa hatinya makin
lapang.
Jurnal Sore, 17:22 WIB
“Aku
pikir membersihkan diri itu cukup dengan menangis dalam sujud. Ternyata tidak.
Kadang, kita harus menunduk lebih rendah: meminta maaf kepada manusia. Karena
dosa kepada Allah bisa diampuni dengan taubat. Tapi dosa kepada manusia… harus
dengan pengakuan dan perbaikan.”
Beberapa
hari kemudian, Kyai Umar menyapa Rafi di kebun.
“Kamu
terlihat lebih ringan hari ini,” ujarnya.
Rafi
tersenyum. “Mungkin karena saya sudah mulai membersihkan beban saya satu per
satu.”
Kyai
mengangguk. “Teruskan. Karena cinta tak bisa tumbuh di hati yang penuh luka dan
kotoran. Hati itu seperti gelas. Jika kamu ingin mengisinya dengan air jernih,
kosongkan dulu isinya yang lama.”
Rafi
merasa kalimat itu menancap dalam. Ia tahu, membersihkan diri bukan tugas
sehari dua hari. Tapi proses seumur hidup.
Dan
ia pun berjanji dalam hatinya:
Bab 10: Titik Balik
Subuh
masih menyelimuti langit dengan warna gelap kebiruan saat Rafi melangkah menuju
musholla kecil. Embun menempel di dedaunan dan suara adzan menggema pelan di
antara pohon-pohon pinus. Tapi pagi ini berbeda. Langkahnya mantap, wajahnya
tenang, dan matanya tidak lagi sembab karena tangis—melainkan jernih, penuh
harap dan keteguhan.
Sudah
dua bulan lebih sejak ia pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini. Di
tempat ini, ia bertemu sunyi, ia mengenal rasa malu, ia belajar mencintai, dan
ia mulai menyentuh sesuatu yang selama ini ia cari: kehadiran Allah dalam hatinya.
Namun
ia tahu, sebuah perjalanan selalu memiliki titik balik. Saat hati menemukan
pijakan baru dan tak ingin kembali ke kegelapan semula. Dan bagi Rafi, hari ini
terasa seperti hari itu. Hari di mana ia benar-benar ingin berubah, bukan
karena takut, tapi karena cinta.
Setelah
shalat Subuh, ia duduk lama di atas sajadah. Bibirnya tidak bergerak banyak,
hanya satu kalimat yang ia ulang-ulang:
“Ya
Allah… aku tidak ingin hanya merasa tenang. Aku ingin menjadi milik-Mu
sepenuhnya.”
Kyai
Umar mendekat, duduk di sebelahnya. Mereka tak langsung bicara. Hanya duduk
bersebelahan dalam keheningan yang saling memahami.
Kemudian
sang Kyai bertanya, “Bagaimana rasanya hari ini, Rafi?”
Rafi
menoleh pelan. “Entah kenapa, saya merasa… ini awal dari sesuatu yang baru.
Hati saya rasanya lebih ringan. Tapi juga lebih sadar akan betapa kecilnya diri
ini.”
Kyai
mengangguk. “Itulah ciri titik balik, Nak. Ketika seseorang mulai berjalan
bukan karena terpaksa, bukan karena ingin dilihat, tapi karena merasa
dipanggil.”
Rafi
terdiam. Ia tahu, kata-kata itu tepat menggambarkan isi hatinya. Ia tidak lagi
ingin menjadi baik agar diterima orang lain, atau karena ingin dipuji. Tapi
karena ia ingin diterima oleh Allah.
Jurnal Pagi, 05:58 WIB
“Aku
tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya. Tapi aku merasa... bahwa aku telah
melewati suatu batas. Aku tidak ingin kembali lagi menjadi diriku yang dulu.
Aku tahu, jalan ke depan tidak akan selalu mudah. Tapi kali ini, aku tidak
takut.”
Hari
itu, Rafi menghabiskan waktu bersama para santri muda. Ia membantu mereka
belajar membaca Al-Qur’an, memberi semangat, dan bahkan bermain bola di
lapangan kecil di belakang pesantren. Ia tertawa—bukan tawa palsu yang biasa ia
pamerkan di dunia kerja dulu, tapi tawa yang tulus dari jiwa yang bersih.
Di
malam harinya, ia diminta untuk mengisi kultum singkat setelah shalat Isya.
Awalnya ia menolak, tapi para santri memintanya, dan Kyai Umar hanya tersenyum
sambil berkata, “Berbagilah walau hanya satu kalimat.”
Rafi
pun berdiri di depan jamaah. Suaranya bergetar, tapi wajahnya tenang.
“Saya
hanya ingin menyampaikan satu hal... bahwa Allah itu tidak pernah menjauh dari
kita. Tapi kita sering terlalu sibuk berjalan ke arah lain. Dan saat kita balik
arah, satu langkah saja, Allah akan menyambut kita dengan rahmat yang tak
terbayangkan.”
Beberapa
jamaah terisak pelan. Rafi menunduk, lalu menutup dengan doa.
Jurnal Malam, 22:11 WIB
“Titik
balik bukan tentang perubahan besar yang terlihat orang. Tapi tentang perubahan
kecil dalam hati yang hanya diketahui oleh Allah. Hari ini, aku memilih arah.
Dan aku tak ingin berpaling lagi.”
Beberapa
hari kemudian, Rafi menerima kabar dari ibunya. Kondisi ibunya membaik setelah
sempat sakit keras. Dokter bilang, pemulihannya cepat dan mengejutkan. Rafi
tahu, itu bukan karena obat. Tapi mungkin, karena doanya yang jujur dan hubungannya
yang telah membaik dengan Sang Pencipta.
“Rafi,”
suara ibunya di telepon terdengar lembut. “Ibu tidak tahu apa yang kamu jalani
di sana. Tapi Ibu bisa merasakan, kamu sudah jadi orang yang berbeda.”
Rafi
menahan tangis. “Doakan Rafi terus, Bu. Rafi ingin terus berada di jalan ini.”
“Rafi
tidak sendiri, Nak. Allah bersamamu.”
Kata-kata
itu menjadi bahan renungan panjang malam itu. Ia menyadari, titik balik tidak
selalu datang dengan kilat yang menyambar. Tapi dengan hembusan angin lembut
yang membawa hati ke tempat yang lebih tinggi.
Ia
tahu, perjalanan ke depan masih panjang. Dunia di luar pesantren menunggu.
Ujian, godaan, keraguan—semuanya belum berakhir. Tapi sekarang, ia tidak lagi
takut.
Karena
kini, ia tidak berjalan sendirian.
Jurnal Dini Hari, 03:24 WIB
“Ya
Allah, jika hari ini adalah titik balik dalam hidupku, maka kuatkan langkahku
setelah ini. Jangan biarkan aku menoleh ke belakang. Jangan biarkan aku jatuh
pada dunia yang sama. Biarlah aku terus berjalan… meski perlahan, asal menuju-Mu.”
Di
penghujung minggu itu, Rafi menulis surat untuk dirinya sendiri:
Tidak ada komentar untuk "Sesungguhnya: Sebuah Pencarian Cinta, Bab 9-10"
Posting Komentar